Oleh : Indrawati Zuhara, S.Pd, M.Si
Dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “orangtua-wow-untuk-kids-zaman-now-bag-1/">Menjadi Orangtua Wow Untuk Kids Zaman Now (Bag. 1)”, disebutkan ada lima unsur dasar dalam proses pengasuhan anak, yaitu responding (respon yang tepat), preventing (pencegahan), monitoring (pengawasan), mentoring (membantu), dan modelling (contoh).
Untuk mendukung kelima unsur dasar pengasuhan diatas, para orangtua dapat mengupayakan hal-hal sebagai berikut:
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
- Komunikasi efektif
Komunikasi yang terjalin antara anak dan orang tua adalah komunikasi dua arah, yang tujuan utamanya adalah saling mengerti apa yang ingin disampaikan. Menurut Rae Sedwig (1985), komunikasi keluarga adalah suatu pengorganisasian yang menggunakan kata-kata untuk bisa saling memahami diperlukan kemampuan untuk mendengarkan.
Berbagai masalah timbul ketika salah satu pihak hanya bisa berbicara tetapi tidak mampu mendengarkan. Orangtua yang hanya bisa memberi intruksi, menuntut, dan meminta anak untuk melakukan apa yang dinginkannya tanpa mau mendengarkan feed back dari anak biasanya akan menemukan masalah di kemudian hari, ketika anak mulai bosan diperintah dan merasa tidak pernah didengarkan, menyebabkan rasa jenuh dalam diri anak yang membuatnya berani membangkang sebagai puncak dari rasa frustasi merasa tidak pernah diakui perasaannya.
Berkomunikasi pada dasarnya adalah mengajari anak untuk mengenali dan merespon lingkungan sekitar. Komunikasi juga dapat berfungsi untuk mengajari anak mengenali kondisi dirinya sendiri untuk kemudian diungkapkan kepada orang lain mengenai apa yang ia rasakan dan ia harapkan. Baik buruknya komunikasi orangtua kepada anaknya akan menentukan baik buruknya komunikasi anak terhadap lingkungan di kemudian hari, karena pola komunikasi orangtua kepada anak akan menjadi dasar pengalaman yang diserap anak untuk dapat berkomunikasi dengan lingkungannya. Oleh karena itu, proses komunikasi yang dilakukan orang tua terhadap anak haruslah dilakukan sebaik mungkin. Ada empat cara berkomunikasi dalam Al-Quran, yaitu:
- Qoulan Sadiida: perkataan yang benar.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawati terhadap kesejahteraan mereka. Oleh karena itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan qoulan sadiida.” (QS. An-Nisaa [4] ayat 9)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Dalam tafsir Al Qurtubi dijelaskan bahwa makna as-sadiid adalah perkataan yang bijaksana dan benar.
Menghindari kalimat-kalimat kebohongan meski itu hanya bercanda adalah sebuah langkah yang harus menjadi perhatian bagi orang tua. hal ini termasuk tidak menjanjikan sesuatu yang tidak akan serius untuk ditepati. ada orang tua yang mudah sekali mengiyakan permintaan anak atau menjanjikan sesuatu namun niatnya hanya agar anak diam dan tidak lagi terus-terusan meminta. Ketika suatu saat anak menagih janji tersebut, orang tua mengabaikan atau menghindar. Sikap sperti ini mengari anak untuk bicara tidak benar dan tidak menepati janji. Di kemudian hari anak akan merasa bahwa berbohong dan tidak menepati janji adalah satu tindakan yang biasa saja untuk dilakukan, bukan perilaku tercela.
- Qoulan Baligho: perkataan yang efektif menyampaikan sebuah pesan.
“Mereka adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah mereka qoulan baligha.” (QS. An-Nisaa [4] ayat 63).
Kata baligh dapat diartikan sebagai tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Maka qoulan baligha artinya berbicara dengan menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, dan tidak berbelit-belit. Lebih luas lagi, dalam tafsir Al Maraghi diterangkan bahwa qoulan baligha artinya perkataan yang mampu meninggalkan bekas di dalam jiwa.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Ketika berkomunikasi dengan anak, hendaknya orangtua memilih kalimat yang mudah dimengerti oleh anak. Terutama dalam mengenalkan Allah, para nabi dan kehidupan surga dan neraka yang sifatnya ghaib, orang tua harus memiliki keterampilan mengatur kalimat yang mudah dicerna oleh anak, mengambil perumpamaan-perumpamaan sederhana namun tidak keluar dari makna syariat.
- Qoulan Ma’rufa: perkataan yang baik.
“Qoulan ma’rufa (perkataan yang baik) dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 263).
Dalam tafsir Al Qurtubi, qoula ma’rufa artinya melembutkan kata-kata dan menepati janji. lebih luas qoulan ma’rufa diartikan sebagai perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, tidak kasar, dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Mengandung pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat).
