Oleh: Shamsi Ali/ Presiden Nusantara Foundation
Pahlawan itu mulia. Pahlawan itu terhormat. Pahlawan itu terpuji. Dan pahlawan itu pasti dikenang oleh sejarah. Dan yang terpenting, harusnya pahlawan itu akan mendapat tempat mulia di sisi Tuhan.
Seringkali ketika kata “pahlawan” terdengar, imajinasi kita tertuju kepada seseorang yang meninggal dalam peperangan. Atau seseorang yang telah dikenal melakukan sesuatu yang fenomenal bagi bangsa dan negaranya.
Sesungguhnya pahlawan adalah setiap orang yang melakukan sesuatu dan berdampak besar bagi khalayak umum. Dari presiden, menteri, panglima militer, politisi, saudagar, seniman, hingga petani dan tukang sapu, semuanya bisa jadi pahlawan.
Baca Juga: [WAWANCARA EKSKLUSIF] Ketua Pusat Kebudayaan Al-Quds Apresiasi Bulan Solidaritas Palestina
Dalam bahasa agama pahlawan ini identik dengan seorang “syahid”. Pahlawan atau pejuang yang menemukan “akhir hidupnya” di jalan Tuhan disebut “syahid”. Sayangnya seringkali kata “syahadah” ini dipahami secara sempit, bahkan keliru, sebagai mati dalam sebuah peperangan semata.
Kata “syahadah” sesungguhnya berarti “persaksian”. Bermula dari kesaksian kita akan keesaan Allah (Tauhid) dalam segala aspeknya. Seperti yang dikutip dalam KalamNya: “syahidallahu annahu laa ilaaha illa Huwa” (Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia).
Hingga kepada mempersaksikan “karya-karya” nyata dalam kehidupan manusia. Seperti dalam firmanNya: “wa quli’maluu fa sayarallahu amalakum, wa Rasuluhu wal-mu’minuun” (Berkaryalah! Dan biarlah Allah yang aman menjadi saksi bagi karyamu, rasulNya dan orang-orang berman).
Walaupun dalam konteks karya Allah memakai kata “ra’yun” (melihat), tapi sejatinya kata ini akan lebih dalam jika dimaknai sebagai “persaksian”. Bahwa karya seorang mu’min sejatinya tidak saja indah secara lahiriyah, tapi terbangun di atas keindahan bathiniyah (niat dan visi mulia).
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Maka “syahadah” yang lebih dikenal dengan “mati syahid” bukan hanya dalam peperangan fisik atau pertempuran. Tapi sesungguhnya semua mereka yang meninggal dalam keadaan menyaksikan keesaan Allah, kerisalahan Muhammad, serta mempersaksikan amal-amal yang diridhoi oleh Allah dan sesama manusia.
Kalau pemahaman agama dalam syahadah ini kita tarik ke dalam konteks nasional, dan dihubungkan dengan kata “pahlawan” (hero), maka harapannya jangan sampai disempitkan pemahamannya.
Pahlawan-pahlawan adalah mereka yang sedang dan telah mempersembahkan sesuatu yang besar bagi bangsa dan negaranya. Di zaman peperangan merebut kemerdekaan dan mempertahankannya dari penjajah mereka adalah pahlawan. Di zaman membangun dan mengisi kemerdekaan semua yang terlibat adalah pahlawan.
Dari istana negara dan kantor-kantor pemerintahan ke pusat-pusat perbankan dan bisnis, hingga ke rumah-rumah ibadah, seni, bahkan di sawah-sawah dan kebun, mereka yang berjuang memakmurkan dan membesarkan bangsa dan negara ini adalah pahlawan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Pemilu dan pahlawan
Bangsa Indonesia sedang memanas. Tergantung dari aspek mana kita mengartikan kata “panas” itu. Tapi yang pasti, sebagaimana di negara lain, termasuk Amerika Serikat, setiap memasuki musim memilih pejabat publik, baik daerah maupun pusat, selalu tercipta suasana yang cukup hangat. Minimal dalam batas wacana, pengamatan, bahkan kritikan dan juga fitnah-fitnah.
