Berperang di garda depan bukan monopoli kaum lelaki saja. Di zaman Rasulullah, perempuan-perempuan pun turut mempertaruhkan nyawa di medan perang.
Di masa Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, banyak kaum hawa yang ikut berperang bersama pasukan Muslimin. Tak sekedar sebagai tim medis atau pembawa bahan logistik saja, di antara mereka bahkan tampil di garda terdepan untuk menghadapi gempuran pihak musuh.
Mereka adalah perempuan-perempuan tangguh, cerdas dan pemberani. Siapa saja mereka? Berikut di antaranya,
Khaulah binti Azur
Baca Juga: Peran Muslimah di Akhir Zaman: Ibadah, Dakwah, dan Keluarga
Ksatria Berkuda Hitam! Itulah sosok Khaulah binti Azur. Seorang muslimah yang kuat jiwa dan raga. Sosok tubuhnya tinggi langsing dan tegap. Sejak kecil Khaulah suka dan pandai bermain pedang serta tombak, dia terus berlatih sampai tiba waktunya menggunakan keterampilannya itu untuk membela Islam bersama para mujahidah lainnya.
Dalam salah satu peperangan melawan pasukan kafir Romawi di bawah kepemimpinan Panglima Khalid bin Walid, diriwayatkan, tiba-tiba saja muncul seorang penunggang kuda berbalut pakaian serba hitam yang dengan tangkas memacu kudanya ke tengah-tengah medan pertempuran. Bagai singa lapar yang siap menerkam, sosok berkuda itu mengibas-ngibaskan pedangnya dan dalam waktu singkat menumbangkan tiga orang musuh.
Panglima Khalid bin Walid serta seluruh pasukannya tercengang melihat ketangkasan sosok berbaju hitam itu. Mereka bertanya-tanya siapakah pejuang tersebut yang tertutup rapat seluruh tubuhnya dan hanya terlihat kedua matanya itu.
Semangat jihad pasukan Muslimin pun terbakar kembali begitu mengetahui bahwa The Black Rider, si penunggang kuda berbaju hitam itu adalah seorang wanita. Keberanian Khaulah kembali teruji ketika dia dan beberapa mujahidah tertawan musuh dalam peperangan Sahura. Mereka dikurung dan dikawal ketat selama beberapa hari. Walaupun terasa mustahil untuk melepaskan diri, Khaulah tidak mau menyerah dan terus menyemangati sahabat-sahabatnya.
Baca Juga: Kesabaran Seorang Istri
Katanya, “Kalian yang berjuang di jalan Allah, apakah kalian mau menjadi tukang pijit orang-orang Romawi? Mau menjadi budak orang-orang kafir? Di mana harga diri kalian sebagai pejuang yang ingin mendapatkan surga Allah? Dimana kehormatan kalian sebagai Muslimah? Lebih baik kita mati daripada menjadi budak orang-orang Romawi!” Demikianlah Khaulah terus membakar semangat para Muslimah sampai mereka pun bulat tekad melawan tentara musuh yang mengawal mereka. Rela mereka mati syahid jika gagal melarikan diri. “Janganlah saudari sekali-kali gentar dan takut. Patahkan tombak mereka, hancurkan pedang mereka, perbanyak takbir serta kuatkan hati. Insya Allah pertolongan Allah sudah dekat.
Dikisahkan bahwa akhirnya, karena keyakinan mereka, Khaulah dan kawan-kawannya berhasil melarikan diri dari kurungan musuh.
Nailah binti Al-Farafishah
Nailah binti al-Farafishah adalah istri Khalifah Ustman bin Affan. Dia terkenal cantik dan pandai. Bahkan suaminya sendiri memujinya begini: “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku”. Subhanallah!
Baca Juga: Muslimat dan Dakwah, Menyebarkan Kebaikan Lewat Akhlak
Mereka menikah di Madinah al-Munawwarah dan sejak itu Ustman kagum pada tutur kata dan keahlian Nailah di bidang sastra. Karena cintanya, Ustman paling senang memberikan hadiah untuk istrinya itu. Mereka punya satu orang anak perempuan, Maryan binti Ustman.
Ketika terjadi fitnah yang memecah belah umat Islam pada tahun 35 Hijriyah, Nailah ikut mengangkat pedang untuk membela suaminya. Seorang musuh menerobos masuk dan menyerang dengan pedang pada saat Ustman sedang memegang mushaf atau Al Qur’an. Tetesan darahnya jatuh pada ayat 137 surah Al Baqarah yang berbunyi, “Maka Allah akan memelihara engkau dari mereka.”
Seorang pemberontak lain masuk dengan pedang terhunus. Nailah berhasil merebut pedang itu namun si musuh kembali merampas senjata itu, dan menyebabkan jari-jari Nailah terputus Ustman syahid karena sabetan pedang pemberontak. Air mata Nailah tumpah ruah saat memangku jenazah sang suami. Ketika kemudian ada musuh yang dengan penuh kebencian menampari wajah Ustman yang sudah wafat itu, Nailah lalu berdoa, “Semoga Allah menjadikan tanganmu kering, membutakan matamu dan tidak ada ampunan atas dosa-dosamu!”
Dikisahkan dalam sejarah bahwa si penampar itu keluar dari rumah Ustman dalam keadaan tangannya menjadi kering dan matanya buta! Sesudah Ustman wafat, Nailah berkabung selama 4 bulan 10 hari. Ia tak berdandan dan berhias dan tidak meninggalkan rumah Ustman ke rumah ayahnya.
Baca Juga: Belajar dari Ibunda Khadijah RA, Teladan untuk Muslimah Akhir Zaman
Nailah memandang kesetiaan terhadap suaminya sepeninggalnya lebih berpengaruh dan lebih besar dari apa yang dilihatnya terhadap ayahnya, saudara perempuannya, ibunya dan juga kerabatnya. Ia selalu mendahulukan keutamaannya, mengingat kebaikannya di setiap tempat dan kesempatan.
Ketika Ustman terbunuh, ia mengatakan, “Sungguh kalian telah membunuhnya, padahal ia telah menghidupkan malam dengan Al Qur’an dalam rangkaian rakaat.”
Nusaibah bin Ka’b
Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam yang mulia berdiri di puncak bukit Uhud dan memandang musuh yang merangsek maju mengarah pada dirinya. Beliau memandang ke sebelah kanan dan tampak olehnya seorang perempuan mengayun-ayunkan pedangnya dengan gagah perkasa melindungi dirinya. Beliau memandang ke kiri dan sekali lagi beliau melihat wanita tersebut melakukan hal yang sama untuk menghadang bahaya demi melindungi sang pemimpin orang-orang beriman.
Baca Juga: Muslimah: Kekuatan Lembut Penggerak Perubahan
Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam kemudian bersabda, “Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri pada pertempuran Uhud kecuali aku melihat Nusaibah binti Ka’ab berperang membelaku.”
Nusaibah binti Ka’ab Ansyariyah demikian cinta dan setianya kepada Rasulullah sehingga begitu melihat junjungannya itu terancam bahaya, dia maju mengibas-ngibaskan pedangnya dengan perkasa sehingga dikenal dengan sebutan Ummu Umarah, adalah pahlawan wanita Islam yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi Islam termasuk ikut dalam perang Yamamah di bawah pimpinan Panglima Khalid bin Walid sampai terpotong tangannya. Ummu Umarah juga bersama Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam dalam menunaikan Baitur Ridhwan, yaitu suatu janji setia untuk sanggup mati syahid di jalan Allah.
Nusaibah adalah satu dari dua perempuan yang bergabung dengan 70 orang lelaki Ansar yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam. Dalam baiat Aqabah yang kedua itu ia ditemani suaminya Zaid bin Ahsim dan dua orang puteranya: Hubaib dan Abdullah. Wanita yang seorang lagi adalah saudara Nusaibah sendiri. Pada saat baiat itu Rasulullah menasihati mereka, “Jangan mengalirkan darah dengan sia-sia.”
Dalam perang Uhud, Nusaibah membawa tempat air dan mengikuti suami serta kedua orang anaknya ke medan perang. Pada saat itu Nusaibah menyaksikan betapa pasukan Muslimin mulai kocar-kacir dan musuh merangsek maju sementara Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam berdiri tanpa perisai. Seorang Muslim berlari mundur sambil membawa perisainya, maka Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam berseru kepadanya, “berikan perisaimu kepada yang berperang.” Lelaki itu melemparkan perisainya yang lalu dipungut oleh Nusaibah untuk melindungi Nabi.
Baca Juga: Di Balik Hijab, Ada Cinta
Ummu Umarah sendiri menuturkan pengalamannya pada Perang Uhud, sebagaimana berikut: “Saya pergi ke Uhud dan melihat apa yang dilakukan orang. Pada waktu itu saya membawa tempat air. Kemudian saya sampai kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam yang berada di tengah-tengah para sahabat. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan, saya melindungi Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam, kemudian ikut serta di dalam medan pertempuran.
Imam Adz-Dzahabi meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid bin Ahsim ia berkata, “Saya mengikuti perang Uhud, maka ketika para sahabat meninggalkan Rasulullah SAW, saya dan ibu saya mendekati baginda untuk melindunginya, lalu baginda bertanya, “Mana Ummu Umarah?” Saya menjawab: ” Ya wahai Rasulullah ,” baginda bersabda :” Lemparkanlah”
Saya pun melemparkan sebuah batu kepada seorang lelaki yang sedang menunggang kuda di hadapan mereka, akhirnya batu itu mengenai mata kuda itu. Kemudian kuda tersebut bergoncang , sehingga penunggangnya terjatuh. Kemudian saya tindih orang itu dengan batu dan Rasulullah melihatnya sambil tersenyum.
Baginda juga melihat luka ibuku di belakangnya, baginda bersabda “Ibumu, ibumu balutlah lukanya, Ya Allah jadikan lah mereka sahabat saya di syurga”. Mendengar itu ibuku berkata : “Aku tidak hirau lagi apa yang menimpaku dari urusan dunia ini”.
Itulah Ummu Umarah yang mengibarkan panji-panji Islam . Membela Rasulullah SAW, ia terluka dalam perang Uhud sebanyak 12 tempat di tubuhnya dan kembali ke Madinah dengan luka2 perjuangan tersebut.
Baca Juga: Menjadi Pemuda yang Terus Bertumbuh untuk Membebaskan Al-Aqsa
Abu Bakar ketika menjadi Khalifah pernah datang menemuinya untuk menanyakan sesuatu. Begitu juga Umar Al-Khattab pernah memperoleh beberapa helai pakaian yang di dalamnya ada yang baru . Maka pakaian yang baru itu dikirim pada Ummu Umarah. Begitulah kehidupan Ummu Umarah melalui hari-hari kehidupan dengan penuh perjuangan tehadap Islam, kemudian senantiasa melakukan kewajipan samada masa perang baik waktu damai.
Ummu Umarah juga bersama Rasulullah SAW untuk menunaikan Baitur Ridhwan, satu janji setia untuk sanggup mati syahid di jalan Allah.
Setelah Rasulullah SAW wafat munculllah Musailamah Al Kazab yang mengaku menjadi nabi . Maka semua orang memeranginya.Hubaib putera Ummu Umarah diutus oleh baginda ketika baginda masih hidup, untuk menyampaikan surat pada Musailamah .Namun Hubaib ditawannya dan diseksa dengan seksa yang mengerikan, namun Hubaib tetap tabah dan sabar.
Musailamah bertanya kepada Hubaib, ” Apakah engkau mengakui bawaha Rasulullah itu adalah utusan Allah?” Dia menjawab “Benar”.
Baca Juga: Muslimat Pilar Perubahan Sosial di Era Kini
Musailamah bertanya lagi, ” Apakah engkau mengetahui bahawa saya adalah utusan Allah?”
Hubaib menjawab, “Saya tidak pernah mendengar yang demikian itu,”. Lalu Musailamah memotong-motong tubuh Hubaib sehingga ia meninggal dunia.
Ketika mengetahui bahawa anaknya Hubaib terbunuh, maka Ummu Umarah bernazar tidak akan mandi sehingga ia dapat membunuh Musailamah. Maka dia akan ikut serta anaknya Abdullah dalam perang Yamamah . Ia sangat berharap agar dapat membunuh Musailamah dengan tangannya sendiri . Namun takdir telah menentukan yang membunuh Musailamah bukan Ummu Umarah tetapi anaknya Abdullah yang menuntut bela diatas kematian saudaranya Hubaib .
Al-Waqidi menceritakan peristiwa yang dialami oleh Ummu Umarah dalam peperangan ini dengan menyatakan, “Ketika sampai kepadanya berita kematian anaknya di tangan Musailamah al Kazzab, maka ia berjanji kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar ia juga mati di tangan Musailamah atau dia yang membunuh Musailamah”.
Baca Juga: Tujuh Peran Muslimah dalam Membela Palestina
Maka dia pun mengkuti perang Yamamah bersama Khalid bin Walid , lalu Musailamah terbunuh dan tangan Ummu Umarah terpotong dalam peperangan tersebut.
Ummu Umarah berkata, “Tangan saya terpotong pada hari peperangan Yamamah, pdahal saya sangat berhajat untuk membunuh Musailamah . Tidak ada yang dapat melarangku sehingga aku dapat melihat anakku Abdullah bin Zaid mengusap pedangnya dengan pakaiannya , lalu aku berkata kepadanya: ” Engkaukah yang membunuhnya ?” Ia menjawab “Ya” . Kemudian aku bersujud kepada Allah kerana bersyukur.
Semoga Allah memberikan rahmat kepada Ummu Umarah dengan rahmat yang luas dan menyambutnya dengan keredhaanNya yang agung.
Rufaidah binti Sa’ad
Baca Juga: Muslimah dan Masjidil Aqsa, Sebuah Panggilan untuk Solidaritas
Sebagai seorang muslim, kita juga mempunyai tokoh yang menjadi pelopor pertama dunia keperawatan Islam. Ia adalah Rufaidah binti Sa’ad, yang merupakan perawat Islam pertama sejak zaman Rasulullah. Rufaidah binti Sa’ad merupakan perawat muslim pertama di zaman Rasulullah SAW. Wanita berhati mulia ini bernama lengkap Rufaidah binti Sa’ad Al Bani Aslam Al Khazraj.
Beliau lahir di Yastrib dan tinggal di Madinah. Rufaidah termasuk kaum Anshar, yaitu golongan yang pertama kali menganut Islam di Madinah. Rufaidah mempelajari ilmu keperawatan saat ia bekerja membantu ayahnya yang berprofesi sebagai seorang dokter.
Menurut Ketua Departemen Social Dan Kedokteran Asal Malaysia, Prof Dr. Omar Hasan Kasule, Rufaidah adalah perawat profesional pertama di masa sejarah Islam. Beliau hidup di masa Nabi Muhammad SAW pada abad pertama Hijriah/abad ke-8 M, dan diilustrasikan sebagai perawat teladan, baik dan bersifat empati. Rufaidah seorang pemimpin, organisatoris, mampu memobilisasi dan memotivasi orang lain.
Dan digambarkan pula memiliki pengalaman klinik yang dapat ditularkan kepada perawat lain, yang dilatih dan bekerja dengannya. Dia tidak hanya melaksanakan peran perawat dalam aspek klinikal semata, namun juga melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit.
Rufaidah adalah public health nurse dan social worker, yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam. Ketika perang Badr, Uhud, Khandaq, dan perang khaibar, Rufaidah menjadi sukarelawan yang merawat sahabat yang terluka akibat perang. Beberapa kelompok wanita dilatihnya untuk menjadi perawat. Dalam perang Khaibar, mereka minta ijin kepada Rasulullah SAW, untuk ikut di garis belakang pertempuran agar dapat merawat mereka yang terluka, dan Rasulullah SAW mengijinkannya.
Ketika damai, Rufaidah membangun tenda di luar Masjid Nabawi untuk merawat kaum muslimin yang sakit. Kemudian berkembang, dan berdirilah Rumah Sakit lapangan yang terkenal saat perang, dan Rasulullah SAW sendiri memerintahkan sahabat yang terluka dirawat olehnya.
Tercatat pula dalam sejarah saat perang al-Khandaq, Sa’ad bin Mu’adz yang terluka dan tertancap panah di tangannya, dirawat oleh Rufaidah hingga stabil. Rufaidah memiliki kepribadian luhur yang memberikan pelayanan keperawatan dengan baik pada para sahabat terluka. Sentuhan sisi kemanusiaan merupakan hal yang sangat penting bagi seorang perawat, sehingga perkembangan sisi teknologi dan kemanusiaan berjalan seimbang.
Rufaidah juga sebagai pemimpin dan pencetus Sekolah Keperawatan pertama di dunia Islam. Beliau juga merupakan penyokong advokasi pencegahan penyakit dan menyebarkan pentingnya penyuluhan kesehatan.
Dalam sejarah Islam mencatat beberapa nama yang bekerja bersama Rufaidah seperti: Ummu Ammara, Aminah binti Qays al Ghifariyat, Ummu Ayman, Safiyat, Ummu Sulaiman, dan Hindun. Dan beberapa wanita muslim yang terkenal sebagai perawat, di antaranya, Ku’ayibat, Aminah binti Abi Qays Al Ghifari, Ummu Atiyah Al Ansariyat, Nusaibat binti Ka’ab Al Maziniyat, dan Zainab dari kaum Bani Awad yang ahli dalam penyakit dan bedah mata.
Munculnya shahabiyah-shahabiyah yang menjadi figur wanita yang mengagumkan tadi bukanlah suatu kebetulan, bukan karena sarana kebutuhan yang masih sederhana, bukan pula karena kebutuhan mereka berbeda dengan kaum wanita saat ini, melainkan karena dilandasi oleh suatu pemahaman Islam ideologis yang tegak di atas keyakinan yang kokoh, yakni aqidah Islamiyah.
Mereka sangat menyadari bahwa konsekuensi dari pemelukan aqidah islamiyah adalah terikat dengan semua aturan-aturan yang terpancar dari aqidah tersebut, mereka belajar untuk memahami aturan-aturan Islam, tidak memilih sebagian aturan saja dan mencampakkan sebagian aturan yang lain.
Mereka belum merasa sebagai orang yang memeluk aqidah Islam, kalau mereka tidak siap untuk menanggung resiko keterikatannya dengan hukum Allah, sekalipun mereka harus mengorbankan harta tertingginya, yaitu nyawa. Mereka lebih mencintai Allah dan Rasulnya dibandingkan dengan keluarganya, bukan karena suatu tradisi yang kebetulan pada saat itu, tapi dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim dan muslimah. Dan semoga para muslimah dapat mengambil dan meniru teladan dari mereka. (P011/R03)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)