Anak adalah manusia kecil yang diciptakan oleh Allah dengan modal yang sama dengan orang dewasa dalam hal perasaan dan kemampuan berpikir, menghargai perasaannya sama pentingnya dengan menghargai perasaan orang dewasa. Perbedaan antara orang dewasa dan anak terletak pada banyak sedikitnya pengetahuan dan pengalaman hidup. Anak yang baru menjalani hidup beberapa tahun tentu jauh lebih tidak mengetahui apa-apa dibanding orang dewasa, oleh sebab itu kewajiban orang dewasalah untuk mengajarinya berbagai hal.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Anak adalah pembelajar sejati, dia menyerap semua yang dilihat dan didengar dari lingkungan sekitar terutama orang tuanya untuk kemudian menggunakan informasi yang dia terima itu sebagai cara yang dia lakukan untuk bertingkah laku di kehidupan sehari-harinya. Anak yang biasa bersikap kasar baik secara verbal ataupun tingkah laku, bisa dipastikan bahwa dia menerima contoh sikap-sikap demikian dari lingkungan sekitarnya. Ketidaktahuannya mengenai baik buruk dan benar salahnya sebuah tindakan membuat dia tidak bisa menentukan apa yang seharusnya dia lakukan dalam bersosialisasi dengan orang lain. Jika yang dia terima adalah sikap yang menyakitkan dan mengabaikan harga dirinya, maka dia akan menganggap bahwa begitulah cara bertingkah laku. Oleh karena itu, memperlakukan anak dengan cara yang ma’ruf salah satunya melalui komunikasi adalah satu hal yang sangat penting dilakukan oleh orang tua.
- Qoulan Layina: perkataan yang lembut.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan qoulan layina.” (QS. Thaha [20] ayat 44).
Melemahlembutkan kalimat hendaknya menjadi kebiasaan yang dilakukan orangtua ketika berbicara dengan anaknya. Lemah lembut ketika mengajari juga lemah lembut ketika mengingatkan atau melarang. Tidak melalui kalimat-kalimat perintah atau larangan yang cenderung mencaci maki.
Qoulan layina akan menimbulkan efek nyaman bagi anak untuk memberikan umpan balik dari komunikasi yang dilakukan orang tua. Kelembutan kalimat yang disertai kemampuan mendengar yang baik akan membuat anak merasa percaya bahwa orangtuanya adalah pihak yang paling dapat mendengarkan segala keluh kesahnya dan dapat dipercaya untuk memberikan solusi terbaik baik permasalahan yang sedang dihadapinya.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Berlemah lembut tidak berarti lemah dan selalu mengalah pada kemauan anak, tetap diperlukan adanya ketegasan saat menegakkan peraturan yang harus diikuti anak, bahkan hukuman jika diperlukan, tetapi dengan cara yang tidak menyakiti dan merusak harga diri anak.
2. Teladan
Menurut Dr. Abdullah Nasih Ulwan dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Anak dalam Islam”, keteladanan adalah cara yang paling efektif dalam mempersiapkan akhlak anak untuk membentuk mental individu maupun pengalamannya berinteraksi di lingkungan sosial.
Keteladanan adalah faktor penyangga pendidikan dan pengasuhan anak yang paling penting. Perilaku baik yang diperlihatkan orangtua dalam membangun keteladanan akan membimbing anak untuk melihat langsung bagaimana karakter baik itu seharusnya dilakukan, selain itu keteladanan orangtua juga dapat menumbuhkan kepercayaan anak terhadap orangtuanya. Anak akan melihat bahwa orangtua tidak hanya pandai berbicara namun juga berusaha melaksanakan apa yang dikatakannya.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Keteladanan tidak bisa direkayasa, untuk bisa memberi teladan orang tua terlebih dahulu harus mampu membangun konsistensi kebaikan berperilaku dalam dirinya sendiri, semua itu harus diawali melalui pembelajaran sungguh-sungguh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa upaya membangun keteladanan pada hakikatnya adalah proses belajar bersama antara orang tua dan anak untuk membangun atmosfir kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.
Keteladanan meliputi beberapa aspek berikut :
- Keteladanan spiritual
Keteladanan dalam hal ini berkaitan dengan ibadah. Mengajari anak untuk shalat, puasa, membaca alquran harus diawali dengan mengupayakan keshalihan dalam diri orangtua dahulu. Karena seorang ayah tidak bisa mengharapkan anak laki-lakinya untuk bisa sholat tepat waktu di masjid jika dia sendiri tidak disiplin melaksanakannya, dan seorang ibu tidak bisa mengajari anak perempuannya untuk mengenakan jilbab jika ibunya sendiri belum sempurna menutup aurat. Demikian pula orangtua tidak akan bisa mengajari penghayatan tentang kesabaran dan ketawakalan dalam menghadapi ujian hidup kepada anak jika ketika menghadapi masalah masih uring-uringan.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Membangun keteladanan spiritual pada dasarnya tidak hanya memberi contoh kebaikan namun juga menjaga keluarga baik di dunia maupun akhirat kelak, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam QS. At-Tahriim [66] ayat 6. “Hai orang yang beriman, peliharalah (selamatkanlah) dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
Keteladanan spiritual juga bisa disampaikan kepada anak dengan cara menceritakan kisah para nabi dan keluarganya atau orang-orang salih agar terbentuk dalam diri anak potret kesalihan ideal yang bisa ditiru dalam hidupnya.
