Menggagas Badan Pengelola Tol Laut

Direktur Namarin Siswanto Rusdi. (Foto: Istimewa)

Oleh: Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

Membuka rapat terbatas di Kantor Presiden beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan kekecewaannya — sebagian media menyebutnya marah — dengan pelaksanaan program .

Fakta menunjukkan, sejak digulirkan pada 2015, kebijakan tol laut tidak mampu mengurangi disparitas harga antardaerah, selain juga gagal memangkas biaya logistik antarpulau.

Sebetulnya, bukan kali pertama Kepala Negara mengungkapkan ketidakpuasannya terkait salah satu program andalannya itu. Silakan berselancar di jagat maya untuk membacanya.

Saya termasuk salah satu pengamat yang mengikuti perjalanan tol laut ketika ia masih embrio, yaitu saat kampanye Pemilihan Presiden 2014. Penulis merangkai beberapa karangan seputar isu tersebut sejurus gagasan itu muncul di media.

Jujur saja, sejak kemunculannya saya sudah pesimis akan keberhasilan program tol laut. Terlalu banyak kelemahan di dalamnya. Yang paling menonjol adalah program itu sejak awal dijalankan tanpa strategi yang memadai. Padahal strategi adalah kunci kesuksesan tol laut.

Walaupun tidak menyebut ketiadaan strategi sebagai penyebab ketidakmampuan tol laut menekan disparitas harga dan biaya logistik nasional, pejabat Kementerian Perhubungan yang menjalankan program tol laut. Captain Wisnu Handoko yang berbicara kepada media setelah Presiden mengungkapkan isi hatinya yang kecewa, menyinggung lemahnya peran kementerian/lembaga terkait dalam program tersebut.

Di sisi lain, peran Kementerian Perhubungan hanya sekitar 10 persen saja. Begitu ungkapnya ketika mengemukakan secara langsung masalah tol laut kepada saya belum lama berselang.

Keterlibatan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, BUMN, dan berbagai pihak terkait lainnya dalam program tol laut merupakan salah satu isu yang seharusnya sudah jelas sejak program ini diluncurkan dan dimasukkan ke dalam strategi atau grand design tol laut.

Dalam prinsip kebijakan publik yang ada, tol laut adalah tugas di luar tugas pokok masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) di muka. Menjalankan tugas seperti ini bukan tidak lazim, tetapi akan lebih baik jika ada arahan yang pasti dalam sebuah konsep, syukur-syukur ada landasan hukumnya.

Karena di luar tugas pokok, maka anggaran, human capital dan lain sebagainya akan direncanakan secara terpisah oleh kementerian/lembaga yang terlibat demi kesuksesan program tol laut sejauh ada panduannya.

Bisa jadi, situasi semacam inilah yang melatarbelakangi lemahnya keterlibatan seluruh stakeholder dalam program tol laut seperti yang disinggung oleh pejabat Kemenhub sebelumnya.

Salah mengambil langkah bisa-bisa menjadi temuan oleh dua lembaga yang sama-sama berakhiran huruf K, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Di tengah ketiadaan strategi tadi, Kemenhub meluncurkan 100 kapal baru untuk mendukung tol laut dan semuanya sudah beroperasi saat ini. Plus, ratusan miliar rupiah untuk mensubsidi layanan itu sejak 2015.

Duit sebanyak itu dan ribuan jam kerja yang dibukukan oleh PNS Kemenhub demi mewujudkan visi maritim nasional untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia ternyata masih belum maksimal di mata sang empunya visi.

Pertanyaannya kemudian adalah, apa yang bisa dilakukan agar program tol laut bisa lebih efektif menekan disparitas harga dan biaya logistik nasional seperti keinginan RI-1?

Badan Pengelola

Salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kinerja program tol laut adalah dengan mendirikan sebuah badan yang fokus atau dedicated mengurusi tol laut.

Lembaga dimaksud mengambil alih tugas-tugas yang selama ini diemban oleh Direktorat Lalu Lintas Laut, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan.

Unit eselon dua ini memang mengelola program tol laut sejak diluncurkan lima tahun yang lalu. Secara umum tugas pokok Direktorat Lalu Lintas Laut adalah mengatur trayek seluruh kapal komersial di Tanah Air.

Karenanya, tidak terhindarkan program tol laut akhirnya diperlakukan sebagai jejaring trayek semata. Dan, memang seperti itulah kenyataannya di lapangan. Coba perhatikan langkah yang diambil oleh Direktorat Lalu Lintas Laut ketika program tol laut mendapat masalah atau dikritisi, yakni mengubah trayek kapal. Hanya itu.

Bukan salahnya instansi itu bila keadaannya demikian. Sebagai unit eselon dua tak banyak kewenangan yang dimilikinya; paling hanya bisa meminta, tidak bisa memerintah. Itupun harus disuarakan oleh Menteri Perhubungan yang menyampaikannya ke menteri terkait.

Bagaimana dengan keberadaan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi dalam mengorkestrasi kementerian/lembaga yang ada dalam lingkup koordinasinya agar program tol laut sukses?

Cukuplah kekecewaan Presiden terhadap tol laut sebagai jawabannya. Singkat cerita, ada masalah institusional atau kelembagaan dalam program tol laut yang perlu dicarikan jalan keluarnya agar program ini moncer, paling tidak untuk empat tahun ke depan.

Badan Pengelola Tol Laut (nama ini sekedar usulan) merupakan lembaga ad hoc, tetapi dengan kewenangan atau power yang besar. Hal ini diperlukan untuk mendobrak, jika perlu menggebrak kementerian/lembaga lain yang memiliki andil dalam program tol laut.

Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, pemerintah daerah dan semua pihak harus didorong oleh badan itu agar lebih lincah. Jangan menyerahkan program tol laut seluruhnya kepada Direktorat Lalu Lintas Laut. Ia sendirian tidak akan mampu.

Namun, harus digarisbawahi bahwa lima tahun berjalan Direktorat Lalu Lintas Laut/Kementerian Perhubungan sudah berupaya maksimal. Dan ini selayaknya diapresiasi. Tetapi tol laut terlalu luas, sementara kemampuan Kementerian Perhubungan terbatas. Lagipula, sebagai regulator tidak baik bekerja terlalu operasional.

Instansi ini sebenarnya sudah cukup kuat dalam mengendalikan biaya logistik. Terutama voyage cost yang memang disubsidi. Namun ada biaya-biaya lain yang tidak disubsidi, yaitu terminal handling charge, biaya tenaga kerja bongkar muat (TKBM), biaya gudang, biaya konsolidasi muatan, biaya pengurusan, dan biaya moda transportasi lain.

Biaya-biaya lain itu tak semuanya dapat dikendalikan secara efektif oleh Kementerian Perhubungan. Kemudian, keterbatasan Kemenhub yang menyolok adalah pada pengendalian harga barang yang ditentukan oleh supply dan demand. Soal harga jual barang, Kemendag, Pemda dan stakeholder lainnya jauh lebih efektif.

Badan Pengelola Tol Laut bisa ditempatkan di bawah Kantor Presiden atau Wakil Presiden. Terserah kesepakatan di antara kedua pemimpin. Lembaga ini harus diisi oleh orang yang memang mumpuni di sektor logistik dan kemaritiman.

Mereka harus diberi mandat penuh oleh Presiden agar efektif. Lembaga inilah yang akan menyelamatkan nasib tol laut, paling tidak, dalam periode kedua ini, sehingga Presiden bisa tegak kepalanya karena janjinya bisa ditunaikan. Entahla. (AK/R1-P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Rana Setiawan

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.