Oleh: Illa Kartila – Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency/MINA
Kaum Muslim khususnya dan rakyat Indonesia umumnya kembali kehilangan ulama besar dan tokoh Nahdlatul Ulama, ketika KH Hasyim Muzadi menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 72 tahun, Kamis (16/3) pagi, setelah menderita sakit sejak Januari lalu dan sempat menjalani perawatan intensif di RS Lavalette, Malang, Jawa Timur.
Kabar meninggalnya KH Hasyim Muzadi disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin melalui Twitter. “Telah wafat KH. Hasyim Muzadi pagi ini. Mari doakan almarhum diampuni kesalahannya, diterima amal bajiknya, berada di sisiNya. Al-faatihah..,”
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD juga membenarkan kabar meninggalnya KH Hasyim Muzadi. Dia mengatakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu meninggal Kamis pukul 06.00 WIB. Menurut rencana, jenazah KH Hasyim Muzadi akan dibawa ke Jakarta untuk dikebumikan di Al Hikam, di Kota Depok.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Meninggalnya mantan Ketum PBNU, Hasyim Muzadi, menyisakan duka mendalam bagi seluruh umat muslim. Tak terkecuali mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Dalam pandangannya, kyiai yang satu ini adalah sosok yang komplit. Alamarhum dinilainya sebagai tokoh ulama yang berkomitmen dalam menjaga Islam dan NKRI.
“Kyai Hasyim Muzadi adalah tokoh yang bisa memeberi contoh kepada kita bagaimana hidup dalam keIndonesiaan dan keIslaman yang damai dan berprinsip,” ujar dia lewat akun Twitter-nya, @mohmahfudmd, Kamis (16/3).
Pimpinan Pesantren Al Hikam itu sebelumnya menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Lavalette Kota Malang pada 6 Januari akibat kelelahan. “Masuk rumahsakit karena kelelahan saja dan berinisiatif minta dirawat,” kata Abdul Hakim, anak pertama KH Hasyim Muzadi. “Setelah kondisinya stabil, pada 17 Januari diperbolehkan pulang dan istirahat di di Malang.”
Selama dirawat Hasyim dalam kondisi sadar dan bisa berbincang-bincang lancar dengan keluarga yang menunggunya. Setiap pengunjung yang datang selalu diajak bicara. Hasyim mengalami kelelahan setelah melakukan perjalanan padat dalam seminggu terakhir. Sebelumnya melakukan perjalanan ke Jakarta, Yogyakarta, Padalarang dan lain-lain.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Ucapan belasungkawa atas wafatnya Anggota Dewas Pertimbangan Presiden itu datang dari Mustasyar PB NU, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus lewat twitternya. “Innã liLlãhi wainnã ilaiHi rãji’űn. Kita kehilangan lagi seorang tokoh, mantan Ketum PBNU, KH. Hasyim Muzadi. Semoga Husnul Khãtimah.”
Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf juga mengungkapkan belasungkawa atas meninggalnya mantan Ketua Umum PBNU tersebut. “Innalillahi wainnalillahi raji’un. Turut berduka cita yg sedalam-dalamnya atas wafatnya KH Hasyim Muzadi. Semoga almarhum husnul khotimah.”
Sehari sebelumnya, Presiden Jokowi bersama Ibu Negara Iriana menjenguk Hasyim Muzadi di kediamannya, Kompleks Pondok Pesantren Al Hikam, Malang, Jawa Timur. Jokowi menginstruksikan tim dokter kepresidenan untuk membantu penanganan medis atas kondisi kesehatan kyiai ini.
Rombongan Jokowi yang didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo berada hampir 45 menit di kediaman mantan Ketua Umum PBNU, yang jatuh sakit sejak awal Januari 2017 itu. Jokowi menjelaskan bagaimana kondisi terakhir Hasyim Muzadi, termasuk apakah sudah bisa berkomunikasi langsung dengan kiai atau tidak.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Pandangan Muzadi tentang negara Islam
KH Ahmad Hasyim Muzadi yang lahir di Bangilan, Tuban 8 Agustus 1944 adalah seorang tokoh Islam Indonesia dan mantan ketua umum Nahdatul Ulama yang menjabat sebagai anggota Wantimpres sejak Januari 2015. Ia juga pernah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam di Malang, Jawa Timur, sebelumnya dia sempat mengeyam pendidikan di Pondok Pesantren Modern Darussalam gontor (1956 – 1962).
Hasyim muda menempuh jalur pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah di Tuban tahun 1950, dan menuntaskan pendidikannya tingginya di Institut Agama Islam Negeri Malang, Jawa Timur pada 1969.
Kiprah organisasinya dimulai ketika tahun 1992 ia terpilih menjadi Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur yang terbukti mampu menjadi batu loncatan bagi Hasyim untuk menjadi Ketua PBNU pada tahun 1999. Suami Hj. Muthomimah ini pernah menjadi anggota DPRD Tingkat 1 Jawa Timur pada 1986, ketika itu masih bernaung di bawah Partai Persatuan Pembangunan.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Muzadi disebut-sebut sebagai pendamping Mrgawati Soekarnoputri dalam pemilihan presiden Indonesia awal November 2003. Ia resmi maju bersama Megawati pada 6 Mei 2004. Dalam pemilihan umum presiden 2004, Megawati dan Muzadi meraih 26,2 persen suara di putaran pertama, tetapi kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla di putaran kedua.