Tentu sangat wajar dan manusiawi jika dalam pertarungan itu semua merasa atau mengaku benar dan kuat. Semua juga bahkan ingin, atau bahkan berambisi untuk menjadi pemenang. Sehingga kerap kali cara apapun akan menjadi “halal dadakan” demi memenangkan pertarungan itu.
Dari menghalalkan semua cara untuk mendanai kampanye, menghalalkan segala berita termasuk hoax, hingga kepada menghalalkan koalisi-koalisi yang paradoks dengan pijakan perjuangannya. Bahkan tidak jarang terjadi prostitusi koalisi demi kepentingan dan keuangan yang maha kuat.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Salah satu hal yang juga menjadi dominasi publik di musim pemilihan ini adalah kandidat-kandidat yang akan maju menjadi petarung. Di tingkat daerah tentunya adalah calon-calon gubernur, bupati dan walikota, hingga ke caleg DPRD.
Sementara di tingkat nasional adalah calon presiden dan calon wakil presiden, serta caleg DPR/DPD pusat.
Di saat-saat musim pemilu (pilkada maupun pilpres) inilah diperlukan figur-figur pahlawan. Figur-figur pahlawan yang ingin memberikan sumbangsih terbaiknya bagi bangsa dan negaranya.
Tentu dalam konteks ini ada dua sisi yang memugkinkan bagi calon menjadi pahlawan itu.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Pertama, mereka yang ingin mencalonkan diri harusnya menempatkan diri dengan memakai hati pahlawan (heroic heart). Bahwa mereka maju karena memang berniat dan berkomitmen untuk memberikan sumbangsih terbaiknya bagi bangsa dan negaranya.
Kedua, kepahlawanan juga akan dilihat pada jiwa dan sikap ksatria yang tinggi dari putra-putri terbaik bangsa ini. Bahwa jika memang realita dan keadaan tidak lagi menghendaki dirinya maka hendaknya mundur dan memberikan kesempatan kepada yang lain.
Mungkin saja dalam konteks ini pahlawan terbesar akan terlihat dari pembesar-pembesar partai politik. Saat-saat seperti ini akan terlihat atau tepatnya tersaring apakah partai itu didirikan untuk tujuan dan ambisi pembesarnya. Atau sebaliknya partai didirikan sebagai jembatan untuk memberikan sumbangsih terbaik bagi negara.
Saya sangat yakin, jika mentalitas kepahlawanan (heroic mentality) itu yang dikedepankan, maka para pembesar partai tidak menjadikan partainya sebagai kendaraan pribadi. Tapi menjadikan pertainya sebagai jembatan untuk membangun dan membesarkan negara dan bangsa, walau bukan dirinya yang mengendarai.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Yang pasti negara ini membutuhkan pahlawan yang akan maju dalam pertarungan dan menang dalam pemilu. Mereka pahlawan karena seharusnya ke depan merekalah yang akan menentukan warna pembangunan negara ini. Negara dengan segala tantangan, domestik maupun global, membutuhkan pemimpin yang kuat, berani, tegas dan memiliki kharisma dan kapabilitas untuk mengantar bangsa ini sejajar dengan bangsa-bangsa besar lain di dunia.
Tapi negara dan bangsa ini juga memerlukan pahlawan yang berani mengatakan bahwa saya sudah masanya menjadi “tokoh bangsa”, yang menjadi sosok dengan penutan mulia, bukan sekedar jabatan tinggi. Pahlawan yang berani berkata pada dirinya: “saya sudah pernah”. Mungkin pernah berhasil menang, atau sebaliknya pernah kalah dalam pertarungan.
Rakyat mengimpikan pemimpin baru, dengan semangat baru, serta visi “zaman now”.
Lalu siapakah yang akan tampil sebagai pahlawan? Harapannya, “kata hati” yang akan menjawab dan waktu pula yang akan menjadi saksi!
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
New York, 14 Maret 2018 / (A/R07/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat