Menggugat Peran Polisi dalam Kerusuhan Delhi

Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA

Sebuah “Pengadilan Rakyat di Delhi Carnage” (People’s Tribunal on Delhi Carnage) yang diadakan pada Senin (16 /3) menyebutkan, polisi bersama dengan perusuh menyerang kaum Muslimin.

Laporan Kantor Berita Dispatch News Desk (DND), berbasis di Pakistan, menngutip siaran pers pengadilan, bahwa lebih dari 30 korban kerusuhan dan beberapa aktivis masyarakat sipil terkemuka memberikan kesaksian di depan juri pengadilan ini.

Juri terdiri dari Hakim AP Shah, Hakim Aftab Alam, Prof. Apoorvanand, Harsh Mander, Pamela Philipose, Dr Syeda Hameed dan Prof. Tanika Sarkar.

Utara-Timur ditemukan serupa dengan kerusuhan anti-Sikh 1984, karena minoritas diserang secara sistematis dengan cara yang terencana seperti di masa lalu dan negara terlibat.

Laporan saksi telah mengemukakan fakta bahwa polisi tidak hanya terlibat dengan massa, tetapi juga polisi sendiri ikut menyerang umat Islam, melemparkan peluru gas air mata pada penduduk yang tidak bersenjata.

Saksi juga menyebutkan, polisi mendorong massa brutal untuk menyerang dengan memberi mereka perlindungan dan menyediakan perlengkapan polisi anti-perusuh.

Seorang warga Timur Laut bersaksi dan berkata, “Kami telah memanggil polisi berkali-kali, tetapi mereka tidak pernah membalas telepon, atau hanya mempermalukan kami di telepon dan mengatakan mereka tidak bisa membantu. Selain itu, sebagian besar mengatakan kepada kami untuk melarikan diri dan bahwa mereka tidak dapat menghubungi kami.”

Hingga saat ini, polisi telah mengkonfirmasi 53 kematian, termasuk seorang polisi dan seorang perwira intelijen, lebih dari 200 orang terluka dan 200 rumah, toko, sekolah, kendaraan dan tempat-tempat keagamaan dibakar.

Pengadilan Rakyat (People’s Tribunal), merupakan bentuk pengadilan yang digelar kelompok-kelompok masyarakat di luar negara dan lembaga formal, menyampaikan pernyataan pers, di antaranya : mengakui adanya serangan represif karena kerusuhan yang direncanakan untuk menyerang penduduk Delhi Timur Laut dan membahayakan nyawa, mata pencaharian dan rumah mereka.

Pengadilan ini terselenggara atas kerja sama Alliance Defending Freedom , Aman Biradari, Amnesty International India dan Forum Wanita Muslim.

Menggugat Polisi

Sebuah laporan oleh Hannah Ellis-Petersen dan Shaikh Azizur Rahman dari Delhi disebutkan dalam media The Guardian, media berbasis di London, edisi Senin (16/3), ketika gerombolan Hindu turun, kios-kios milik Muslim yang menjual suku cadang mobil menjadi puing-puing dan abu. Jaraknya hanya 100 meter jauhnya berdiri dua kantor polisi.

Ketika serangan massa terjadi satu kali, kemudian dua kali dan kemudian ketiga kalinya di lingkungan timur laut Delhi ini, para pemilik kios yang putus asa berulang kali berlari ke kantor polisi Gokalpuri dan Dayalpur dan berteriak minta tolong.

Tetapi setiap kali mereka menemukan gerbang terkunci dari dalam. Selama tiga hari, tidak ada bantuan datang.

“Bagaimana mereka bisa membakar pasar kita dengan cara yang mengerikan, sementara itu sangat dekat dengan dua kantor polisi, dan tidak dapat dihentikan?” kata seorang penjaga toko, kepada The Guardian, yang meminta untuk tetap anonim karena takut akan pembalasan.

“Tetapi jika saya mengajukan keluhan terhadap polisi dan jika mereka tahu identitas saya, saya akan menghadapi masalah yang sangat serius,” lanjutnya.

Sebuah grafiti di dinding di wilayah mayoritas Muslim di timur laut Delhi, pekan ini bertuliskan, “Beban Revolusi. Siapa yang kamu panggil ketika polisi membunuh?”

Sejak kerusuhan meletus di Delhi pada akhir Februari, konflik agama terburuk yang melanda ibukota dalam beberapa dasawarsa, memunculkan pertanyaan tentang peran yang dimainkan oleh polisi Delhi.

Tindakan kekerasan gerombolan Hindu yang dilindungi menyerang kaum Muslimin, mengakibatkan sedikitnya 51 orang meninggal, setidaknya tiga perempat adalah Muslim, dan banyak Muslim lainnya masih hilang.

“Selama kerusuhan baru-baru ini di Delhi, peran polisi sangat tercela,” kata SR Darapuri, pensiunan perwira polisi senior dari Uttar Pradesh.

“Mereka tidak hanya secara terbuka berpihak pada gerombolan Hindu yang menyerang Muslim, tetapi juga menggunakan kekerasan brutal terhadap mereka. Mereka sengaja gagal menanggapi panggilan SOS dari kaum Muslim yang terjebak di banyak daerah yang dilanda kekerasan. Jelas, peran polisi bersifat komunal, tidak etis, dan tidak professional,” ujarnya.