Sebagai ulama, pemikiran-pemikiran cerdas dari KH. Hasyim Muzadi brilian dan sangat relevan dengan perkembangan Islam kekinian. Selalu banyak yang menantikan ulasan dan pendapat dia terkait masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat maupun negara, terutama mengenai radikalisme.
Cara pandang kiyai yang satu ini selalu bisa menenangkan dalam menghadapi persoalan bangsa. Perjalanan karirnya tidak bisa dilepaskan dari NU. Dia juga sebagai ulama yang selalu membawa nafas nasionalis dan pluralis. Sama seperti pendahulunya, Gus Dur, Hasyim senantiasa membawa nafas nasionalisme anti radikalisme dan menjaga kerukunan antar umat beragama.
Salah satu pemikirannya adalah tentang Sistem Khilafah untuk menjawab pertanyaan apakah umat Islam harus mendirikan negara Islam? Dalam sebuah Seminar Nasional “NII dan Gerakan Radikalisme Beragama” di Jakarta belum lama ini, Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ini punya pendapat berbeda.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Ketika umat Islam dihadapkan persoalan pokok, ihwal perlu atau tidaknya mendirikan negara Islam, dia berpendapat bahwa segala sesuatu harus dipertimbangkan dari sisi kemaslahatan umat, bukan semata keinginan kelompok tertentu saja, namun dapat diterima oleh semua pihak.
Menurut Muzadi, ada beberapa pendekatan jika berbicara soal wacana Negara Islam. Pertama, pendekatan syariat. Lebih jauh ia menjelaskan, Rasulullah, pernah membentuk civil society (masyarakat Islam Madani) di Madinah, kurang lebih dua tahun, sebelum beliau wafat. Ketika itu, Nabi SAW membuat aturan kemasyarakatan, yang dikenal dengan istilah Piagam Madinah ang statusnya bukan bentuk ijtihad, melainkan wahyu.
Dalam Piagam Madinah dibuat agreement yang mengatur kehidupan masyarakatnya yang majemuk, ada Muslim, Yahudi, Nasrani, dan agama lokal (shobiin), serta berbagai suku yang tidak jelas agamanya. Saat itu Rasulullah membuat sebuah referendum atau konsensus nasional Madinah. Piagam Madinah (Madinah Charter) yang melingkupi 47 pasal ini dikelompokkan dalam beberapa masasalah:
Pertama, bagaimana mengatur ukhuwah Islamiyah dengan sesama umat Islam yang berbeda suku dan pemikiran. Rasulullah mengajarkan, jika ada pertentangan dengan sesama muslim, maka harus dikembalikan pada Qur’an dan Hadits. Karena itu, persoalan khilafiyah, seperti perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, tak perlu didipertengkarkan. “Yang penting kerangkanya Islam.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Kedua, bagaimana mengatur hubungan Islam dengan non-muslim. Orang yang berbeda akidah harus diberi kebebasan untuk menjalankan agamanya masing-masing. Karena itu yang menyangkut hak sipil, warga negara Madinah harus disamakan, seperti hak keamanan, pendidikan, dan hak perlindungan. Inilah yang dikenal dengan pluralisme atau pluralis sosilogis, bukan pluralis teologis. Ketentuan lakum dinukum waliyadin pun berlaku.
Mengenai hak kemanusiaan, menurut Muzadi ada kesepakatan yang tidak boleh dilanggar. Orang Islam tidak boleh mengambil hak orang lain, bukan hanya sesama muslim, tapi juga non-muslim. Yang boleh adalah di saat perang, di situ ada rampasan perang atau ghanimah.
“Jika ada serangan dari luar Madinah ke Madinah, maka seluruh agama harus bersatu melawan serangan dari luar. Inilah yang disebut nasionalisme. Tapi, Islam memberi warning, setiap persatuan pasti ada pembusukan, selalu ada pengkhianatan, kepalsuan, dan pertikaian,” katanya.
Kiai NU ini juga mengingatkan, tidak bisa setiap orang berhak mengumumkan perang. Mengingat perang bisa mengubah hukum. Orang yang membunuh di luar perang bisa dikenai qishas. Sedangkan orang yang membunuh di saat perang tidak dikenai qishas. “Kalau perang dideklair oleh perorangan, maka bisa seenaknya sendiri, membunuh tanpa merasa berdosa, bahkan dianggap jembatan menuju surga.”
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Muzadi yang sempat menulis buku: “Membangun NU Pasca Gus Dur” (1999) “NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa” (1999) dan “Menyembuhkan Luka NU” (2002) ini tidak setuju jika dikatakan, semua agama sama. Masing-masing agama, ada persamaan dan ada pula perbedaannya. “Yang beda jangan dipaksakan untuk sama, tapi yang sama jangan dibeda-bedakan.” Innalilahi wa innailaihi rojiun, semoga KH Hasyim Muzadi husnul khotimah. Amin. (RS1/P01)
Miraj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara