Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mencontoh yang Lebih Baik

Rudi Hendrik - Kamis, 9 Februari 2017 - 11:30 WIB

Kamis, 9 Februari 2017 - 11:30 WIB

529 Views


Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis MINA

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَمَّنۡ هُوَ قَـٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدً۬ا وَقَآٮِٕمً۬ا يَحۡذَرُ ٱلۡأَخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦ‌ۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِى ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ‌ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ

Artinya, “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar [39] ayat 9).

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Perilaku mencontoh adalah salah satu karakter dasar manusia, karena perilaku ini adalah wujud bahwa ilmu sampai dan diamalkan oleh seseorang. Perilaku mencontoh telah dipraktekkan sejak masa bayi dan masa-masa selanjutnya. Bayi bisa berbicara dan berbahasa, bisa berperilaku dan berbudaya, semua bermula dari mencontoh, baik mencontoh secara lengkap atau mencontoh sebagian.

Seorang anak bisa berbahasa seperti bahasa orang tua dan lingkungannya, karena ia mencontoh. Seorang murid bisa pandai menulis dan membaca, karena ia mencontoh apa yang diajarkan oleh gurunya. Dan seseorang bisa berperilaku baik dan buruk, karena hasil dari mencontoh seseorang atau lingkungannya.

Dalam mempraktikkan perilaku dasar dari manusia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tuntunan dalam hal mencontoh.

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab [33] ayat 21).

Ayat yang mulia ini adalah dalil pokok paling besar, yang menganjurkan kepada kita agar meniru atau mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam semua perbuatan, ucapan, dan sepak terjangnya.

Namun, orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam telah memamfaatkan karakter dasar manusia ini agar mencontoh budaya dan prilaku yang bertentangan dengan apa yang Allah telah anjurkan. Umat Islam yang besar jumlahnya digiring menjauhi dari mencontoh akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan cara menciptakan budaya dan tontonan yang menyenangkan perasaan dan emosi, padahal hakikatnya budaya itu menjerumuskan kepada keburukan.

Melalui perkembangan teknologi, komunikasi dan informasi yang begitu cepat dan pesat, orang-orang kafir menciptakan berbagai macam tontonan dan tren kemasakinian yang tujuan utamanya agar dicontoh oleh generasi manusia sehingga membentuk budaya yang jauh dari meniru Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan apa yang diajarkan oleh para ulama.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Gaya busana, musik, film, budaya jahiliyah dan hal-hal asing yang baru, diciptakan oleh para pakar orang-orang kafir dengan kemasan yang semenarik mungkin dan bumbu yang mempermainkan perasaan. Dan pada faktanya, berbagai tren kekinian yang mereka ciptakan dan tontonkan banyak dicontoh oleh umat Islam, khususnya generasi Muslim hingga kepada level anak-anak.

Contoh kecil, dalam beberapa seri film animasi Amerika, selalu ditampilkan adegan atau dialog yang selalu berulang-ulang. Hal itulah yang sering kali berhasil membuat anak-anak Muslim untuk menirunya dalam kehidupan sehari-hari.

Termasuk ketika generasi muda berduyun-duyun meniru gaya tampilan para bintang pop Korea Selatan (K-Pop) yang dalam beberapa tahun terakhir menginvansi budaya banyak negara dunia, sehingga lepas dari identitas karakternya sebagai pemuda Muslim.

Kisah burung buta dan pincang

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Dalam sebuah tulisannya, Yusuf Qardhawi pernah menceritakan kisah seorang saleh yang bernama Al-Bakhi.

Suatu hari, Al-Bakhi berangkat melakukan ekspedisi perdagangan. Sebelum pergi, ia berpamit diri kepada sahabatnya yang terkenal ahli zuhud bernama Ibrahim bin Adham.

Hanya beberapa hari, Al-Bakhi telah kembali dari perjalanannya. Ibrahim yang melihatnya di masjid, merasa heran lalu bertanya, “Kenapa kamu buru-buru pulang?”

Al-Bakhi menjawab, “Dalam perjalanan saya melihat suatu keanehan sehingga saya memutuskan segera mengakhiri perjalanan.”

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Ibrahim bertanya, “Apa yang kamu lihat?”

“Ketika sedang beristirahat di suatu bangunan yang sudah rusak, saya menjumpai seekor burung pincang dan buta. Melihat burung itu, saya bertanya dalam hati, ‘bagaimana burung itu bertahan hidup, sementara ia berada di tempat yang jauh, tidak bisa melihat dan bergerak?’,” jelas Al-Khatib.

Al-Bakhi melanjutkan kisahnya bahwa kemudian datanglah burung lain membawa makanan untuknya. Dalam sehari burung itu bolak-balik mengirimkan makanan sampai kebutuhan burung buta itu tercukupi.

“Yang memberi rezeki kepada burung buta di tempat yang jauh ini, tentu bisa pula memberi rezeki kepada saya,” pikir Al-Bakhi. “Kemudian saya pulang.”

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Ibrahim lalu berkata, “Sungguh aneh apa yang kamu lakukan, wahai Al-Bakhi. Mengapa kamu rela menjadikan dirimu seperti burung buta dan pincang, yang hidup atas belas kasihan dan bantuan orang lain? Kenapa kamu tidak mencontoh burung yang satunya lagi, yang berusaha mencari rezeki untuk dirinya dan untuk temannya yang cacat? Tahukah kamu, tangan yang di atas jauh lebih baik daripada tangan yang di bawah?”

Al-Bakhi lalu berdiri dan mencium tangan Ibrahim seraya berkata, “Kamulah guru kami, wahai Abu Ishaq.”

Akhirnya Al-Bakhi melanjutkan perdagangannya.

Dari kisah di atas, menunjukkan selalu ada dua pilihan yang bisa dicontoh oleh seseorang. Pertama, mencontoh yang baik. Kedua, mencontoh yang tidak lebih baik (buruk).

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Mencontoh orang yang membaca Al-Quran lebih baik dari pada meniru orang yang sibuk membuat status di media sosial. Mencontoh orang yang bersedekah lebih baik dari pada meniru orang yang membelanjakan uangnya hanya demi hobi, kesenangan dan syahwat.

Namun kini, manusia lebih banyak mencontoh yang lebih buruk daripada yang lebih baik. Kondisi ini telah Allah peringatkan dalam firman-Nya,

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ

Artinya, “Seandainya kalian mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, sungguh mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am [6] ayat 116).

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Karenanya, tidak sama orang-orang yang mencontoh kebaikan dan melakukannya dengan orang yang mencontoh keburukan dan melakukannya. Tidak sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui. (QS. Az-Zumar [39] ayat 9).

Allah Mahabenar. (RI-1/RS1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital

Rekomendasi untuk Anda

Tausiyah
Kolom
Khadijah
Tausiyah