Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan Kantor Berita MINA
Pekan ini bertepatan dengan peringatan 35 tahun tragedi pembantaian terhadap ribuan pengungsi Palestina yang dilakukan oleh militer Israel. Pagi tanggal 16 September 1982, para pengungsi Palestina di kamp Sabra dan Shatila di Lebanon menjadi korban dari salah satu babak pembantaian berdarah paling sadis sepanjang sejarah bangsa Palestina atau bahkan salah satu paling sadis sepanjang sejarah dunia.
Keputusan pembantaian itu keluar dari pimpinan Rafael Eitan, seorang panglima perang militer Israel dan Menteri Pertahanan Israel Ariel Sharon di pemerintahan Manachem Begin yang berkoalisi dengan partai Falangis Lebanon. Mereka inilah yang mengukir sejarah kezaliman dan kebengisan dengan tinta darah.
Ada tiga pasukan militer dengan tiga regu masing-masing terdiri dari 50 personel masuk ke kamp. Kelompok Kristen Maronit Libanon melakukan pengepungan penduduk kamp pengungsi dan mulai membunuhi warga sipil tanpa belas kasihan dan tanpa ragu-ragu.
Baca Juga: Tentara Israel Cemas Jumlah Kematian Prajurit Brigade Golani Terus Meningkat
Kamp ini dikepung penuh oleh militer Lebanon Selatan dan militer Israel. Pasukan Israel masuk dan mulai melakukan pembantaian dengan senjata putih pisau, pedang dan senjata lainnya.
Pembantaian terjadi selama tiga hari penuh dari tanggal 16 sampai 18 September yang menewaskan jumlah sangat besar dari kalangan warga laki-laki, perempuan dan orang tua warga sipil tanpa senjata apapun. Sebagian besar mereka adalah pengungsi Palestina, sebagian lagi warga Lebanon.
Pembantaian dimulai setelah militer Israel yang dipimpin Ariel Sharon dan Rafael Eitan sebagai panglima perang mengepung kamp pengungsi kemudian menggelar pembantaian tersebut jauh dari pantauan media massa. Pasukan Israel menggunakan “senjata putih” pisau dan pedang serta senjata lainnya untuk menghabisi warga kamp. Tugas militer Israel saat itu mengepung kamp dan menerangkan malam hari dengan bom suar cahaya.
Setelah itu, militer Israel dan militer Lebanon mengepung bersamaan dua kamp Sabra dan Shatila serta menurunkan ratusan pasukan bersenjata dengan alasan mencari 1.500 pejuang Palestina. Padahal mereka yang ditengarai pejuang Palestina itu berada di luar kamp pengungsi.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Di dalam kamp hanya ada anak-anak, wanita dan orang tua. Mereka inilah yang dibunuh oleh pasukan bersenjata. Setelah itu buldoser Israel datang menggerus kamp dan menggusur rumah-rumah meratakan dengan tanah untuk menutupi kejahatan itu.
Pembantaian ini digelar untuk melampiaskan dendam terhadap bangsa Palestina yang tegar menghadapi alat perang Israel selama tiga bulan dikurung dan diblokade. Blokade yang berakhir dengan jaminan-jaminan internasional agar mereka melindungi warga kamp pengungsi setelah kelompok perlawanan Palestina keluar dari Beirut. Namun, negara-negara penjamin tidak memenuhi janjinya dan membiarkan warga sipil tak berdosa menjadi korban pembunuhan tersebut.
Pembantaian Sabra-Shatila digelar untuk menciptakan rasa gentar dan takut dalam jiwa warga Palestina agar mereka kabur keluar Lebanon serta menciptakan fitnah dalam negeri Lebanon. Selain itu juga, dengan mengagresi Lebanon tahun 1982, Israel ingin menghabisi eksistensi warga Palestina sebagai pengungsi di Lebanon. Warga pengungsi Palestina juga difitnah bahwa elit mereka sudah meninggalkan Lebanon dan membiarkan mereka tanpa perlindungan.
Pembantaian Sabra-Shatila bukan pertama kalinya dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, tapi juga bukan terakhir. Sebelumya ada pembantaian Qabiah, Deer Yasin, Thanthua, pembantaian kamp Jenin, pembantaian Gaza dan lainnya. Meski dunia menjadi saksi atas kebrutalan dan kejahatan pembantaian itu, para pelakunya masih bebas berkeliaran.
Baca Juga: Anakku Harap Roket Datang Membawanya ke Bulan, tapi Roket Justru Mencabiknya
Sementara jumlah korban sebenarnya hingg saat ini masih diperdebatkan. Ada kesepakatan umum bahwa jumlah yang pasti sulit ditentukan, karena kondisi yang kacau pada saat dan setelah pembantaian, penguburan, dan penghitungan awal para korban. Selain itu, malah tragedi ini juga sangat sensitif secara politis bahkan hingga hari ini. Diperkirakan bahwa sekurang-kurangnya seperempat dari para korban adalah orang Lebanon dan sisanya Palestina.
