Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menjadi Kekasih Allah Melalui Aktifitas Makan

Widi Kusnadi - Ahad, 9 April 2023 - 01:40 WIB

Ahad, 9 April 2023 - 01:40 WIB

28 Views

Di bulan Ramadhan ini, semoga iman dan takwa kita semakin meningkat. Semangat ibadah dan amal shaleh kita hendaknya terus naik, seiring dengan ibadah puasa Ramadhan yang kita tunaikan.

Namun, yang perlu diingat, puasanya sesuai dengan aturannya yakni proporsional dan terukur, sebagaimana dicontohkan Rasulullah Shallallahu alahi Wasalam.

Waktunya sahur, mari mari kita tunaikan dengan khusyuk dan penuh syukur.  Waktu berbuka, jangan berlebihan dan balas dendam dengan makanan. Jangan sampai waktu sahur, keblabasan tidur. Giliran berbuka, nanti nanti aja, karena masih kuat menahan dahaga.

Kalau seperti itu yang kita lakukan, maka yang naik bukan iman dan takwa, melainkan asam lambungnya.

Baca Juga: Pilkada 2024 Ajang Merajut Persaudaraan

Saat berbuka, di hadapan kita terhidang banyak makanan, maka jangan terlalu banyak mengonsumsinya. Jangan semua dihabiskan seketika. Nanti bukan bukan ketakwaannya yang naik, tapi asam uratnya yang justru naik.

Sebaliknya, jika waktu berbuka, di rumah tidak ada buah-buahan, tidak ada kolak atau makanan ringan, atau istri belum masak dan mempersiapkan hidangan, tidak usah marah dan emosi, nanti bukan keimanan yang naik, melainkan tekanan darahnya yang tinggi.

Salah satu tujuan puasa sebagaimana dalam rangkaian ayat tentang puasa adalah menjadi hamba yang bersyukur. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’am surah Al-Baqarah 185:

 وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Baca Juga: Amalan-Amalan di Bulan Rabiul Awal

“dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Syukur itu hanya bisa dilakukan kalau orang itu bahagia. Rasanya tidak mungkin seseorang bisa beryukur kalau dirinya dilanda gelisah, resah, gundah gulana, dan risau yang menggelora.

Jika pada mukadimah di atas, penulis menyinggung tentang makan, maka topik kali ini adalah, menjadi kekasih Allah melalui makan.

Jika untuk menjadi kekasih (wali) Allah melalui jihad, shalat, sedekah, infak, dan lainnya, maka kali ini, penulis ingin menyampaikan bahwa salah satu jalan menjadi kekasih Allah adalah bisa melalui makan.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Tapi jangan disalahfahami, kalau dengan makan bisa menjadi kekasih Allah, maka tidak usah lagi jihad, tidak perlu sedekah, cukup makan aja. Tidak begitu pemahamannya. Tetapi, shalat, sedekah, jihad, dan ibadah lain tetap diamalkan sesuai kemampuan. Walaupun ada jalan yang lebih gampang, yakni lewat makan.

Memberi berbuka kepada orang yang berpuasa, maka ia akan mendapat pahala sebagaimana orang yang ia beri buka, bukan berarti tidak perlu puasa, cukup kasih buka saja. Bukan begitu pemahamannya.

Keistimewaan Makan

  1. Diperintahkan dalam Al-Qur’an

Salah satu hal yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala adalah dengan menyadari bahwa nikmat Allah begitu besar kita terima. Sesuatu yang dianggap biasa, tetapi sebenarnya itu nikmat yang sungguh luar biasa dari Allah.

Baca Juga: Doa Hari Jumat yang Diamalkan Rasulullah

Makan oleh sebagian orang dianggap sesuatu yang biasa. Tiap hari makan, semua orang makan. Makan itu aktifitas harian. Jadi kebiasaan. Tiap kali ada acara, ada makan-makan. Maka, karena sudah jadi kebiasaan, maka hal itu dianggap biasa.

Perlu diketahui bahwa, makan itu diperintahkan dalam Al-Qur’an, dalam surah Al-A’raf ayat 31:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Baca Juga: Kepemimpinan Umat Islam dan Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia

Juga dalam ayat lainnya, dalam surah Al-Maidah ayat 88  “makanlah dari apa-apa yang Allah rizkikan kepadamu yang halal lagi thayib,..”.

