Bangkok, 19 Jumadil Akhir 1436/8 April 2015 (MINA) – Komite investigasi Thailand pada Selasa (7/4) mengeluarkan sebuah laporan, menyebutkan empat pria Muslim yang dibunuh pasukan keamanan bulan lalu, tidak terkait dengan pemberontak di wilayah Selatan.
Militer mengatakan, serangan pada 25 Maret dilancarkan setelah informan memperingatkan akan adanya serangan di Desa To Chud, Provinsi Pattani, sementara polisi mengaku hanya menembak setelah ditembak saat mendekati basis kelompok bersenjata.
Dua orang yang tewas (berusia 23 dan 32 tahun) telah dikaitkan dengan Rundan Kumpulan Kecil (RKK), salah satu kelompok bersenjata yang paling aktif di selatan Thailand, Anadolu Agency yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA), melaporkan.
Waedueramae Mamingi, Ketua Komite Islam Pattani Tengah yang memimpin komite investigasi, meragukan pernyataan militer.
Baca Juga: HRW: Pengungsi Afghanistan di Abu Dhabi Kondisinya Memprihatinkan
Dia mengatakan tidak ada “bukti jelas” yang menghubungkan orang-orang tersebut dengan kelompok pengacau di selatan.
Komite yang terdiri 15 anggota dari perwakilan pejabat pemerintah, militer dan pemimpin agama, merekomendasikan agar petugas yang terlibat dalam serangan dituntut ke pengadilan dan keluarga korban mendapat kompensasi finansial.
Di masa lalu, warga sipil Muslim tak berdosa juga dibunuh oleh militer, polisi atau pasukan paramiliter.
Tiga provinsi Thailand selatan – Pattani, Yala dan Narathiwat – merupakan sebuah kesultanan Islam yang merdeka dengan pengaruh agama besar di dunia Muslim Asia Tenggara, hingga dimasukkan ke Siam (Thailand) setelah Perjanjian Anglo-Siamese 1909.
Baca Juga: Gunung Berapi Kanlaon di Filipina Meletus, 45.000 Warga Mengungsi
Inggris yang menjadi penjajah di Malaysia mengambil kontrol atas wilayah tersebut.
Sejak tahun 1938, kampanye nasionalis yang lakukan oleh pemerintah Marsekal Phibulsongkhram mencoba memaksakan norma-norma budaya Thai kepada Muslim Melayu yang kemudian bereaksi dengan meminta beberapa otonomi politik dan budaya.
Namun situasi berubah kacau pada tahun 1960-an, ketika diktator militer Marsekal Tarit Sanarat berusaha untuk mengintervensi pesantren.
Beberapa kelompok Muslim mengangkat senjata dan memulai perang gerilya melawan pemerintah Thailand.
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan
Situasi menjadi tenang di akhir 1980-an dan “masalah Selatan” dianggap selesai. Namun, pada Januari 2004, terjadi sebuah serangan gelombang baru terhadap militer, polisi dan para biksu Budha yang mengguncang pemerintah Thailand.
Sejak itu, kekerasan terus berlanjut. Konflik telah merenggut nyawa lebih 6.000 orang, baik Budha dan Muslim, juga mencederai 11.000 orang.
Pemerintah sipil mantan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra nemulai proses dialog perdamaian dengan kelompok-kelompok bersenjata pada 2013, tetapi digulingkan dalam kudeta Mei tahun lalu.
Setelah kudeta 22 Mei, junta Thailand mengumumkan keinginannya untuk melanjutkan dialog resmi. Namun beberapa kelompok bersenjata di wilayah selatan enggan bergabung saat otonomi politik tidak masuk dalam pembicaraan. (T/P001/R05)
Baca Juga: Jumat Pagi Sinagog Yahudi di Meulbourne Terbakar
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Taliban Larang Pendidikan Medis Bagi Perempuan, Dunia Mengecam