Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَـٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّـٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآٮِٕڪُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٲسِعٌ عَلِيمٌ۬
Artinya, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur [24] ayat 32).
Baca Juga: Muslimat Pilar Perubahan Sosial di Era Kini
Sedemikian tidak disukainya titel “bujang” di dalam Islam, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para pemimpin, masyarakat dan para orang tua untuk menikahkan orang-orang yang belum memiliki pasangan hidup. Orang yang sendirian maksudnya orang yang belum menikah, bukan orang belum memiliki pacar, karena Islam tidak mengenal status pacaran dan justeru berpacaran adalah status yang sangat dilarang dalam Islam.
Tafsir Jalalayn menjelaskan bahwa yang dimaksud “orang-orang yang sendirian” adalah wanita yang belum mempunyai suami baik perawan atau janda dan lelaki yang tidak mempunyai isteri.
Betapa banyak para remaja dan pemuda yang sudah ingin merasakan rasa memiliki pasangan, tetapi mereka sendiri merasa belum bisa untuk menikah. Untuk mewujudkan bisa memiliki pasangan tapi tanpa perlu menikah, mereka akhirnya mengikuti budaya orang-orang kafir dengan menjalin hubungan tanpa ikatan atau berpacaran dengan lawan jenisnya.
Ada beberapa alasan dari seorang remaja atau pemuda tidak mau menikah. Demikian pula orang tua tidak mau menikahkan anaknya. Di antara alasan itu, yaitu: anak masih sekolah, usia anak masih terlalu muda, belum ada biaya, masih ingin berkarir, atau memang karena belum mendapatkan jodoh.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Alasan yang akan dibahas kali ini adalah karena belum ada biaya atau miskin.
Berhak mendapat pertolongan Allah
Amat berbahaya membiarkan terlalu lama seorang laki-laki muda tak beristeri, terlalu lama seorang gadis tak bersuami. Sebab, hasil penelitian-penelitian ilmu jiwa di zaman modern ini menunjukkan bahwa banyak penyakit jiwa tersebabkan karena tidak tersalurnya nafsu birahi.
Bertambah moderennya pergaulan hidup membuat bertambah banyaknya hal-hal yang akan merangsang nafsu syahwat. Bacaan-bacaan cabul, film-film yang mempesona dan menggerakkan syahwat, semuanya berakibat kepada sikap hidup.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Sangat banyak para pemuda yang sudah masuk usia 20-an tapi masih belum menikah, padahal secara psikologis, fisik, dan nafsu seksual, mereka sudah memenuhi syarat untuk membangun sebuah bahtera rumah tangga. Namun, hanya karena memandang biaya pernikahan itu tinggi secara keseluruhan, seiring mereka belum memiliki biaya, akhirnya mereka tidak jua menikah. Justeru mereka terperangkap dalam keterbuaian keindahan yang diberikan setan dalam jalinan asmara berpacaran.
Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka akan tercipta penyakit sosial yang akan merusak kehormatan masyarakat. Sebab, nantinya akan muncul kasus-kasus hamil sebelum menikah, pemerkosaan, pelecehan seksual, aborsi, bayi dibuang, bahkan hingga kasus bunuh diri.
Demikian pentingnya mengeluarkan pemuda dari status lajang kepada status menikah, Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan ketidakmampuan para pemuda membiayai dirinya untuk menikah, menjadi tanggung jawab para pemimpin atau masyarakat secara kolektif. Dengan kata lain, para pemuda yang miskin memiliki hak untuk dibantu biaya nikahnya, karena memang Muslimin itu adalah wujud masyarakat kesatuan yang saling membantu dan melengkapi kekurangan.
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan kepada orang-orang yang tidak mampu bahwa Dia akan memampukan orang-orang yang menikah dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas pemberian-Nya.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Namun, akan ada dua golongan pemuda yang ingin menikah jika ditinjau dari segi niat. Pertama, para pemuda yang ingin menikah hanya karena ingin menyalurkan hasrat seksualnya. Kedua, para pemuda yang ingin menikah karena Allah dan khawatir mendekati maksiat atau terjerumus ke dalam dosa.
Karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan lebih rinci melalui lisan nabi-Nya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
” ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمْ: المُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ العَفَافَ ” [سنن الترمذي: حسنه الألباني
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Artinya, “Ada tiga golongan yang berhak mendapat pertolongan dari Allah, (yaitu) mujahid di jalan Allah, mukaatib yang ingin melunasi utangnya, dan orang yang menikah supaya terjaga dari maksiat.” (Sunan Tirmidzi: Hasan).
“Mukaatib” adalah budak yang membeli dirinya dari tuannya dengan berutang.
Jadi jelas, pemuda yang menikah dan akan mendapat bantuan dari Allah adalah pemuda yang menikah dengan tujuan agar tidak memaksiati Allah.
Dari hadis ini pun dapat disimpulkan, jika ada seorang pemuda yang ingin menikah karena takut bermaksiat, tetapi belum ada jodohnya, maka kewajiban pula bagi para pemimpin umat dan Muslimin lainnya untuk membantunya memberikan jodoh.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Maka, kita sering mendengar ada pernikahan massal, para pemuda Muslim dengan pemudi Muslimah, yang secara ekonomi belum mapan, lalu dinikahkan oleh suatu jama’ah, dibiayai dan diberikan modal usaha. Hingga merekapun terhindar dari perbuatan maksiat.
Menikah sunnah para Rasul
Jangan sampai hanya karena alasan belum memiliki dana untuk menikah, lalu maraklah seorang Muslim meninggal dalam status masih membujang. Sebab, jika mati dalam keadaan belum menikah, maka orang tersebut akan melewatkan salah satu sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
أَرْبَعٌ مِنْ سُـنَنِ الْمُرْسَلِيْنَ: اَلْحَيَـاءُ، وَالتَّعَطُّرُ، وَالسِّوَاكُ، وَالنِّكَاحُ.
Artinya, “Ada empat perkara yang termasuk sunnah para Rasul: rasa malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah.” (Hadis hasan sahih).
Jangankan hanya karena alasan tidak memiliki biaya, bahkan membujang dengan alasan hanya untuk beribadah kepada Allah, dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu pernah berkata,
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk tabattul (hidup membujang), kalau seandainya beliau mengizinkan tentu kami (akan ber-tabattul) meskipun (untuk mencapainya kami harus) melakukan pengebirian.” (HR. Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 1402).
Dalam kitab Subulus Salam (juz 6, halaman 10) karya Ash Shan’ani, disebutkan bahwa tabattul adalah enggan menikah karena memutuskan untuk sibuk beribadah kepada Allah.
Jika seorang Muslim mati dalam keadaan membujang, itu menunjukkan orang tersebut belum melaksanakan separuh dari agama. Sebab menikah adalah setengah dari agama.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ.
Artinya, “Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya, oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.” (Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah no. 625).
Tabi’in asal Yaman, Thawus bin Kaisan berkata, “Engkau benar-benar menikah atau aku mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan Umar kepada Abu Zawa-id, ‘Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau banyak dosa’.”
Baca Juga: Tujuh Peran Muslimah dalam Membela Palestina
Maksud dari perkataan Thawus adalah ketika Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata yang bermaksud untuk membangkitkan semangat Abu Zawa-id supaya menikah ketika ia melihat Abu Zawa-id belum menikah, padahal usianya semakin tua.
Seorang pemuka Tabi’in pakar sejarah, Wahb bin Munabbih berkata, “Bujangan itu seperti pohon di tanah gersang yang diombang-ambingkan angin, demikian dan demikian.”
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
(P001/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)