AL-AQSA bukan sekadar nama tempat. Ia adalah saksi bisu perjalanan agung umat Islam, sebuah simbol kemuliaan, dan bukti cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya. Di sanalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diangkat ke langit dalam peristiwa agung Isra’ dan Mi’raj, membawa perintah salat lima waktu yang menjadi tiang agama. Di sanalah Nabi-nabi terdahulu menapakkan kaki, dan di sanalah para syuhada telah menumpahkan darah demi menegakkan kebenaran.
Mencintai Al-Aqsa bukan pilihan, tapi bagian dari identitas seorang Muslim sejati. Siapa yang hatinya tidak bergetar saat mendengar derita Al-Aqsa, maka sungguh hatinya patut dipertanyakan. Karena di situlah kehormatan umat ini dipertaruhkan. Al-Aqsa adalah cermin iman. Saat seorang Muslim membela Al-Aqsa, sesungguhnya ia sedang membela jati dirinya sendiri sebagai hamba Allah yang tidak rela kehormatan Islam diinjak-injak.
Al-Aqsa dalam Sejarah dan Hati Umat Islam
Masjid Al-Aqsa adalah kiblat pertama umat Islam. Sebelum menghadap Ka’bah di Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat mengarahkan wajah mereka ke Baitul Maqdis. Ini bukan hanya soal arah salat, tapi bukti bahwa Al-Aqsa adalah bagian dari detak nadi spiritual Islam sejak awal kenabian.
Baca Juga: Serangan Zionis Malah Hidupkan Kembali Nasionalisme Iran
Tidak ada tempat ketiga yang disucikan oleh umat Islam setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi selain Masjid Al-Aqsa. Dalam hadis sahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian melakukan perjalanan jauh kecuali ke tiga masjid: Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram, dan Masjid Al-Aqsa.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka siapapun yang tidak mencintai Al-Aqsa, berarti ia mengabaikan satu dari tiga pusat spiritual Islam.
Lebih dari 15 abad yang lalu, Umar bin Khattab menangis saat menjejakkan kaki di Al-Aqsa. Ia tak datang dengan pedang, tapi dengan air mata dan jubah kehormatan. Ia menolak salat di gereja yang ditawarkan pendeta, agar tidak mengubahnya menjadi masjid demi menghormati keberagaman. Beginilah adab seorang khalifah Islam. Ketika Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi membebaskan Al-Aqsa dari tangan pasukan Salib pada tahun 1187, ia pun tidak membalas dengan kekejaman. Ia justru menyucikan tanah itu dengan air mata cinta, bukan darah kebencian.
Namun hari ini, Al-Aqsa terluka. Tangisan anak-anak Palestina, suara takbir di antara puing-puing reruntuhan, dan derap langkah para penjajah yang mencemari masjid suci itu adalah tamparan bagi kita. Ini bukan sekadar konflik tanah. Ini adalah pertarungan antara iman dan kehinaan, antara keberanian dan kebisuan, antara nurani yang hidup dan hati yang beku.
Diam Adalah Pengkhianatan, Bergerak Adalah Kehormatan
Baca Juga: Peluncuran Kalender Hijrah Global: Langkah Strategis Menyatukan Umat Islam
Betapa banyak umat Islam hari ini yang tahu Al-Aqsa, tapi tak peduli. Menyaksikan penjajahan, tapi enggan berbuat apa-apa. Padahal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukan bagian dari mereka.” (HR. Thabrani). Ketika kita berpaling dari Al-Aqsa, sesungguhnya kita sedang menghapus identitas keislaman kita sendiri.
Kita mungkin tidak bisa mengangkat senjata, tapi kita bisa mengangkat suara. Kita mungkin tidak bisa hadir di sana, tapi kita bisa hadir dalam doa, dalam aksi, dalam tulisan, dalam dukungan moral dan material. Jangan pernah remehkan satu sujud dengan air mata untuk Al-Aqsa. Jangan pernah anggap kecil satu infak yang diniatkan untuk perjuangan Palestina. Karena setiap detik yang kita habiskan untuk membela Al-Aqsa adalah pernyataan cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya.
Cinta sejati bukan hanya kata, tapi aksi. Mencintai Al-Aqsa berarti menggugah hati kita untuk tidak nyaman saat masjid suci itu dicemari. Mencintai Al-Aqsa berarti memelihara semangat jihad dalam bentuk apapun—jihad dengan harta, dengan lisan, dengan pena, bahkan dengan doa di tengah malam yang sunyi.
Al-Aqsa adalah Cermin Nurani Kita
Baca Juga: Kutukan Dekade ke-8, Isyarat Runtuhnya Negara Yahudi
Al-Aqsa hari ini adalah cermin dari nurani kita. Apakah kita masih hidup dengan semangat Islam, ataukah kita sudah menjadi jasad tanpa ruh? Saat anak-anak Palestina berani menghadapi tank dengan batu, apakah kita masih berani menghadapi dunia dengan keberpihakan yang jelas?
Mengapa Al-Aqsa selalu menjadi titik sentral permusuhan? Karena musuh-musuh Islam tahu, selama umat ini masih mencintai Al-Aqsa, maka umat ini belum mati. Al-Aqsa adalah barometer hidupnya semangat jihad dan persatuan. Maka, upaya menjauhkan umat dari Al-Aqsa adalah upaya membunuh semangat Islam dari dalam.
Para penjajah ingin agar kita melupakan Al-Aqsa, agar kita lebih peduli pada dunia hiburan, pada tren media sosial, pada ego dan kenyamanan. Mereka ingin menjadikan kita umat yang lelah berjuang, umat yang kehilangan idealisme. Tapi kita harus bangkit. Kita harus menampar diri kita sendiri agar sadar: jika hari ini kita tak peduli, besok kita mungkin akan menjadi korban berikutnya.
Membela Al-Aqsa, Menjaga Martabat Umat
Baca Juga: Bila Mata Tak Terjaga, Hati Bisa Ternoda
Membela Al-Aqsa bukan hanya soal Palestina. Ini tentang harga diri kita sebagai umat. Kita hidup di zaman ketika kemunafikan dipoles dengan diplomasi, dan kezaliman dibungkus dengan retorika. Tapi hati yang ikhlas akan tahu bahwa di balik tirai itu ada luka yang menganga.
Jika Al-Aqsa hari ini bisa bicara, ia akan memanggil: “Di manakah engkau, wahai umat Muhammad? Tidakkah engkau mendengar jeritanku?” Maka jawabannya bukan pada pidato panjang, tapi pada aksi nyata: pendidikan umat tentang pentingnya Al-Aqsa, donasi untuk perjuangan saudara kita, dan membangun solidaritas global yang tak bisa dibeli dengan janji.
Sebagai Muslim sejati, kita harus menjadikan Al-Aqsa bagian dari mimpi dan doa-doa kita. Tanamkan cinta itu pada anak-anak kita. Ceritakan kisah Shalahuddin, Umar bin Khattab, dan para syuhada Al-Aqsa agar mereka tumbuh dengan semangat membela yang suci. Jadikan setiap kelas, setiap mimbar, setiap tulisan, sebagai medan perjuangan untuk membangkitkan kembali cinta yang mulai padam.
Bangkitlah! Jadilah Bagian dari Barisan Pembebas
Baca Juga: Kesewenang-wenangan Pendirian Gereja: Fakta, Realita, dan Suara Umat yang Terpinggirkan
Hari ini bukan saatnya diam. Hari ini bukan saatnya netral. Karena dalam pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, diam berarti memihak pada kebatilan. Jika engkau belum bisa berdiri di garda depan bersama para pejuang Al-Aqsa, maka berdirilah di belakang mereka dengan seluruh yang engkau punya.
Bangkitlah, wahai jiwa-jiwa Muslimin! Tanamkan dalam sanubari bahwa mencintai Al-Aqsa adalah bagian dari syahadat kita. Bangkitlah, wahai pemuda Islam! Jika engkau ingin hidupmu bermakna, maka libatkanlah dirimu dalam pembelaan terhadap Al-Aqsa. Jadikan setiap napasmu bagian dari perjuangan, dan jadikan akhir hidupmu sebagai saksi bahwa engkau pernah membela masjid suci itu.
Jangan biarkan dunia menggoda hatimu untuk lupa. Jangan biarkan kenikmatan semu membuatmu tuli terhadap tangisan umat. Karena satu saat nanti, kita akan ditanya: “Apa yang kau lakukan saat Al-Aqsa dinistakan?”
Dan semoga saat itu, kita bisa menjawab dengan penuh keyakinan: “Aku mencintainya. Aku membelanya. Aku menangis dan berjuang untuknya.” Karena mencintai Al-Aqsa adalah identitas Muslim sejati—dan itu bukan slogan, tapi sumpah dari dalam jiwa.[]
Baca Juga: Boikot Zionis Israel, Aksi Damai yang Mematikan
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pesan Dari Jantung Blokade: Ketika Debu Perang Tak Mampu Redam Keimanan di Gaza