MENGENDALIKAN AMARAH

Oleh: Zaenal Muttaqin*

Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT) berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imron: 133-134).

Salah satu naluri alamiah yang melekat pada diri manusia adalah amarah. Ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Selama manusia masih hidup maka ia akan selalu melekat dan menyertainya.

Amarah diciptakan oleh Allah sebagai salah satu ujian bagi manusia, untuk menilai sebesar apa kekuatan bangunan ketakwaan dan keimanannya. Manusia yang tidak sanggup mengelola amarahnya, adalah manusia yang masih lemah bangunan ketakawaannya.

Manusia yang gampang terbakar amarahnya akan mudah melakukan tindakan anarkhis (merusak) dan di luar etika serta nalar yang sehat. Ketika amarah menguasai pikirannya tidak akan mampu lagi membedakan hal yang baik dan yang buruk. Padahal Allah menjanjikan bagi orang yang mampu mengendalikan amarahnya dengan pahala yang amat besar.

Seperti telah disabdakan oleh Rosulullah SAW: “Siapa yang bisa menahan amarahnya, padahal sebenarnya dia mampu melampiaskannya, maka kelak di hari kiamat Allah akan memanggilnya di depan semua makhluk. Kemudian disuruh untuk ememilih bidadari sesukanya,” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Sikap yang tenang, tutur kata yang lembut dan tindakan yang bijak, di saat amarah datang, memang sungguh sulit untuk dikerjakan. Namun demikian, bukan berarti itu tidak bisa dilakukan, dengan mencoba melatih dan mempelajari cara-cara meredam amarah bisa diterapkan.

Nabi Muhammad SAW adalah teladan bagi ummat manusia, selama hayatnya beliau tidak pernah bertindak kasar. Untuk menjaga perasaan lawan bicaranya, tutur kata beliau selalu lembut. Itu bisa dicoba untuk kita tiru yang selama ini mengaku sebagai pengikutnya.

Beliau sebenarnya juga manusia seperti kita juga, beliau juga punya hati dan pikiran, beliau juga pernah marah. Tapi amarahnya tidak sampai melampui batas-batas kemuliaannya sebagai Nabi utusan Allah SWT. Beliau tidak marah kecuali jika sendi-sendi agama Allah diganggu atau dirusak.

Di dunia ini berbagai masalah dihadapi oleh manusia, hampir setiap hari permasalahan terus menghadang dan tidak sedikit yang kemudian akrab dengan kemarahan. Walaupun sebenarnya segala permasalahan itu merupakan ujian bagi orang yang beriman dan bertakwa.

Dalam kehidupan keluarga bila diantara anggotanya ada yang marah seringkali menimbulkan kesemrawutan dan bahkan mengganggu keharmonisan. Seringkali justru menimbulkan percekcokan dalam keluarga tersebut.

Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: At Taghobun: 14).

Wallahu a’lam bish showaab. (P07/E02 )

*Wartawan di Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Comments: 0