Polisi New Delhi sendiri berada di bawah kendali langsung pemerintah partai Bharatiya Janata Party (BJP) yang berkuasa, khususnya menteri dalam negeri dan presiden partai, Amit Shah.

Amit Shah merupakan salah satu pendukung paling gigih dalam agenda nasionalis Hindu BJP, yang bertujuan untuk menjadikan India sebagai Hindu. Akibatnya, agenda politik pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi, yang secara luas dipandang anti-Muslim, telah menanam kekuatan kuat pada polisi Delhi, yang sudah merupakan kekuatan yang sangat Hindu.

Dalam minggu-minggu setelah kerusuhan, Polisi Delhi tidak menanggapi permintaan komentar. Shah malah mengapresiasi pekerjaan “terpuji” yang dilakukan oleh polisi dan mengatakan bahwa “orang tidak harus mencari agama dalam kerusuhan”.

Polisi sendiri mengklaim mereka melakukan segala daya mereka untuk memulihkan hukum dan ketertiban. Tetapi mereka yang ambil bagian dalam kerusuhan di pihak Hindu menceritakan kisah yang sangat berbeda.

Kerusuhan secara luas diakui disusulut oleh komentar Kapil Mishra, seorang pemimpin BJP, yang pada 23 Februari mengeluarkan ultimatum publik bahwa “jika polisi tidak membersihkan protes di jalan-jalan terhadap undang-undang kewarganegaraan baru yang dianggap anti-Muslim, para pendukungnya akan dipaksa untuk turun ke jalan”.

Panggilan Mishra untuk bertindak terhadap komunitas Muslim, dan mulai memobilisasi pada pagi 24 Februari tanpa rasa takut akan pembalasan oleh polisi.

Sebagian warga juga mangatakan, polisi telah menginstruksikan pemuda Hindu untuk menghancurkan kamera CCTV saat mereka melewati jalan-jalan. Sementara pihak berwenang telah menyangkal bahwa polisi terlibat dalam kekerasan.

Namun ironisnya, ketika kekerasan meningkat di utara-timur Delhi dan ratusan telepon mulai membanjiri saluran bantuan polisi, dalam banyak kasus, tidak ada polisi yang datang. Sementara polisi Delhi telah mengklaim bahwa mereka tidak memiliki tenaga untuk menanggapi skala panggilan. Akun yang diberikan kepada The Guardian menunjukkan banyak yang dibuat oleh umat Islam sengaja diabaikan.

Sementara masjid di Shiv Vihar, utara-timur Delhi, hancue diserang oleh perusuh Hindu pada 25 Februari. Para perusuh datang dengan truk dengan tabung gas yang digunakan sebagai bahan peledak. Para perusuh menyerang empat masjid Shiv Vihar dengan cara yang sama.

Dunia Menyaksikan

Sebagian besar korban kerusuhan saat ini percaya bahwa keterlibatan polisi dalam kekerasan berarti mereka tidak akan pernah menerima keadilan.

Mehmood Pracha, seorang pengacara yang memberikan bantuan hukum gratis kepada para korban kerusuhan, menuduh bahwa polisi sekarang berusaha mencegah gerombolan massa yang melakukan kekerasan dibawa ke pengadilan.

“Polisi menggunakan taktik penekan dan berusaha memastikan tidak ada keluhan yang diajukan terhadap para perusuh,” kata Pracha.

“Kami telah menerima ratusan pengaduan dari orang-orang Muslim bahwa polisi mengancam orang, termasuk wanita dan anak-anak, bahwa jika mereka mengajukan pengaduan, mereka akan terlibat dalam kasus-kasus palsu,” lanjutnya.

Seorang pensiunan polisi Muslim mengatakan, tidak ada petugas yang menanggapi lusinan telepon ketika rumahnya dijarah dalam kerusuhan.

Mahmood Khan (66), yang bekerja sebagai polisi Delhi seumur hidupnya, rumahnya digerebek tiga kali oleh gerombolan Hindu. Dia mengatakan, tidak ada polisi yang menanggapi panggilannya, suratnya kepada perwira senior tidak dijawab dan polisi awalnya menolak untuk membiarkan dia mengajukan laporan tentang kerusakan.

“Mungkin mereka akan berpura-pura mencari pelakunya tetapi pada akhirnya mereka akan dilindungi,” kata Khan. “Kami adalah Muslim. Tidak ada keadilan bagi kita.”

Kaum , walau kalian dizalimi perusuh Hindu dan didukung polisi, kaum Muslimin dan pembela hak asasi manusia akan bersama kalian. Kezaliman tidak boleh dibiarkan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Aksi demo kini justru muncul di mana-mana, termasuk dari tokoh Hindu di Pakistan dan negeri-negeri lainnya. Kaum Muslimin lebih-lebih, di Bangladesh, Turki, Malaysia, hingga Indonesia. Pastinya 200 juta Muslim India lainnya tidak akan diam, atau diam-diam tapi mereka bergerak.

Polisi, pihak keamanan, pejabat negara, perusuh, siapapun yang berusaha menzalimi sesama warga lainnya, baik di India atau di manapun, berarti mereka sedang menggali kubur kenistaan dan kehancuran bagi diri mereka sediri. Dunia akan menyaksikan itu ! (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)