Oleh: Shamsi Ali / Presiden Nusantara Foundation
Sekitar tujuh tahun lalu kata Shariah di Amerika Serikat menjadi kata yang sangat menakutkan, bahkan menjadi isu perdebatan politik. Salah seorang yang paling gigih mengkampanyekan “anti Shariah” adalah Newt Gingrich, mantan Speaker of the Congress (Ketua Parlemen Amerika).
Bersama Sarah Palin, mantan Gubernur Alaska dan calon Wapres ketika serta banyak politisi dari kalangan Republikan khususnya, membangkitkan rasa takut bahkan amarah masyarakat Amerika terhadap Shariah dan Islam secara umum.
Kata Shariah bagi mereka memang menakutkan. Bagaimana tidak? Shariah di benak mereka adalah terorisme (kekerasan dan pembunuhan), anti HAM dan anti kebebasan (freedom), keterbelakangan, diskriminasi dan kekerasan kepada wanita, dan seterusnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Sikap anti Shariah (dan Islam) sebagian politisi Amerika ini didukung sepenuhnya oleh media-media Right wing seperti Fox dan Wall Street. Sehingga saat itu, bersamaan pula dengan rencana membangun Islamic Center dekat Ground Zero, isu Shariah menjadi isu menakutkan sekaligus terpopuler.
Di saat itulah saya didatangi oleh sekelompok pimpinan agama, termasuk Yahudi dan berdialog tentang apa itu Shariah?
Seorang Rabbi Yahudi bertanya: “Imam, kata Shariah ramai dibicarakan. Sesungguhnya apa arti dan defenisi Shariah itu?”.
Seraya menarik nafas saya to the point: “Anda harus faham bahwa kami tidak mungkin dapat berislam tanpa Shariah. Dan Islam tanpa Shariah adalah Islam yang mati”.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Mendengar itu, nampak semua hadirin terkejut dan membelalak. Saya kemudian melanjutkan sambil berbicara khususnya kepada sang Rabi Yahudi tadi: “Are you eating Kosher?”. Kosher bagi Yahudi adalah makanan halal bagi umat Islam.
“Yes of course”, jawabnya.
Sambil tersenyum saya katakan: “Exactly. We Muslims are eating halal”. My question to you is do you eat kosher because of health issue or religious reason?”.
Dia menjawab cepat: “oh it is a religious law for us”.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Saya dengan cepat pula menjawab: “Halal for me is not only because of health reason. More importantly it is an Islamic law that I obey in order to be a true Muslim”.
Lalu saya lanjutkan: “Rabbi, apakah anda disunat?”.
Dia sambil tertawa menjawab: “Yes of course”.
Saya katakan: “I trust you. You don’t have to show me”.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Sambil tertawa saya lanjutkan lagi: “But is for health reason or what?”.
Dia sambil juga tertawa menjawab: “Certainly it is because of our religious law”.
Saya katakan kepada semua hadirin: “Gentlemen, that is exactly the reason why I am circumcised. The law of my religious commands me and so I obey”. And that’s all are religious laws for me to follow”.
Mendengar itu, semua mengangguk. Saya kemudian melanjutkan: “Saya tidur di malam hari, bangun di pagi hari. Saya sholat subuh, lalu mandi bersih, dilanjutkan dengan sarapan pagi tapi halal, lalu memakai pakaian dan berangkat kerja, semua itu adalah shariah bagiku”.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Bahkan saya menikah dengan isteriku, dan melakukan hubungan suami isteri, lalu punya anak. Anak itu kemudian saya didik, bahkan mencari rezeki untuk mensupport kekuarga, semua itu saya kakukan karena itulah ajaran agama kami.
Ajaran agama bagi kami adalah “jalan hidup” kami. Maka Shariah adalah jalan. Iya jalan hidup. Karena sekali lagi, kami tidak mungkin hidup sebagai Muslim tanpa Shariah. Sebagaimana Saudara Yahudi tidak mungkin hidup sebagai Yahudi tanpa “Jewish Laws”.
Dan karenanya kalau Shariah dilarang di Amerika, hendaknya hukum Yahudi dan hukum agama-agama lain juga dilarang. Sebab hanya dengan itu kita semua bisa bangga menjadi orang Amerika yang menjunjung tinggi keadilan.
Hari itu sekitar tujuh orang pimpinan agama meninggalkan saya dengan tersenyum. Mereka paham, mereka sadar dan mereka puas dengan jawaban saya yang sederhana, sesederhana pemikiran dan hidup saya.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Intinya adalah umat ini tidak mungkin berislam tanpa Shariah. Dan pengakuan Muslim tanpa Shariah adalah pengakuan kosong. Karena orang Islam sholat itu shariah, puasa itu shariah, zakat itu shariah, bahkan dagang dan kerja sehari-hari bagi mereka semua itu adalah shariah.
Anehnya ada orang aneh seperti Newt Gingrich. Dialah ketika menjadi Speaker of the House (Ketua Parlemen Amerika) yang pertama kali memberikan izin bagi staf Muslim di Kongress AS untul Jumatan di Capitol Hill. Dan itu adalah Shariah (hukum Islam). Tapi dia juga yang ketakutan dan mengkampanyekannya sebagai ancaman terhadap Amerika.
Di Indonesia nampaknya juga ada orang-orang aneh. Mengaku Muslim tapi takut terhadap hukum agama yang diakui sebagai keyakinannya. Sebuah paradoks nyata dalam hidup manusia. Tapi itulah realita aneh dalam dunia dan hidup yang penuh keanehan.
Saya akhiri tentunya dengan penekanan bahwa meyakini Shariah seperti ini bukan berarti anti “Pancasila dan UUD”. Karena Pancasila dan UUD jika dilaksanakan secara jujur dan konsisten maka semua itu adalah implementasi dari perintan agama.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Berketuhanan yang Maha Esa misalnya adalah kewajiban bagi umat Islam untuk percaya kepada ajaran Tauhid, termasuk di dalamnya ketaatan dalam menjalankan ajaran-ajaran tauhid itu. Sebab bagaimana mungkin seseorang yakin kepada Tuhan jika ajarannya diingkari bahkan ditakuti?
Intinya adalah bagi seorang Muslim Indonesia, anda bisa menjadi Muslim yang baik sekaligus menjadi warga negara yang baik. Jangan pernah dibodohi seolah menjadi Muslim yang baik itu adalah anti negara. Atau sebaliknya seolah menjadi nasionalis yang baik harus menjadi Muslim pecundang. Semoga tidak!
New York, 2 April 2018
(A/R07P1)
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Mi’raj News Agency (MINA)