Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menjadi Orang Kaya Sejati

Widi Kusnadi - Selasa, 5 Juni 2018 - 09:36 WIB

Selasa, 5 Juni 2018 - 09:36 WIB

18 Views

oleh; Widi Kusnadi, Wartawan MINA

Menjadi orang kaya, hal itulah yang pasti diidam-idamkan oleh hampir semua orang, tidak terkecuali umat Islam. Dengan kekayaan, tentu seseorang bisa melakukan banyak hal; mulai dari memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, hingga berjuang dan berdakwah untuk agama yang pastinya memerlukan itu semua.

Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam (SAW) dan para sahabatnya merupakan suri tauladan yang paripurna dalam mewujudkan itu semua. Mereka merupakan generasi yang dibangkitkan untuk menjadi model terbaik dalam mewujudkan kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat masyarakat yang madani, termasuk dalam memperoleh harta dan menjadi kaya yang sejati.

Rasulullah SAW sendiri dan banyak sahabat beliau yang dikenal sebagai orang kaya lagi dermawan. Kekayaannya menjadi manfaat bagi orang banyak.  Jasa-jasanya menjadi sarana bagi mereka sehingga bisa mengenal dan mengamalkan syariat. Bahkan berkat jasa mereka, dakwah Islam hingga ke berbagai penjuru dunia.  Hari ini, kita  masih dapat merasakan jasa-jasa mereka dengan menjadi seorang Muslim dan mempelajari kisah-kisah suka duka yang mereka alami.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Lantas, bagaimana kita dapat menjadi orang kaya seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya?

Sebagian dari kita medefinisikan kekayaan adalah harta berupa uang yang banyak, rumah yang megah, mobil yang mewah, tanah dan propertinya di mana-mana, emas, berlian, dan tabungan di bank yang melimpah dan barang lainnya yang berupa materi. Hal itu tidaklah salah, namun kita sering lupa bahwa ada kekayaan yang tidak kalah berharga nilainya dari barang-barang (materi) di atas. Kekayaan apa itu?

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, mari kita fahami dulu hal berikut ini.

Secara umum, manusia itu terdiri atas dua bagian, yaitu jasmani dan rohani. Kebutuhan manusia juga meliputi dua hal itu (fisik dan jiwa). Nah, semua manusia harus memenuhi dua hal itu. Jika seseorang hanya terpenuhi kebutuhan fisiknya saja, dan mengabaikan kebutuhan jiwanya, maka ia akan tetap merasa kurang dan susah meski harta dan kekayaannya berlimpah. Maka tidak jarang kita lihat, seorang pejabat atau orang yang sudah kaya (materi) tetapi ia masih melakukan korupsi, menipu, merampas hak orang lain dan sederet kejahatan dan kemaksiatan lainnya.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Menurut pakar Supra Rasional, Bapak Raden Ridwan Hasan Saputra, ada dua tabungan yang harus dimikili manusia. Pertama tabungan fisik berupa materi. Kedua tabungan jiwa berupa amal ibadah, amal shaleh, amal kebajikan, baik pengabdian dan ibadah yang berhubungan langsung dengan Tuhan (Allah) maupun amalah yang berhubungan dengan sesama manusia dan makhluk di bumi. Dalam bahasa Islamnya hablun minallah dan hablun minannas.

Jika tabungan fisik mungkin hanya bisa dimiliki oleh orang yang dianugerahi rizki dan kesempatan luas, maka yang kedua (tabungan jiwa) bisa diperoleh oleh siapa saja sepanjang ia mau melakukan syarat dan rukunnya. Tabungan jiwa itulah yang bernilai mulia di sisi Allah Subhanahu wa taala (SWT) dan bisa juga tabungan jiwa itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik kita melalui doa-doa yang panjatkan dan dikabulkan Allah SWT.

Seseorang yang memiliki tabungan jiwa yang banyak, maka hidupnya tidak akan kekurangan. Meskipun dalam pandangan manusia hidupnya sederhana. Ia akan mendapatkan rizki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Begitulah Rasul SAW dan para sahabatnya. Meski gaya hidupnya sederhana, tapi doa-doa mereka diijabah Allah, kebutuhan hidupnya dipenuhi Allah dan umur mereka dipanjangkan Allah dengan cara jasa-jasa dan pengorbanannya yang tetap dikenang oleh generasi sesudahnya hingga saat ini dan masa yang akan datang.

Jadi, yang bisa dilakukan oleh semua orang adalah memperbanyak tabungan jiwa berupa ibadah dan amal shaleh. Itulah tabungan dan kekayaan sesungguhnya yang bisa dinikmati hingga akhirat nanti, bahkan, keluarga, anak cucu dan masyarakat sekitar bisa mendapatkan manfaat dari keshalehannya dalam kehidupan dunia.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Contoh nyata yang ada di tengah-tengah kita adalah para Wali Songo. Dengan keshalehannya, hingga hari ini, anak cucunya dihormati dan dimuliakan masyarakat, makamnya dikunjungi jutaan orang hingga hari ini sehingga tetangga sekitar mendapat berkah dan manfaat dengan membuka warung makan, tempat parkir, jasa travel dan lainnya.

Setelah menghayati tentang tabungan jiwa ini,  penulis merasakan bahwa anugerah kemudahan dalam hal pendidikan yang diperoleh oleh adik-adik kami kemungkinan adalah karena kami dahulu ketika masih sekolah mengabdi sebagai marbot di sebuah masjid di Semarang selama beberapa tahun dan kami gemar memberi les privat kepada anak-anak tetangga sekitar masjid. Ternyata setelah kami merenung, saat ini Allah membayar hal itu dengan memberi kemudahan memperoleh ilmu kepada kami pribadi, kepada anak-anak kami yang mendapat juara baca tulis Al-Quran se-Kabupaten Bogor serta memudahkan adik-adik kami dalam sekolah dan kuliah. Semoga anugerah ini tidak membuat penulis menjadi sombong dan berbangga diri dan kami terus bersemangat untuk terus menambah tabungan jiwa.

Tabungan Bisa Bertambah dan Berkurang

Seperti halnya tabungan fisik, tabungan jiwa (pahala)  juga bisa bertambah dan berkurang. Tabungan jiwa akan bertambah jika kita melakukan amal ibadah dengan ikhlas karena Allah SWT semata. Sesungguhnya Allah hanya menerima amal ibadah yang ikhlas, semata-mata mengharap ridha, ampunan dan balasan dari-Nya, bukan berharap gaji dari majikan, belas kasihan dari atasan, apalagi pujian dari calon mertua.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Ciri ikhlas selanjutnya adalah dia tidak berkurang berpaling, dan mundur dengan cacian, hinaan dan hasutan dari orang lain. Walaupun di mata manusia hal itu tidak disuka, tidak berharga, bahkan dipandang tercela, namun jika perbuatan itu sesuai dengan syariat dan contoh Nabi Muhammad, maka harus istiqomah dan terus lanjutkan saja perbuatan itu.

Contohnya adalah ketika kita menggalang dana membantu rakyat Palestina. Tidak sedikit dari kanan-kiri kita yang berkata; “Buat apa membantu orang yang jauh di sana, lha wong rakyat Indonesia saja juga masih banyak permasalahan yang harus diselsesaikan, masih banyak kemiskinan, pengangguran, dan sederet persoalan lainnya,”. Bahkan ada juga media-media yang mencibir, menyebar fitnah bahwa hal itu untuk kepentingan politik, bahkan berusaha menghalangi agar sumbangan kita tidak sampai kepada rakyat Palestina.

Profesional

Amal ibadah juga harus dilakukan dengan profesional, maksimal dan perencanaan yang tepat dan matang. Sebuah program jika tidak direncanakan dengan matang, maka hasilnya pasti kurang maksimal. Niat kebaikan jika hanya dilakukan dengan apa adanya, tentu nilainya jadi berkurang. Selebihnya, jika suatu amal tidak dilakukan evaluasi maka kekurangan dan kesalahan yang sama akan terus terulang.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Jika amal ibadah itu menyangkut hubungan dengan manusia dan alam sekitar, hendaknya tepat sasaran. Ini menyangkut kemanfaatan yang akan dirasakan oleh amal yang kita lakukan. Contoh ringannya jika kita ingin membagikan daging qorban, tentu kita tujukan kepada masyarakat yang memang memerlukan. Membagikan daging qurban kepada warga di kompleks perumahan elit tentu kemanfaatannya kurang maksimal karena memang mereka sudah sering makan daging kambing atau sapi.

Tabungan jiwa juga berkurang jika kita melakukan kemaksiatan, perbuatan dosa dan perbuatan yang merugikan orang lain. Rasulullah mengumpamakan kemaksiatan yang dilakukan seseorang, ia akan menghilangkan pahala seperti api yang membakar kayu yang kering. Pahala juga bisa terhapus dan tidak berbekas jika kita mengungkit-ungkit dan menceritakan amal ibadah dan sedekan kita dengan maksud pamer, riya dan sombong.  Bahkan pahala yang kita kumpulkan akan sirna tidak bersisa jika kita berbuat syirik dan meninggalkan shalat wajib.

Sungguh rugi seseorang yang ia telah berbuat kebajikan, namun hal itu sia-sia tidak ada nilainya di sisi Allah SWT.

Ramadhan Bulan Amal

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Berjumpa dengan bulan Ramadhan ini merupakan karunia dan anugerah Allah yang tiada ternilai jika dihitung dengan materi. Kesempatan untuk dapat berpuasa, berzakat, beramal shaleh dan segenap amalan lain yang pahalanya akan dilipatgandakan hingga tak terhingga di sisi Allah tidak boleh kita lewatkan begitu saja. Sungguh beruntung seseorang yang diberikan kesempatan berjumpa dengan Ramadhan dan ia isi dengan amal ibadah yang diterima Allah SWT sehingga ia mendapat rahmat dan ampunannya.

Sebaliknya, celakalah seseorang yang ketika ia berjumpa dengan Ramadhan hingga bulan itu berlalu, namun ia tidak mendapat rahmat dan ampunan Allah. Nauzubillah min zalika.

Semoga Allah menerima amal ibadah kita, memberi taufik, rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua dan amal ibadah di bulan Ramadhan ini menjadi tabungan jiwa kita sehingga kita menjadi orang-orang kaya sejati. Aamiin ya Rabbal Alamin. (A/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

 

 

 

 

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Rekomendasi untuk Anda

Breaking News
Ekonomi
Kolom
test