Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency), Da’i Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, Jawa Barat
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤۡمِنِينَ (٨) يُخَـٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَمَا يَخۡدَعُونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ (٩) فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ۬ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضً۬اۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ (١٠)
Artinya: ”Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.(8) Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.(9) Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”.(10). (Q.S. Al-Baqarah [2]: 8-10).
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Prof Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan, bahwa pada ayat sebelumnya yakni surat Al-Baqarah ayat 6-7, Al-Quran berbicara tentang sifat-sifat orang yang kafir. Orang kafir yaitu mereka yang dengan tegas telah menyatakan bahwa dia tidak percaya. Betapapun mereka diajak diberi peringatan ancaman azab kehancuran di dunia dan siksa neraka di akhirat, mereka tidak akan mau karena hati mereka sudah dicap.
Dengan hanya dua ayat saja hal itu sudah selesai. Tetapi mulai ayat 8 ini sampai ayat 20 membicarakan yang lebih sulit daripada kufur, yaitu orang yang berlain apa yang diucapkannya dengan mulutnya dengan pendirian hatinya yang sebenarnya. Sifat ini bernama nifaq dan pelakunya munafiq.
Mereka berkata dengan mulut bahwa mereka percaya; mereka percaya kepada Allah, percaya akan Hari Kemudian, tetapi yang sebenarnya adalah mereka itu orang-orang yang tidak percaya. Mulutnya mengakui percaya, tetapi hatinya tidak, dan pada perbuatannya lebih terbukti lagi bahwa pengakuan mulutnya tidak sesuai dengan apa yang tersimpan di hati.
Para ulama bahasa mengatakan, “Orang disebut munaafiq, karena menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya. Sama seperti rayap yang merusak bagian dalam kayu. Bagian luarnya bagus, padahal bagian dalamnya kosong melompong. Begitulah orang munafik, luarnya iman namun batinnya kufur.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Beriman Tapi Tak Beriman
Ibnu Juraij mengatakan bahwa orang munafiq itu senantiasa tidak sejalan antara ucapan dan perbuatannya, antara yang tersembunyi dan yang nyata serta antara zhahir dan batinnya. Sesungguhnya, berbagai sifat orang-orang munafik terdapat dalam surat-surat yang diturunkan di Madinah, karena di Makkah tidak terdapat kemunafikan. Justru sebaliknya, di antara penduduk di sana ada orang.yang menampakkan kekafiran karena terpaksa, padahal secara batin ia tetap beriman.
Itulah yang Allah sebutkan:
ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤۡمِنِينَ
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Artinya: “Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.”
Itulah sekelompok orang yang ragu-ragu dan bimbang, mereka adalah orang-orang yang munafiq yang berkata dengan lisan mereka, “Kami mempercayai Allah dan Hari Akhir.” Namun dalam hati mereka berdusta, mereka tidak beriman. Ada nifaq di dalam hatinya.
Nifaq itu sendiri berasal dari kata نَافَقَ-يُنَافِقُ-نِفَاقاً ومُنَافَقَةً yang diambil dari kata النَّافِقَاءُ (naafiqaa’). Nifaq secara bahasa berarti salah satu lubang tempat keluarnya yarbu’ (hewan sejenis tikus) dari sarangnya, di mana jika ia dicari dari lubang yang satu, maka ia akan keluar dari lubang yang lain.
Dikatakan pula, ia berasal dari kata النَّفَقُ (nafaq) yaitu lobang tempat bersembunyi. Begitulah maka orang munafiq, bagai lorong lubang, ia mempunyai dua pintu lubang, alias bermuka dua.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Sedangkan nifaq menurut syara’ berarti menampakkan keislaman dan kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dinamakan demikian karena dia masuk pada syari’at dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain.
Karena itu Allah memperingatkan dengan firman-Nya:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafiq itu mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Q.S. At-Taubah [9]: 67).
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Imam Ibnu Katsir menggolongkan nifaq itu ada dua macam. Pertama, nifaq i’tiqadi (dalam keyakinan), yang menjadikan pelakunya kekal di neraka. Dan kedua, nifaq ‘amali (berupa perbuatan) yang merupakan salah satu dosa besar.
Lalu, karena kebodohan itulah, mereka meyakini bahwa mereka bisa menipu Allah dan orang-orang beriman hanya dengan menampakan iman dan menyembunyikan kekufuran. Padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri, karena akibat buruk tipuan mereka sendiri. Karena kebodohan mereka yang sangat, mereka tidak menyadari hal itu. Disebabkan hati mereka benar-benar rusak.
Di dalam Tafsir Al-Qurthubi dijelaskan, bahwa pada empat ayat dari awal surah Al-Baqarah menyatakan tentang orang-orang yang beriman, dua ayat tentang sifat orang-orang kafir, dan tiga belas ayat tentang sifat-sifat orang-orang munafiq.
Sedangkan lawan dari kata nifaq adalah ash-shidqu (jujur), maka dari itu shadaqah yang kita keluarkan berupa harta dan lain sebagainya, diambil dari kata shidqu (jujur) karena hal itu menunjukkan kejujuran orang yang mengeluarkan shadaqah. Karena iman bukan hanya pengakuan dalam hati, namun juga harus dibuktikan secara amal nyata.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Tentang sifat nifaq, ulama jaman dahulu ada yang menyebutkan, “Orang yang beriman itu ada dua, yaitu orang yang beriman yang dicintai Allah juga dibimbing-Nya, dan orang beriman tapi tidak dicintai Allah juga tidak dibimbing-Nya, justru dibenci dan dimusuhi-Nya. Setiap orang yang Allah ketahui bahwa dia memilih keimanan maka Allah mencintai, membimbing dan meridhainya. Dan setiap orang yang Allah ketahui bahwa dia memilih kekufuran maka Allah benci, murka dan memusuhinya. Bukan karena keimanannya, akan tetapi karena kekufuran dan kesesatan yang dipilihnya.
Orang kafir pun ada dua, yakni orang kafir yang pasti disiksa, dan orang kafir yang tidak disiksa. Orang kafir yang disiksa adalah orang yang menetapi kekufuran. Oleh karena itulah Allah murka dan memusuhinya. Sedangkan orang kafir yang tidak disiksa adalah orang yang memilih keimanan. Allah tidak murka terhadap orang ini, bahkan Dia cinta dan akan membimbingnya. Bukan karena kekufurannya, akan tetapi karena keimanan yang dipilihnya.
Maka, berdasarkan hal tersebut tidak boleh kita mengatakan perkataan, “Orang yang beriman itu pasti mendapatkan pahala, dan orang kafir itu pasti mendapatkan siksa. Akan tetapi perlu diiringi dengan perkataan ‘atas kehendak pilihan Allah’”.
Karena itu, Allah ridha kepada Umar ketika dia masih menyembah berhala dan dia ingin mendapatkan pahala juga untuk masuk surga. Bukan karena penyembahannya kepada berhala, akan tetapi karena keimanan yang dipilihnya. Sebaliknya, Allah murka kepada Iblis ketika dia menyembah Nya, karena kekufuran yang dipilihnya.
Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan kita dalam sabdanya:
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Artinya: “Maka demi Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia (Allah), sesungguhnya di antara kamu ada orang yang melakukan perbuatan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, akan tetapi catatan mendahuluinya, akhirnya dia melakukan perbuatan ahli neraka, ia pun masuk ke neraka. Sesungguhnya di antara kamu ada orang yang melakukan perbuatan ahli neraka sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta, akan tetapi catatan mendahuluinya, akhirnya dia melakukan perbuatan ahli surga, ia pun masuk ke surga” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Hendak Menipu Allah
Sifat orang-orang munafiq lainnya adalah penipu, bahwa mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Allah menyebutnya dengan:
يُخَـٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَمَا يَخۡدَعُونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ
Artinya: “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.”
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Mereka hendak menipu Allah” artinya mereka merusak iman dan amal mereka dengan riya, ingin dilihat dan dipuji manusia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Pada ayat lain disebut:
إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ يُخَـٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَـٰدِعُهُمۡ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلاً۬
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (Q.S. An-Nisa [4]: 142).
Mereka orang-orang munafiq itu tidak lain hanya menipu dirinya sendiri, maksudnya tidaklah menimpa akibat penipuan itu kecuali pada mereka sendiri. Kata mutiara Arab mengatakan, “Barangsiapa menipu orang yang tidak pernah menipu, maka sebenarnya dia menipu dirinya sendiri”.
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Akan tetapi mereka tidak sadar, maksudnya, mereka tidak menyadari bahwa akibat tipuan mereka kembali kepada diri mereka sendiri.
Ada Penyakit di Hatinya
Begitulah, orang-orang munafiq itu di dalam hatinya ada penyakit, dan penyakit itu semakin bertambah pula. Pada ayat yang menyebutkan:
فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ۬ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضً۬اۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ
Artinya: ” Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan tentang tanda-tanda orang munafiq tulen di dalam hadits.
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقاً خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا، إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Artinya: “Ada empat hal yang jika terdapat pada diri seseorang, maka ia menjadi seorang munafiq sejati, dan jika terdapat padanya salah satu dari sifat tersebut, maka ia memiliki satu karakter kemunafikan hingga ia meninggalkannya: 1) jika dipercaya ia berkhianat, 2) jika berbicara ia berdusta, 3) jika berjanji ia memungkiri, dan 4) jika bertengkar ia melewati batas”. (HR Bukhari dan Muslim).
Itulah, di dalam hati orang-orang munafiq itu ada penyakit, berupa keragu-raguan, pengecut, dan lemahnya hati. Lalu ditambah Allah penyakit mereka, dengan menurunkan Al-Quran yang mereka ingkari itu. Dan bagi mereka siksa yang pedih, yang menyakitkan, disebabkan kedustaan mereka.
Ibnu Mas’ud dan beberapa sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, menjelaskan, maksud dari di dalam hatinya ada penyakit adalah adanya atau keraguan, lalu Allah menambah keraguan itu dengan keraguan lagi.
Sedangkan menurut ‘Ikrimah dan Thawus, maksudnya penyakit ini adalah adanya riya (ingin dipuji, pamer, bukan karena Allah).
Kata ‘Abdurrahman bin Zaid, yang dimaksud penyakit dalam hati ini, yaitu penyakit dalam agama, bukan dalam badan. Mereka itulah orang-orang munafiq, yang Allah tambah kenajisan terhadap hati mereka, keburukan mereka ditambah dengan keburukan lagi, kesesatan ditambah dengan kesesatan lagi.
Lalu beliau membacakan surat At-Taubah ayat 124-125.
وَإِذَا مَآ أُنزِلَتۡ سُورَةٌ۬ فَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ أَيُّڪُمۡ زَادَتۡهُ هَـٰذِهِۦۤ إِيمَـٰنً۬اۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَزَادَتۡهُمۡ إِيمَـٰنً۬ا وَهُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ (١٢٤) وَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ۬ فَزَادَتۡہُمۡ رِجۡسًا إِلَىٰ رِجۡسِهِمۡ وَمَاتُواْ وَهُمۡ ڪَـٰفِرُونَ (١٢٥)
Artinya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka [orang-orang munafik] ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan [turunnya] surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. (124) Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya [yang telah ada] dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (125). (Q.S. At-Taubah [9]: 124-125).
Lalu, mengapa tidak dibunuh saja orang-orang munafiq itu? Al-Qurthubi dan beberapa mufassirin pernah ditanya tentang hikmah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menahan diri untuk tidak membunuh orang-orang munafiq, padahal beliau tahu tokoh-tokoh mereka.
Para mufassirin memberikan beberapa jawaban, salah satunya sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih, bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berkata kepada ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu:
ﺃﻛﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﺘﺤﺪﺙ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﻳﻘﺘﻞ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ
Artinya: “Aku tidak suka kalau nanti bangsa Arab ini mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya”.
Kita semua senantiasa berlindung dari sifat-sifat orang-orang munafiq tersebut, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat munafik, dan dari akhlaq yang buruk, dan dari sempitnya rezeki”. Aamiin. (P4/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)