Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Muhasabah Akhir Tahun (Oleh: Ustaz Wahyudi KS.)

Rana Setiawan - Selasa, 31 Desember 2019 - 08:40 WIB

Selasa, 31 Desember 2019 - 08:40 WIB

14 Views

Ustadz. Wahyudi, KS, M.Ag. Photo : Hadis/MINA

Oleh: Ustaz Wahyudi KS., Amir Majelis Ta’lim wa Tadrib Jama’ah Muslimin (Hizbullah)

Beberapa waktu lagi, pergantian tahun masehi akan kita saksikan. Yang harus masih menjadi keprihatinan kita, adalah sikap sebagian manusia yang menyambut tahun baru dengan hura-hura dan pesta maksiat. Padahal secara aqidah, bagi setiap muslim hendaklah mengetahui, bahwa fakta sejarah sebenarnya nama Januari (dalam bahasa Latin, Ianuarius) dinamai Yanus, dewa pintu atau penjaga gerbang. Dari sinilah penguasa Romawi merubah waktu dalam setahun, yang asalnya 10 bulan, yakni Maret sampai Desember (341 hari), menjadi 12 bulan (365 hari). Hal ini terjadi sejak tahun 450 SM. Ini artinya, jika umat Islam merayakan tahun baru yang sudah jelas acara ritual kaum kristiani, maka umat Islam akan jatuh pada kerusakan aqidah, syari’ah dan akhlaq.

Dalam Al-Qur’an, jumlah bulan dalam setahun disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 36, yang berbunyi :

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram).”

Di setiap pergantian waktu, baik hari, pekan, bulan ataupun tahun, mestinya menjadi momen untuk muhasabah, introspeksi, mawas diri dengan perjalanan hidup yang telah kita lalui. Sebagaimana dalam Al-Qur’an, kita diperintahkan selalu persiapan diri untuk hari esok, dengan bekal taqwa. Firman Allah tersebut berbunyi :

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.  Al-Hasyr [59]: 18).

Setiap mukmin dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas iman, ilmu dan amalnya. Untuk peningkatan kualitas tersebut, sangat diperlukan muhasabah (evaluasi). Tanpa muhasabah tidak akan ada peningkatan kualitas. Karena itu, muhasabah menjadi karakter utama pribadi mukmin, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Umar bin Khattab, pernah mengingatkan umat Islam dengan perkataannya yang sangat populer, “Hasibuu anfusakum qobla an tuhasabuu.” Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab. Wazinuu anfusakum qabla an tuzaanuu.

Muhasabah merupakan kesadaran akal dan hati untuk menjaga diri dari pengkhianatan nafsu melalui proses penyadaran agar mengetahui kelebihan dan kekurangan diri. Oleh karena itu, muhasabah menjadi cahaya di hati setiap orang yang melaksanakannya.

Momentum pergantian tahun baru masehi, secara aqidah sangatlah keliru bila disambut dengan hura-hura dan pesta maksiat. Pergantian tahun mestinya dijadikan sebagai sarana untuk muhasabatun nafsi (evaluasi diri) atas berbagai amal yang telah dilakukan di masa yang telah kita lalui, agar kehidupan kita menjadi lebih baik dan bermakna di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Pergantian tahun adalah bagian dari perjalanan waktu. Sebagaimana hakikatnya waktu; ia akan terus melaju tanpa peduli apapun yang dilaluinya. Waktu berjalan cepat laksana bergeraknya awan di langit, berlari secepat angin kencang. Waktu tak akan pernah kembali dan mengulang perjalanan. Waktu adalah harta yang paling berharga setelah iman dan Islam.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Secara fitrah seiring berjalannya waktu, manusia akan melalui lima hari;

Pertama, hari yang telah lewat, itulah hari kemarin, bulan yang telah lalu, tahun yang telah berganti. Semuanya hanya tinggal kenangan, dosa dan kesalahan di masa lalu sepatutnya menyadarkan kita untuk bertobat dan menyesal serta bertekad untuk tidak mengulangnya.

Kedua, hari yang sekarang, yang sedang kita jalani. Hendaklah dengan berbekal taqwa, kita mampu memilah dan memilih, serta hati-hati dalam berpikir, berkata dan bertindak. Shahabat Umar bin khaththab bertanya kepada Ubay bin ka’ab radliallahu ‘anhumaa. “Wahai Ubay, apakah yang dinamakan taqwa?” Maka Ubay balik bertanya; “Apa yang anda lakukan jika berjalan di atas jalan yang penuh duri?” Umar menjawab; “tentu hati-hati.” Maka Ubay berkata; “Nah, itulah Taqwa.”

Ya, taqwa adalah hati-hati, jangan sembarang berpikir, jangan sembarang berprasangka, jangan sembarang berkata, dan jangan sembarang bertindak. Hendaklah selalu mohon pertolongan Allah serta selalu berpegang  teguh kepada Al Qur’an dan Sunnah, agar pandai memilah dan memilih sehingga selamat dunia dan akhirat.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Ketiga, hari yang akan datang, itulah hari esok yang harus kita persiapkan di hari ini, dan bercermin dari hari yang lalu, agar hari esok menjadi lebih baik. Allah mengingatkan kita dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa:9,  Wal yakhsyalladziina lau tarakuu min khalfihim dzurriyatan dhi’aafa. “Dan hendaklah orang-orang takut, jika meninggalkan generasi yang lemah setelah mereka.“ Atas dasar inilah kita dituntut hari esok untuk menjadi lebih baik dari hari kemarin dan hari ini, lebih prestatif dan puncaknya meraih husnul khatimah atau sebagai syahid. Demikian pula anak dan cucu kita harus menjadi lebih baik, kuat iman, kuat ilmu, kuat fisik, dan kuat harta, karena mereka akan hidup di zaman yang bisa lebih buruk dari saat ini.

Keempat, hari yang dijanjikan. Itulah hari kematian, hari kehidupan di alam kubur, hari dikumpulkan seluruh manusia dari zaman Nabi Adam ‘alaihissalam, sampai pada hari Qiyamat.

Kelima, hari pembalasan. Di hari inilah manusia semua akan ditimbang amal-amalnya. Setiap pribadi akan bertanggung jawab masing-masing, tidaklah seseorang dapat menanggung dosa orang yang lain. Orang tua tidak dapat menebus dosa anaknya, anakpun tidak dapat menebus dosa orang tuanya.

Mari kita sadari sepenuhnya, bertambahnya hitungan angka usia kita adalah berkurangnya jatah umur kita di sisi Allah. Kita sedang bergerak meninggalkan dunia yang fana dan mendekati akhirat yang abadi.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Semoga dengan banyaknya muhasabah kita di dunia, akan menjadi ringan hisab kita di akhirat, dan kita berharap kepada Allah ‘Azza wa Jalla dapat meraih prestasi husnul khatimah. Aamiin Yaa Rabbal ‘aalamiin.(AK/R01/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Rekomendasi untuk Anda

Sosok
Indonesia
Breaking News
wahyudi ks
Breaking News
Breaking News