- Keteladanan emosional
Keteladanan ini berkaitan dengan sifat-sifat alami manusia yang terbungkus dalam rangkaian akhlak. Baik buruknya akhlak seseorang sangat dipengaruhi oleh pola pendidikan dalam keluarganya. Tidak cepat marah, berbicara yang santun, selalu berpikir positif, berprasangka baik terhadap orang lain, dan lain-lain adalah sifat-sifat yang hanya dapat ditanamkan melalui perilaku yang dicontohkan. Untuk bisa melaksanakan keteladanan ini maka orangtua harus terus menerus memperbaiki ahlaknya agar bisa terpancarkan secara spontan di hadapan anak-anak.
- Keteladanan Intelektual
Salah satu tujuan dalam pengasuhan menurut Brooks (2001) ialah memastikan kompetensi intelektual dan sosial anak berkembang dengan baik. Untuk mencapai kompetensi intelektual tersebut maka orang tua harus mampu melakukan stimulasi yang mendorong anak untuk memiliki semangat untuk memperkaya ilmu pengetahuannya.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Ilmu adalah modal bagi seseorang untuk bisa menjelajahi dunia dengan segala perkembangannya. Melalui ilmu juga seseorang dapat meningkatkan keimanan dan melaksanakan ibadah dengan benar sesuai syariat. Begitu pentingnya ilmu sehingga Allah berfirman mengenai keutamaannya dalam Al-Quran.
“Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang berilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58] ayat 11).
Ilmu harus terus mengalir dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak, karena menjadi orangtua adalah proses pembelajaran seumur hidup yang memerlukan pertambahan pengetahuan dan wawasan dari waktu ke waktu. Perkembangan zaman yang dinamis mengharuskan para orangtua melek informasi untuk mengawal perkembangan anaknya dari fase ke fase. Oleh karena itu semangat mempelajari berbagai hal yang menunjang proses pengasuhan sangatlah diperlukan. Belajar tidak dibatasi oleh strata akademis, tidak harus melalui bangku sekolah resmi. Pertambahan pengetahuan dapat diperoleh melalui membaca, mengikuti seminar, atau media-media pembelajaran lain.
Semangat menuntut ilmu ini sepatutnya akan terlihat oleh anak dalam kehidupan sehari-hari, dan menurunkan semangat tersendiri kepada anak untuk juga menjadi pribadi yang haus akan ilmu. Dengan mengenalkan anak kepada ilmu dan mendorongnya untuk mencintai ilmu berarti orang tua telah memulai penyiapan generasi yang baik.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
3. Doa.
Memaksimalkan ikhtiar adalah tugas manusia, namun takkan sempurna tanpa melibatkan kuasa sang Maha Penjaga. Begitu banyak fenomena masalah sosial yang mengancam perkembangan anak-anak kita, namun jangan sampai hal ini menjadikan trauma dan paranoid berlebihan. Ketika anak sudah beranjak besar, kondisi mengharuskan mereka dilepas sendiri untuk menjajaki lingkungannya, sehingga kita tidak akan bisa mengawasinya selama 24 jam, dalam keadaan seperti ini melanjutkan pengawasan dengan menitipkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah jalan terbaik. Sebagaimana titipan doa yang tak kunjung reda keluar dari mulut nabi Ya’kub alaihi salam untuk putra tercintanya Yusuf ‘Alaihisalam. Kesedihan mendalam membuat matanya buta, namun harapan agar Yusuf tetap selamat tak henti dipanjatkan kepada Rabbnya hingga keduanya Allah dipertemukan lagi setelah 15 tahun terpisah. Kepasrahan doa juga dilaungkan oleh ibunda Nabi Musa ‘Alaihisalam saat hatinya tak sanggup menahan cemas melihat bayinya yang baru dilahirkan harus dihanyutkan ke sungai. Ketakutan memuncak ketika keranda bayi Musa memasuki istana Firaun. Namun, Allah yang Maha Pengasih mengembalikan bayi musa kepada ibunya untuk disusui.
Begitu sempurnanya penjagaan Allah terhadap hamba-hambaNYA, dan orangtua mendapat porsi istimewa dalam hal pengabulan doa untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, ambillah kesempatan ini agar bisa mendampingi anak di manapun mereka berada, tidak dengan fisik yang berada di sisi mereka, namun melalui doa yang terus tergantung di antara jemari sang Kuasa. (A/RI-1)
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Mi’raj News Agency (MINA)