Al-Qur’an pasti memberitakan dan memerintahkan sesuatu yang besar, penting, urgen, primer, dan memberi manfaat yang besar, dunia dan akhirat. Makan itu bagi makhluk merupakan sesuatu yang urgen, kebutuhan primer. Kalau tidak makan, makan akan lapar. Kalau beberapa hari tidak makan, ia akan sakit. Jika terus menerus tidak makan akan menderita busung lapar, dan akhirnya bisa mati.

Ada orang yang membeli obat seharga jutaan rupiah. Membelinya dengan memesan dari luar negeri, Kalau sudah dapat obatnya, ia mengatakan, ini obat mujarab, bisa menyembuhkan penyakit ini dan itu. Kalau nggak minum obat ini maka akibatnya akan begini dan begitu.

Dia lupa, bahwa yang paling penting itu makan. Minum obat kalau tidak makan, maka tidak ada pengaruhnya. Obat tidak akan berfungsi optimal kalau tidak disertai makan. Dan seseorang bisa sehat, kuat, mampu bekerja, sekolah, dan beraktifitas lainnya, itu karena dia makan tiap hari, dari rizki Allah Ta’ala.

Baca Juga: Turkiye dari Eropanisasi, Stres, Hingga Reislamisasi

Jadi, makan itu luar biasa. Bahasa anak mudanya” sesuatu banget”. Maka harus disyukuri dengan syukur yang benar, dipahami hakikatnya supaya lebih mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

2. Sebagai tanda seorang makhluk

Makan itu menunjukkan bahwa kita ini makhluk, bukan Tuhan. Makhluk butuh makan, kalau Allah tidak butuh makan. Kalau ada yang mengaku tuhan atau dianggap sebagai tuhan, tetapi masih perlu makan, ya namanya bukan tuhan.

Firaun mengaku tuhan, padahal ia masih perlu makan, ya batal ketuhanannya.  Yesus dituhankan oleh pengikutnya, tapi dia butuh makan, ya tidak sah ketuhanannya. Kan jadi lucu, tuhan butuh makan. tuhan merasa lapar, lemas karena tidak makan. Bagaimana ia bisa mengatur alam semesta, kalau ia sendiri lemas dan perlu makan.

Baca Juga: Demo Warga Israel atas Netanyahu yang Makin Meluas

Nabi Isa Alaihi salam, sampai dikultuskan oleh sebagian pengikutnya karena jarang terlihat makan. Beliau juga tidak menikah, tidak punya anak, sehingga dianggap memiliki sifat-sifat tuhan dan akhirnya dijadikan tuhan.

Nabi Muhammad Shallallahu alahi Wasalam ingin menghilangkan potensi pengkultusan itu dengan menunjukkan kalau beliau butuh makan. Rasulullah Shallallahu alahi Wasalam makan bersama para sahabatnya. Bahkan tidak pernah Rasulullah makan sendiri, di kamar, disembunyikan makanannya, tidak pernah.

Nabi Muhammad Shallallahu alahi Wasalam juga punya istri, istrinya lebih dari satu. Beliau punya anak, jumlahnya tujuh. Beliau juga tidur, menikah, dan melakukan aktifitas sebagaimana layaknya manusia biasa.

Maka, Rasulullah Shallallahu alahi Wasalam sejak beliau diutus, sampai saat ini, dan hingga akhir dunia nanti tidak akan dianggap sebagai tuhan, karena beliau menunjukkan sifat-sifat basyariah, sebagai manusia biasa, seperti manusia pada umumnya.

Baca Juga: Damai di Palestina, Damai di Dunia

Nah, dengan makan, kita niatkan, hal itu menunjukkan kepada manusia lainnya bahwa saya ini adalah makhluk, yang butuh makan, butuh tidur, dan lain-lain sebagaimana sifat-sifatnya makhluk pada umumnya. Jadi tuhan berbeda sifatnya dengan makhluk. Dan Allah memiliki sifat Mukhalafatul lil hawaditsi (berbeda dengan makhluk).

3. Menunjukkan bahwa manusia lemah

Makan juga menunjukkan bahwa kita makhluk yang lemah, butuh benda yang tidak berakal, berupa nasi, lauk pauk dan lainnya. Sekuat apapun orang, dia butuh makan, presiden butuh makan, panglima perang yang hebat butuh makan, direktur butuh makan, komisaris, semua butuh makan.

Maka dengan makan, kita menyadari, Ya Allah, saya ini makhluk lemah, perlu benda lain untuk mempertahankan eksistensi. Dan semua itu, Engkau sediakan untuk kita, tersedia di depan kita, tanpa perlu usaha yang keras untuk bisa sampai di piring kita.

Baca Juga: Mencegah Degradasi Moral Remaja Akibat Media Sosial

Nasi yang kita makan, bisa jadi berasnya diimpor dari Vietnam. Kita makan tempe, kedelainya bisa jadi diimpor dari Amerika. Kita makan smbel, bisa jadi terasinya didatangkan dari Cina, dan seterusnya. Bahan-bahan dari berbagai negara itu terkumpul jadi satu di atas piring makan kita.

Coba bayangkan kalau kita makan harus menanam padi sendiri, harus menunggu berapa bulan baru bisa makan. Makan ikan harus menangkap dulu di laut, jadi repot. Allah Ta’ala menyediakan itu semua, mudah untuk sampai di hadapan kita. Cukup bayar ke warung atau restoran beberapa puluh ribu, sudah kenyang perut kita.

Jadi, kita makan itu menunjukkan betapa lemahnya manusia, tidak cukup punya daya dan kekuatan untuk mempersiapkan semuanya. Tetapi Allah gerakkan makhluk-makhluk-Nya untuk membantu kita hingga bisa menikmati makanan di hadapan kita.

Kalau kita sedang makan, sadarilah itu semua. Maka kita akan semakin dekat dengan Allah, merasa perlu Allah, bergantung hanya kepada Allah  Ta’ala saja.

Baca Juga: Memperkukuh Persahabatan dan Kerja Sama antara Indonesia dengan Negara-Negara Afrika

4. Rezki manusia seimbang dan sebanding

Dengan makan, kita juga hendaknya menyadari bahwa rizki yang diberikan Allah Ta’ala kepada semua manusia itu sebenarnya seimbang, tidak beda jauh, dan sebanding. Kok bisa?

Coba lihat, orang kaya makannya satu piring, orang miskin makan juga satu piring. Sama-sama sepiring. Tidak mungkin mentang-mentang kaya, lalu sekali makan lima piring. Tidak mungkin.

Orang yang punya tabungan ratusan miliar, makan sepering, orang yang tidak punya tabungan, juga sama sepiring. Presiden makan sepiring, pengamen juga makan sepiring. Menteri makannya sama banyaknya dengan penjual ikan teri. Gubernur jumlah makannya sama dengan tukang sayur. Bupati sebanding banyaknya dengan tukan patri. Camat seimbang makannya dengan penjual tomat, dan seterusnya. Makan sama-sama sepiring, sama-sama memakai sendok, bukan memakai sekop.

Tapi orang kaya makan dengan sate, orang miskin pakai kangkung. Itu sebenarnya enaknya cuma lima senti meter saja, yakni sepanjang lidahnya. Lepas dari lidah, masuk kerongkongan, sate dan kangkung rasanya sama.

Tapi orang kaya makannya di restoran, orang miskin di warung kaki lima, ditambah kasbon alias ngutang dulu. Perlu disadari, makanan enak bisa dibeli, tapi enaknya makan, Allah Ta’ala yang bagi.

Ada orang yang makan di pemantang sawah, hanya dengan lauk sambel sama srondeng (makanan ampas parutan kelapa yang sudah diperas), minumnya air teh sepet, tanpa gula. Tapi kalau sudah enak makan, tetap saja lahap, karena istrinya tercinta yang membawakan dan menyuapi makan.

Jadi yang penting bukan makanan enak, tapi selera, enaknya makan itu yang penting, dan itu anugerah dari Allah Ta’ala.  Makanan enak, kalau sakit gigi, jadi tidak bisa makan.  Sate kambing lezat, kalau orang menderita kolestrol, tidak berani makan. Daging rendang yang empuk, kalau orang terkena asam urat tinggi, ia tidak berani menyentuhnya.

Jadi rezeki manusia itu kalau ditimbang sebenernya sama, sebanding dan seimbang. Maka, yang miskin jangan iri sama yang kaya. Jangan disangka kalau kaya, bisa makan enak terus, belum tentu, Kalau uangnya banyak, makannya pasti sate terus, tidak juga.

Maka dengan makan itu, kita menyadari bahwa Allah telah memberi anugerah yang sangat besar. Melalui aktifitas makan itu, kita akan menjadi dekat dangan Allah, karena menyadari hakikat makan.

Pastikan memulai makan dengan membaca basmallah. Setelah makan, kita berdoa sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu alahi Wasalam:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ

 “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku.” (HR. Abu Daud)

Barang siapa yang makan, kemudian setelah selasai membaca doa di atas, maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Wallahu a’alam bishawab. (A/P2/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom
Tausiyah
Tausiyah
MINA Millenia
MINA Sport
MINA Health
Asia
Indonesia