Berikut ini adalah klaim-klaim utama yang disusun berdasarkan jumlah korban:
- Surat dari kepala utusan Palang Merah kepada Menteri Pertahanan Lebanon, yang dikutip dalam laporan Komisi Kahan sebagai “bukti 153”, menyatakan bahwa wakil-wakil Palang Merah telah menghitung 328 mayat; tetapi komisi ini mencatat bahwa “namun demikian angka ini tidak mencakup semua mayat…”
- Komisi Kahan mengatakan bahwa, menurut sebuah dokumen yang tiba di tangan kami (bukti 151), jumlah korban keseluruhan yang tubuhnya ditemukan sejak 18 September 1982 hingga 30 September 1982 adalah 460. Komisi ini mengklaim bahwa angka ini terdiri dari “jumlah mayat yang dihitung oleh Palang Merah Lebanon, Palang Merah Internasional, Pertahanan Sipil Lebanon, korps medis dari tentara Lebaon, dan oleh keluarga para korban.”
- Angka yang diberikan Israel, berdasarkan intelijen Angkatan Pertahanan Israel (IDF), menyebutkan 700-800 mayat. Menurut pandangan Komisi Kahan, “ini mungkin sekali angka yang paling dekat dengan realitas.”
- Menurut BBC, “sekurang-kurangnya 800” orang Palestina meninggal.
- Bayan Nuwayhed al-Hout dalam bukunya Sabra and Shatila: September 1982(Pluto, 2004) menyebutkan jumlah minimum 1.300 nama korban berdasarkan perbandingan terinci dari 17 daftar korban dan bukti-bukti pendukung lainnya dan memperkirakan jumlah yang bahkan lebih tinggi lagi.
- Robert Fisk, salah seorang wartawan pertama yang mengunjungi tempat kejadian, mengutip (tanpa membenarkan) para perwira Falangis yang mengatakan bahwa “2.000 ‘teroris’ – perempuan maupun laki-laki – telah terbunuh di Chatila.” Bulan Sabit Merah Palestina menyebutkan angka lebih dari 2.000 orang.
- Dalam bukunya yang diterbitkan segera setelah pembantaian itu, wartawan Israel, Amnon Kapeliouk dari Le Monde Diplomatique, menyimpulkan sekitar 2.000 jenazah yang disingkirkan setelah pembantaian itu menurut sumber-sumber resmi dan Palang Merah dan “perkiraan yang kasar sekali” menduga 1.000-1.500 korban lainnya yang disingirkan oleh para Falangis itu sendiri. Angka keseluruhannya yaitu 3.000-3.500 ini yang sering dikutip oleh orang Palestina.
Pembantaian ini membangkitkan kemarahan di seluruh dunia. Pada 16 Desember 1982, Sidang Umum PBB mengutuk pembantaian ini dan menyatakannya sebagai suatu tindakan genosida. Namun tidak ada tindakan, baik nasional maupun internasional, yang dilakukan terhadap komandan Falangis, Elie Hobeika, hingga akhirnya terbunuh oleh sebuah bom di Beirut pada 2002.
Sabra dan Shatila
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Sabra adalah nama sebuah kampung Ghabiriah di distrik Jabal, Lebanon yang dibatasi oleh kota Beirut dari utara dan kota Olahraga dari barat, dan kuburan Syuhada dan Qashqash dari timur dank amp Shatila dari selatan.
Di kampung Sabra ini dihuni oleh jumlah besar warga pengungsi Palestina meski bukan menjadi kamp pengungsi resmi meski terkait dengan nama Shatila sehingga ia terkesan sebagai kamp pengungsi.
Penamaan ini merujuk kepada keluarga Sabra yang menjadi nama jalan di jantung kampung dari kampung Dona di kawasan jalan baru di Beirut dan Mara di lapangan Sabra dan pasar induk sayur buah hingga berakhir di gerbang kamp pengungsi Shatila.
Sementara Shatila adalah kamp pengungsi permanen Palestina yang didirikan oleh Badan Bantuan PBB (UNRWA) tahun 1949 untuk menampung pengungsi yang bergelombang dari desa-desa Amqa, Majda Karum, Yajur di Palestina Utara setelah tahun 1948.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Kamp pengungsi Shatila tertelak di selatan Beirut, ibukota Libanon. Beberapa bulan setelah Nakba (1948), dan ketika kebutuhan semakin mendesak kepada tempat hunian, Sa’dudin Basha Shatila menyumbangkan tanah miliknya untuk pengungsi Palestina. Sejak saat itu, kamp pengungsi dikenal dengan nama Shatila.
Separuh dari tanah kamp Shatila disewa oleh UNRWA dan setengahnya milik PLO. Kamp pengungsi ini dikenal sebegai tempat pembantaian Sabra dan Shatila pada September 1982 selain peristiwa-peristiwa perang bersaudara Libanon di tahun 1982 dan perang kamp-kamp pengungsi antara tahun 1985.
Shatila luasnya tidak lebih dari 1 km persegi yang dihuni oleh lebih dari 12.000 pengungsi sehingga menjadi kamp paling padat. Ada dua sekolah di sana dan satu pusat kesehatan. Kamp pengungsi ini mengalami situasi kesehatan lingkungan yang sangat buruk. Tingkat kelembaban sangat tinggi di dunia hunian pengungsi ini dan padat. Drinase sangat buruk dan buruh perluasan. (A/R06/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat