Oleh : Sri Astuti, Wartawan Mi’raj News Agency (MINA)
Berhijab bagi wanita muslim merupakan satu kewajiban. Mengenakannya berarti menjalankan salah satu perintah Allah di maktubkan dalam Al Quran. Namun sangat disayangkan mereka yang mengenakan hijab justru kerap kali mendapatkan diskriminasi, dilecehkan dan di labeli dengan stigma negatif serta julukan-julukan tidak menyenengakan seperti “teroris”, “ninja”, “Kuno” dan kata tidak mengenakkan lainya.
Tidak hanya itu, bahkan di beberapa negara dengan penduduk muslim yang minoritas, para wanita berhijab kerap kali mendapatkan serangan secara fisik, seperti diludahi, dipukul bahkan hingga pada penyerangan menggunakan senjata yang mengancam nyawa.
Diskriminasi karena mengenakan hijab itu dialami oleh Nazma Khan, yang besar di Bronx, New York, dan masih membawa identitasnya sebagai perempuan muslim Bangladesh. Ia sudah berhijab sejak masih kecil.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Pada satu kesempatan Nazma bercerita tentang bagaimana perjuangannya menghadapi bullying ketika awal-awal perpindahannya dari Bangladesh ke New York, dimana saat itu ia maish berusia 11 tahun. Saat itu ia mendapati dirinya menjadi satu-satunya yang mengenakan hijab di sekolah menengah. Nazma mengenang hal itu sebagai pengalaman yang sulit.
“Tumbuh di Bronx, di NYC, saya mengalami banyak diskriminasi karena hijab saya,” kenangnya.
“Saya sendiri memilih mengenakanan hijab untuk mematuhi sang pencipta dan menunjukkan status saya sebagai wanita muslim. Tapi saya tidak tahu bahwa kain di kepala saya itu menyebabkan banyak pengalaman menyakitakan selama 7 tahun berikutnya,” ujar Nazma.
“Saya didiskriminasi secara verbal dan fisik. saya dipanggil ‘Batman’ atau ‘ninja’. Bahkan pada satu kesempatan saya kerap kali dikejar, ditendang dan diludahi, baik di sekolah atau di luar. Saya sangat takut,” katanya.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Namun ia mengungkapkan bahwa titik terendah diskriminasi saat sekolah di Bronx bukan dari teman-teman sekelasnya, tapi justru guru bahasa inggrisnya.
“Guru yang seharusnya melindungi, dan menolong untuk meningkatkan keberanian serta rasa percaya diri saya justru melakukan sebaliknya, ia menjadikan cara bepakaian saya bahan ejekan,” kata Nazma.
Ia mengungkapkan hal itu terus terjadi hingga ia sekolah menengah atas dan bahkan lebih intens.
“Saya masih ingat, saat itu sekelompok anak perempuan menunggu saya keluar kelas, untuk menarik hijab saya. Dan tentu saya tidak pernah lupa ketika saya tidak berdaya saat 10 hingga 15 anak laki-laki membuka hijab saya,” ujar Nazma mengenang kejadian menyakitkan itu dengan menahan air matanya.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Ketakutan yang lebih besar juga ia rasakan saat memasuki masa kuliah dimana peristiwa 9/11 baru saja terjadi. Saat itu menjadi muslim di New York sangat beresiko. Dan mengenakan hijab merupakan tanda pasti yang menyatakan wanita sebagai muslim.
“Saya benar-benar hidup dalam ketakutan. Saya dipangggil Osama bin Laden dan teroris,” ujarnya.
Saat itu Nazma baru saja membuka toko hijab onlinenya, stunning hijab.com. Terdorong rasa ingin menolong orang lain yang memiliki pengalaman serupa, ia ingin tokonya dapat menjadi support system dimana perempuan muslim bisa membagikan pengalaman berhijab mereka.
Tidak lama setelah itu, ia mulai menerima email dari perempuan-perempuan negara lain.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
“Saya ingat betul ia adalah seorang gadis berusai 14 tahun dari Inggris. Dia menulis email yang menceritakan bagaimana teman sekelasnya mengunyah permen karet dan menempelkanya ke hijab gadis itu. Ia jadi bahan tertawaan hanya karena ia mengenakan hijab,” jelas Nazma.
Ia juga menerima email dari seorang perempuan yang dipecat dari pekerjaannya dan ditolak saat melakukan interview.
Pernah merasakan hal serupa, membuat Nazma tak tinggal diam. Saat musim panas 2011, setelah menerima email dari para perempuan di berbagai belahan dunia yang mengalami situasi serupa, Nazma terus berfikir bagaimana ia bisa menolong perempuan-perempuan itu dan dirinya sendiri.
“Setelah membaca semua pesan-pesan mereka, saya bisa merasakan apa yang mereka alami dan simpati kepada mereka. Saya tahu betul apa yang mereka alami,” ungkapnya.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
“Itulah saat dimana ide tentang world hijab day (WHD) muncul dikepala saya. Saya berfikir jika saya bisa mengundang semua orang, baik muslim atau non-muslim untuk hanya satu hari saja mengenakan hijab, mungkin seuatu akan berubah,” kata Nazma.
Kemudian Nazma membuka website world hijab day.com di fans page Facebook yang diluncurkan pada 21 januari 2013.
Melalui websitenya, perempuan asal Bangladesh itu mengajak seluruh perempuan untuk mencoba dan merasakan pengalaman mengenakan hijab pada tanggal 1 Februari. Tujuannya? Untuk membangun dan menumbuhkan rasa toleransi antar umat beragama.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Tak disangka, idenya ini mendapat respon sangat positif dari berbagai pihak. Orang-orang dari 67 negara seperti Prancis, Australia, Inggris, Pakistan, Jerman, Denmark, Swedia, Albania, hingga Nigeria. Perempuan dari berbagai latar belakang agama termasuk Yahudi, Pagan dan ateis, turut menunjukkan dukungan mereka.
WHD juga mendapat pengakuan dari negara bagian New York pada 2017. Di tahun yang sama, House of Commons dari Inggris menyelenggarakan acara untuk ikut memperingati hari itu dan Perdana Menteri Inggris 2016-2019 Theresa May turut hadir.
“Saya menerjemahkan poster whd hingga ke 23 bahasa berbeda termasuk belanda, kroasia, Indonesia dan Burma,” kata Nazma.
Gerakan yang dibuat untuk meredam ketegangan mengenai penggunaan hijab itu kini telah dirayakan di 140 negara di dunia. Seperti Argentina, Brazil, Bulgaria, Kamboja, Indonesia, Kanada, Belgia, Brunei Darussalam, Costa Rica, Mesir, Finlandia, Prancis, Jerman, Kuba, India, Gambia, Jamaika, Korea, Italia, Irak, Iran, Norwegia, Rusia, dan masih banyak lagi.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
WHD juga memberikan kesempatan kepada warga di seluruh dunia yang tidak akrab dengan agama Islam untuk membuka dialog dengan tetangga, rekan kerja, dan teman muslim mereka.
Selain itu, WHD memberikan kesempatan bagi para guru untuk memahami mengapa siswa muslim mereka mengenakan hijab. Gerakan itu juga memberi para ibu non-muslim untuk lebih memahami iman putri mereka dan keputusan untuk mengenakan jilbab.
Kini WHD juga memiliki banyak sukarelawan dan duta besar di seluruh dunia yang berasal dari semua lapisan masyarakat. Pada tahun 2017, WHD resmi menjadi organisasi nirlaba.
Melalui ide besarnya itu, Nazma telah menyadarkan masyarakat tentang toleransi untuk wanita berhijab dan memahami keputusan mereka untuk mengenakan hijab, yang berarti menyelamatkan perempuan-perempuan muslim di seluruh dunia dan dirinya sendiri dari diskriminasi. Sehingga kedepanya tidak ada lagi wanita berhijab yang mengalami hal menyakitkan seperti yang ia alami. (A/R7/P2)
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu