New Delhi, MINA – Prof Dr Nyla Ali Khan, guru besar di Rose State College Oklahoma, AS, mengatakan, warga Muslim Kashmir merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang Asia Selatan.
“Saya tidak mengatakan ini sebagai Muslim Kashmir, tetapi sebagai orang Asia Selatan. Lebih dari itu, karena saya tidak pernah setuju dengan komunalisasi politik,” ujar cucu Sheikh Muhammad Abdullah (wafat 1982), pendiri Organisasi Konferensi Muslim Kashmir.
“Muslim adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Asia Selatan, masa lalu dan masa depan. Saya juga berkeyakinan teguh bahwa setiap penduduk India harus diberikan rasa partisipasi dalam urusan bernegara,” ujar penulis buku Women and Violence in Kashmir Between Indian and Pakistan tersebut. Kashmir Observer melaporkan, Ahad (9/8).
Menurut pemerhati politik India kelahiran New Delhi itu, mengingat sejarah politik India yang kompleks, menjadi semakin penting untuk memastikan bahwa minoritas di negara itu harus puas dengan hubungan mereka dengan pemerintah India.
Baca Juga: Mengembangkan Sumber Pangan Lokal Berbasis Komunitas
Terlebih di negara yang memilih demokrasi, seperti India, memerlukan lebih dari sekadar menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun. “Secara substansi, demokrasi adalah cara hidup dan cara berpikir,” ujarnya.
Dalam demokrasi, mayoritas akan menang, tetapi sama-sama berkewajiban menghormati dan membela kepentingan sah dan sentimen minoritas dan menghilangkan kekhawatiran mereka, lanjutnya.
“Ujian terbesar dari keberhasilan demokrasi terletak pada sejauh mana minoritasnya merasa aman. Dalam perspektif ini, demokrasi dan sekularisme di India akan tetap menjadi eksperimen yang gagal selama minoritas dimarjinalkan dan disiksa,” imbuhnya.
Ia menyayangkan, sejarah politik yang kompleks di anak benua India sengaja diabaikan oleh Partai Bharatiya Janata (BJP).
Baca Juga: Mengislamkan Pikiran, Hati, Dan Perilaku
“Penyimpangan besar ini justru menyebabkan berkembangnya chauvinisme nasional dan ekstremisme, dengan demikian melemahkan karakter sekuler konstitusi dan negara,” ujarnya.
Saling Membantu Sesama
Prof Nyla yang pernah mengajar di Universitas Oklahoma dan di Universitas Nebraska-Kearney, AS menekankan, ajaran agama tidak membeda-bedakan antara Hindu dan Muslim dalam bermasyarakat. “Kami diajari bahwa kehidupan seorang Hindu sama sakralnya bagi kami seperti halnya kehidupan seorang Muslim,” katanya.
“Kami diajari, setiap kerugian bagi seorang Hindu harus dicegah dengan mengorbankan nyawa kami, karena agama kami mengajarkan untuk membela dan membantu sesama,” katanya.
Baca Juga: Sejarah, Makna, dan Relevansi Sumpah Pemuda Bagi Bangsa
Saya bangga melihat orang-orang seperti Muslim Chand Bagh, yang memilih untuk melindungi situs keagamaan Hindu, di tengah-tengah pergolakan.
Kisah Muslim menyelamatkan umat Hindu dan melindungi situs keagamaan mereka; Umat Hindu menangkal massa yang hiruk pikuk, dan memberikan perlindungan kepada Muslim yang terancam punah; dan orang Sikh yang membuka kamp bantuan bagi yang sakit, terluka, dan rentan adalah manifestasi dari ikatan manusia yang tidak dapat dipisahkan, lanjutnya.
Menurut pandangannya, politik Hindutva secara efektif menantang gagasan sekuler dan kekuatan persatuan di antara dua komunitas utama negara dengan menyebarkan Islamofobia dan menjelek-jelekkan 200 juta Muslim.
“Mereka yang sudah lama berkecimpung di arena politik harus menyadari bahwa tidak ada politik tanpa negosiasi. Dan otoritas negosiasi tertinggi selalu warga Negara,” tegasnya.
Baca Juga: Setelah Sinwar Syahid, Perlawan Melemah?
Ia menyoroti BJP yang berkuasa telah dengan berani memberangus suara-suara politik yang bertentangan dengan agendanya untuk menjadikan India sebagai Hindu Rashtra.
Padahal demokrasi sejati tumbuh subur karena perbedaan pendapat, bukan dengan mencekik mereka yang mungkin tidak sepaham.
Tetapi apa yang kita saksikan di India, terutama negara-negara yang diperintah BJP, adalah upaya sistematis untuk menghalangi pertumbuhan demokrasi dengan mendepolitisasi warga negara.
“RUU Amandemen Kewarganegaraan (CAB) mengedepankan kekuatan fundamentalisme dengan kekuatan yang tiada henti,” lanjutnya.
Baca Juga: Lima Karakter Orang Jahil
CAB berupaya memberikan kewarganegaraan hanya kepada minoritas agama non-Muslim dari Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan, yang diduga melarikan diri dari penganiayaan. Hak istimewa yang sama tidak diberikan kepada minoritas Muslim, yang mungkin juga melarikan diri dari penganiayaan agama.
Akibatnya, RUU Amandemen Kewarganegaraan mencemooh prinsip sekularisme dan hak-hak yang berkaitan dengan kehidupan, kebebasan, dan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh Konstitusi bagi non-Muslim dan Muslim. (T/RS2/P2)
Sumber : Kashmir Observer
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bulan Solidaritas Palestina (BSP) November 2024