Oleh: Ahmad Soleh (Mahasiswa Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Qs. Al Baqarah: 183)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Shaum atau puasa sebulan penuh di bulan suci Ramadhan difardhukan oleh Allah SWT. sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2] ayat 183 di atas. Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang telah menyatakan keimanannya, “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا, Yâ ayyuhalladzîna âmanû”. Dengan kata lain ayat ini disyari’atkan dan akan berdampak positif kepada orang-orang yang memiliki sugesti kuat dan keyakinan yang matang terhadap setiap arahan (taujih) serta jalan (syari’ah) yang telah ditetapkan Allah.
Syari’at shaum yang diwajibkan kepada umat Nabi Muhammad ini, juga telah diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka. Jika shaum dianggap sebagai obat mujarab bagi umat Nabi akhir zaman, maka dapat dikatakan bahwa penyakit yang pernah diderita oleh umat-umat terdahulu dapat menyebar kepada umat ini. Terbukti obatnya sama.
Dalam ayat ini pula, Allah SWT menyatakan bahwa puasa dapat mengantarkan pelakunya kepada ketaqwaan, melaksanakan berbagai perintah dan menjauhi beraneka larangan-Nya. Atau dengan kata lain maksud dari shaum itu adalah agar pelakunya dapat mengaplikasikan pesan-pesan Al-Qur’an yang rahmatan lil ‘alamin dan arahan Nabi yang penuh kepedulian dan kedamaian. Dalam pemahaman lain bahwa kata la’alla (لَعَلَّ) bukan hanya berarti “mudah-mudahan” tetapi juga dapat berarti “pasti”.
Puasa disyari’atkan bukan sekedar meninggalkan makan, minum dan berhubungan suami istri di siang hari, tetapi harus dilalui dengan menjaga anggota badan dan panca indera dari melakukan hal-hal yang tidak diridhoi Allah SWT. Rasulullah menyatakan:
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
(من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه أخرجه (أحمد في مسنده وصحيح البخاري وأبو داود والترمذي وابن ماجة عن أبي هريرة
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan zur (dusta, ghibah dan lain sebagainya) serta beramal dengannya itu, maka Allah tidak memerlukan orang tersebut dalam meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah RA).
Jika tidak, maka ia hanya dinyatakan sebagai orang yang kelaparan -dan kehausan-, sebagaimana sebuah hadits riwayat Imam Ahmad bin Hambal menegaskan.
كم من صائم ليس له من صيامه إلا الجوع
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
“Berapa banyak orang yang berpuasa tapi ia tidak mendapat apa-apa kecuali lapar saja.”
Shaum sesungguhnya disyari’atkan agar pelakunya berkompetensi peduli kepada orang lain, khususnya kepada orang yang sedang ditimpa kesulitan semisal fakir miskin. Shaum Ramadhan ini diadakan agar menghasilkan orang-orang yang berpuasa di dalamnya menjadi manusia-manusia yang peduli kepada lingkungan sosial (al-ummah al-yaqidhah), semisal amar ma’ruf dan nahyi mungkar sehingga mereka menjadi saleh sosial. Hal ini dapat kita lihat, bahwa orang yang udzur syar’i sehingga berat dan tidak dapat menunaikan ibadah puasa tersebut, diganti dengan kewajiban derma berupa membayar fidyah, memberi makan kepada orang miskin (QS. Al-Baqarah [2]: 184).
Kesalehan individu selain kesalehan sosial yang diharapkan didapat dari gemblengan shaum Ramadhan ini, dapat terwujud manakala para shaimin memaknai dan mengikuti arahan-arahan Nabi SAW. Diantara arahannya adalah: menghidupkan malam ramadhan dengan shalat tarawih (qiyamul lail) yang khusyu’ disertai memperbanyak dzikir kepada Allah dengan penuh khauf (takut) dan raja’ (harap) kepada-Nya; memperbanyak infaq dan sedekah pada siangnya; memberi makan dan minum sebagai hidangan berbuka bagi orang lain yang berpuasa, sehingga mendapat pahala yang mulia tanpa mengurangi pahala yang berbuka di tempatnya itu.
Tathbiqul Qur’an
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Al-Qur’an adalah Kalamullah sebagai manhaj al-hayah bagi umat Nabi Muhammad atau way of life bagi umat akhir zaman ini. Kitab ini tidak luntur karena hujan dan tidak lekang karena panas. Ada empat kewajiban orang muslim terhadap kitab sucinya itu. Yaitu, pertama, kewajiban menghadiri majlis-majlis kajian Al-Qur’an. Kedua, kewajiban memahami pesan dan kandungan Al-Qur’an.
Ketiga, kewajiban untuk mengamalkannya. Apakah telah cukup dengan memenuhi kewajiban-kewajiban itu? Ternyata belum. Karena ada kewajiban keempat yang harus ditunaikan sebaik-baik umat yang dibangkitkan di tengah manusia ini, yaitu menda’wahkan kitab sucinya itu kepada orang lain yang belum menerimanya.
Mendalami (tadarus) Al-Qur’an, adalah amalan “wajib” yang harus dilakukan dalam bulan itu, sebagaimana telah dilakukan oleh Malaikat Jibril AS. bersama Rasulullah SAW. Apalagi pada bulan itu Al-Qur’an diturunkan.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”(QS. Al-Baqarah [2] : 185).
Pada bulan Ramadhan umat Nabi Muhammad dituntut untuk mengaplikasikan (tathbiq) pesan dan arahan Al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan sebagai satu dari sekian banyak kewajiban muslim terhadap kitab sucinya itu.
Semua itu merupakan amalan-pamalan Ramadhan sebagai latihan dan simbol yang mengantarkan pesertanya kepada kesalehan pribadi dan sosial, sebagai penerapan dari pesan-pesan Al-Qur’an tersebut. Wallahu A’lam bish-Shawwab. (R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman