Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nashiruddin Ahli Hadits Terkemuka dari Albania

Ali Farkhan Tsani - Senin, 18 Juli 2016 - 23:45 WIB

Senin, 18 Juli 2016 - 23:45 WIB

860 Views

Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Nama lengkapnya adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Al-Albani. Maka sering disebut dengan Syaikh Nashiruddin Al-Abani atau Syaikh Al-Albani.

Albania adalah negeri Muslim kini dengan penduduk sekitar 3,5 juta, dan jiwa mayoritasnya Muslim (sekitar 72 persen). Sisanya terdiri dari Katolik Ortodok(18 persen) dan Katolik Roma (10 persen). Sehingga Albania merupakan negara populasi muslim terbesar di Eropa.

Albania terletak di Eropa tenggara, berbatasan dengan Montenegro di barat laut, Kosovo ke timur laut, Makedonia di timur, dan Yunani di selatan dan tenggara .

Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat

Namun siapa sangka dari kawasan Eropa ini terlahir salah seorang ahli hadits abad kini yang banyak berperan dalam kajian ilmu-ilmu hadits.

Masa Kecil

Al-Albani terlahir dari keluarga yang tergolong sederhana, tapi sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ayahnya bernama Al-Haj Nuh atau Syeikh Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu- ilmu syari’at di Istambul, ibukota dinasti Turki Utsmaniyah.

Ketika Albania dipimpin oleh Raja Ahmad Zagho, pemerintahan yang semula kesultanan diubah menjadi pemerintahan sekuler. Melihat hal ini, Syeikh Nuh mengajak keluarganya pindah ke kawasan Syam, hingga ke Damaskus, Suriah, karena ingin menyelamatkan agama dan menghindari fitnah.

Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia

Di Damaskus, Albani kecil disekolahkan untuk belajar bahasa Arab di Madrasah Ibtidaiyah Jum’iyah al-Is’af al-Khairiyah. Setelah itu Albanimelanjutkan pendidikannya dengan belajar langsung ke para Syeikh, termasuk sang ayah yang telah mengajarinya Al Quran hingga selesai.

Ayah Albani juga mengajarinya ilmu tukang kayu dan ilmu reparasi jam, hingga Al-Albani mahir.  Bahkan keterampilannya ini membuatnya bisa berpenghasilan lumayan dengan membuka servis jam.

Seiring dengan pertambahan usianya, pada usia 20 tahun, ia memeutuskan untuk sepenuhnya menekuni ilmu hadits. Ia termotivasi setelah mengikuti edisi majalah Al-Manar yang membahas hadits-hadits. Al-Manar diterbitkan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha.

Ia pun akhirnya menutup kios reparasi jam yang sudah memberinya penghasilan lumayan.

Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia

Otodidak Belajar Hadits

Cintanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan cara mempelajari hadits-haditsnya, hingga ia pun rela tinggal di Perpustakaan Adh-Dhahiriyah setiap harinya. Ia hanya keluar jika waktu shalat tiba serta saat makan secukupnya saja.

Karena lebih memilih mempelajari hadits dan meninggalkan usaha mereparasi jam, Albani sampai tidak punya cukup uang lagi untuk hidup sehari-harinya. Dan memang membaca sudah menjadi hobinya sejak kecil.

Pegawai perpustakaan kemudian memberinya ruangan untuk ditinggali dan menjamin kehidupannya. Dengan begitu Albani bisa fokus dalam meneliti hadits-hadits, hingga setiap harinya mencapai 18 jam ia membaca dan mempelajari ilmu hadits di perpustakaan. Boleh dikatakan gurunya adalah perpustakaan.

Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya

Al-Albani memang tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah. Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal hadits-hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Belajar otodidaknya dan hobinya membaca buku-buku hadits itulah, yang menjadikannya  sebagai salah seorang ulama yang ahli dalam suatu hadits itu dipandang shahih atau dha’if (lemah).

Pernah, seperti disburkan Wiki, beliau merasa penasaran ingin merujuk secara langsung ke kitab referensi Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar, karya Syaikh Al-Hafizh al-Iraqi. Namun, kondisi ekonomi tak mendukungnya untuk membeli kitab tersebut. Maka, menyewa kitab pun menjadi jalan alternatifnya.

Kitab yang terbit dalam tiga  jilid itu pun disewa kemudian disalin dengan pena tangannya sendiri, dari awal hingga akhir. Itulah aktivitas pertamanya dalam ilmu hadits, sebuah salinan kitab hadits. Selama proses menyalin itu, tentunya menjadikan Syaikh Al-Albani secara tak langsung telah membaca dan menelaah kitabnya secara mendalam. Dan ilmu hadits pun semakin menjadi daya tarik baginya.

Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia

Laman Wiki juga menyebutkan, tak cukup dengan belajar sendiri, Syaikh Al-Albani pun sering ikut serta dalam seminar-seminar ulama besar semacam Syaikh Muhammad Bahjat Al-Baitar yang sangat ahli dalam bidang hadits dan sanad.

Suatu ketika ada seorang ahli hadits, al-musnid (ahli sanad), sekaligus sejarawan dari Kota Halab (Aleppo) tertarik kepadanya, dia adalah Syaikh Muhammad Raghib At-Tabbakh yang kagum terhadap kecerdasan Syaikh al-Albani.

Syaikh At-Tabbakh berupaya menguji hafalan serta pengetahuan Syaikh Al-Albani terhadap ilmu mustholah hadits, dan hasilnya pun sangat memuaskan. Maka turunlah sebuah pengakuan dari Syaikh at-Tabbakh, yaitu al-Anwar al-Jaliyyah fi Mukhtashar al-Atsbat al-Hanbaliyyah, sebuah ijazah sekaligus sanad yang bersambung hingga Imam Ahmad bin Hanbal, yang melalui jalur Syaikh at-Tabbakh.

Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang Imam ahli hadits di antara Imam yang empat (Hanafi, Malik, Syafi’i, dan Ahmad), Imam Ahmad juga adalah murid Imam Syafi’i dan juga merupakan guru yang paling berpengaruh bagi Imam Bukhari (sang bapak muhadits).

Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah

Syaikh Al-Albani pun mulai melebarkan hubungannya dengan ulama-ulama hadits di luar negerinya, senantiasa berkorespondensi dengan banyak ulama, ada di antaranya yang berasal dari India, Pakistan, dan negara-negara lain. Mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan hadits dan agama pada umumnya, termasuk dengan Syaikh Muhammad Zamzami dari Maroko, Syaikh ‘Ubaidullah Rahman (pengarang Mirqah al-Mafatih Syarh Musykilah al-Mashabih), dan juga Syaikh Ahmad Syakir dari Mesir.

Bahkan mereka berdua (Syaikh al-Albani dan Syaikh Ahmad Syakir) terlibat dalam sebuah diskusi dan penelitian mengenai hadits.

Syaikh Al-Albani juga bertemu dengan ulama hadits terkemuka asal India, yaitu Syaikh Abdus Shomad Syarafuddin yang telah menjelaskan hadits dari jilid pertama kitab Sunan al-Kubra karya Imam An-Nasa’i. Kemudian juga karya Imam al-Mizzi yang monumental yaitu Tuhfat al-Asyraf, yang selanjutnya mereka berdua saling berkirim surat.

Dalam salah satu surat, Syaikh Abdus Shamad menunjukkan pengakuan atas keyakinan dia bahwa Syaikh Al-Albani adalah ulama hadits terbaik pada masa itu.

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Mengajar

Selain meneliti dan mempelajari hadits-hadits, Syaikh Al-Albani setelah cukup matang, ia juga mengajar di beberapa lembaga ilmu pengetahuan di antaranya mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits di Jami’ah Al-Islamiyah (Universitas Islam) Madinah.

Ini berlangsung pada tahun 1962, ketika Syaikh Al-Albani mendapatkan panggilan dari Universitas Islam Madinah yang ketika itu dipimpin oleh Rektor Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, yang juga menjabat sebagai mufti Kerajaan Arab Saudi.

Di sana Syaikh al-Albani mengajar ilmu Hadits dan fiqh Hadits di fakultas pascasarjana, bahkan menjadi Guru Besar ilmu Hadits. Kemudian pada tahun 1975, Syaikh Al-Albani diangkat menjadi dewan tinggi Universitas Islam Madinah selama tiga tahun hingga kemudian memutuskan kembali pulang ke Jordania.

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz memberikan komentar atas Syaikh Al-Albani, “Aku belum pernah melihat di kolong langit pada saat ini orang yang sangat alim (berilmu) dalam ilmu hadits seperti Muhammad Nashiruddin al-Albani”, demikian ungkap dia.

Syaikh Nashiruddin Al-Albani semasa hidupnya atas jasa-jasanya dalam ilmu hadits juga pernah mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Foundation pada tanggal 14 Dzulqa’dah 1419 H.

Syaikh Al-Albani pernah dipenjara di Al-Qal’ah Damaskus, yang merupakan penjara tempat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah berada di dalamnya. Ia dipenjara di sana selama enam bulan. Sebelumnya beliau juga pernah dipenjara para tahun 1967 selama satu bulan.

Hal ini disebabkan gugatan dari sebagian masyaikh sufi yang mengajukan gugatan melawan beliau di pengadilan, karena tulisan-tulisan tajam Al-Albani yang dianggap menyerang fanatisme madzhab. Tetapi kemudian dibebaskan karena tidak ada bukti dan alasan kuat menahannya.

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

Perjalanan berikutnya, ketika masa penjajahan Israel di Palestina, Syaikh Al-Albani mendapatkan paspor izin untuk pergi ke Al-Quds. Di sana pun Syaikh Al-Albani menjadi pemberi tausiyah bagi para pejuang Al-Quds yang tergabung di dalam brigade Izzuddin al-Qossam dan mengajari mereka sunah-sunah Nabi dalam berjihad serta syariat berjihad,

Di Al-Quds Syaikh Al-Albani pun beberap kali menikmati shalat di Masjid Al-Aqsha bersama para pemuda pejuang setempat.

Ketika Syaikh Al-Albani diketahui memberikan ilmu-ilmu ruh perjuangan itu, maka ia pun segera diplabgkan ke negerinya, Jordania.

Karya-Karya Syaikh Al-Albani

Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

Karya-karya Syaikh Al-Albani sangat banyak, yang menunjukkan kepakarannya dalam ilmu-ilmu hadits, hingga mencapai 218 judul kitab.

Di antaranya yang terkenal adalah :

  1. Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah wa Syai’un min Fiqiha wa Fawaaidiha(9 jilid), berisi uraian 4.035 hadits.
  2. Silsilah al-Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhuu’ah wa Atsaaruha As-Sayyi’ fil Ummah(14 jilid). Rata-rata setiap jilidnya berisikan 500 kajian hadits.
  3. Irwa’ul Ghalil(8 jilid), jumlah 2.707 hadits.
  4. ShahihwadDha’if Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadat ihi. Tercatat dalam kitab ini, yang shahih berjumlah 8.202 hadits dan yang tidak shahih berjumlah 6.452 hadits dalam kajian Al-Albani.
  5. Shahih Sunan Abu DawuddanDhaif Sunan Abu Dawud. Terdapat kajian shahih ataukah dhaif sejumlah 274 hadits.
  6. Shahih Sunan at-Tirmidziwad Dhaif Sunan at-Tirmidzi. Berisi keterangan shahih ataukah dhaif 3.956 hadits.
  7. Shahih Sunan an-Nasa’iwad Dhaif Sunan an-Nasa’i. Berisi kajian shahih ataukah dhaif atau yang lainnya, dari 774 hadits.
  8. Shahih Sunan Ibnu Majahwad Dhaif Sunan Ibnu Majah. Berisi apakah shahih ataukah dhaif atau yang lainnya dari 341 hadits.

Dan masih banyak lagi yang lainnya, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di antaranya: Hukum Jenazah, Sifat Shalat Nabi, Jilbab Wanita Muslimah, dan lain-lain, yang semuanya dalam kajian hadits.

Semua ini adalah sebuah realisasi proyek besar Syaikh Al-Albani yang disebutnya dengan “Taqribus Sunnah Baina Yadayil Ummah” (Mendekatkan Sunnah Ke hadapan Ummah), tujuannya adalah memudahkan ummat secara umum untuk mengambil hadits Nabi yang shahih.

Ketawadhuan Al-Albani

Mengingat kelebihan yang dimiliki Syaikh Al-Albani dalam bidang ilu hadits, dalam beberapa tahun belakangan banyak kitab, buku, artikel, atau postingan di internet yang memuat kalimat : “disahihkan oleh Syaikh Al-Albani”.

Selama ini orang setidaknya hanya mengenal seperti : diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dan yang semisalnya dari imam-imam Muhaddits yang mu’tabar (kredibel).

Karena itu, tidak jarang Syaikh Al-Albani pun mendapat kritikan atau masukan misalnya bahwa seringkali ia menilai shahih sebuah hadis, dari sisi sanadnya saja, tidak mengkaji lebih detail terkait illat atau cacat yang tersembunyi baik dalam redaksi ataupun jejaring sanadnya. Karena ia sendiri bukan hafidz hadits apalagi memiliki sanad hafalan hadits yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Di sisi lain, Syaikh Al-Albani juga dianggap terlampau ekstrem menjatuhkan vonis dha’if (lemah) atas sejumlah hadits. Misalnya saja, menolak sama sekali riwayat perawi yang divonis manipulatif terhadap riwayat tadlis atau riwayat yang terputus munqathi’sekalipun. Padahal ternyata ada indikator penguat hadits tersebut yang tidak terungkap dalam kajian Al-Albani.

Sehingga deretan indikator itupun oleh para ulama sebelumnya dijadikan acuan untuk menolelir riwayat-riwayat bermasalah tadi. Namun, dalam konteks ini, Syaikh Ath-Tharifi menganggap apa yang dilakukan oleh Syaikh Al-Albani tidak lebih dari ijtihad, yang berpotensi benar atau salah. ”Jadi dia tidak berbuat bid’ah,” kata Syaikh Ath-Tharifi.

Menanggapi itu, Syaikh Al-Albani dengan ketawadhuannya mengakui, bahwa dirinya sendiri bukanlah hafidz hadits apalagi memiliki sanad muttashil (tersambung) sampai ke Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia hanyalah melakukan kajian-kajian ilmiah atas hadits-hadits yang ia pelajari.

Namun demikian, ulama terkemuka lainnya pada abad kini pula dari Arab Saudi, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz (wafat 1999) mengatakan pandangannya, bahwa Syaikh Muhammad Nashiruddin termasuk orang yang terbaik.

“Beliau adalah di antara ulama yang dikenal dengan keistiqamahan, aqidah yang baik dan kesungguhan di dalam memferifikasi hadits-hadits, dan memang beliau adalah rujukan dalam bab ini,” ujar Syaikh Bin Baz.

Namun menurutnya, Al-Albani seperti juga dirinya tidaklah maksum. Terkadang terdapat juga kesalahan dalam menshahihkan sebagian hadits atau mendha’ifkannya, sebagaimana hal ini terjadi juga pada para ulama yang lain. Setiap orang yang berilmu seperti itu, memiliki kesalahan, baik ulama yang telah lalu atau yang masa kini.

Maka, yang dituntut dari pada penuntut ilmu adalah mereka bisa meneliti hadits-hadits yang dishahihkan, dihasankan atau didha’ifkan oleh Al Albani, jika ia termasuk ahli ilmu di dalam bidang ini. Yaitu jika ia mengenal hadis, meneliti jalur-jalurnya dan perawi-perawinya.

“Jika nampak keshahihan hukum yang dinyatakan oleh Syaikh Al Albani, Alhamdulillah. Namun jika tidak, maka kita bersandar kepada hukum yang nampak lebih kuat berdasarkan argumentasi-argumentasi yang dipakai oleh para ulama dalam bab ini. Kerena para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah dalam masalah tash-hih (penshahihan) dan tadh’if (pendhaifan) hadits,” pernyataan Bin Baz semasa hidupnya.

Sebagai ulama yang juga ahli hadits, aqidah, fiqih dan lainnya, Bin Baz tetap juga dengan tawadhu mentakakan bahwa orang seperti Syaikh Al-Albani adalah referensi yang kredibel dalam tashhih dan tadh’if, karena beliau termasuk ulama dan pakar di bidang ini. Beliau telah mempelajarinya dalam waktu yang sangat panjang dan bertahun-tahun lamanya.

Yang tidak boleh tentu mendewakannya sehingga seolah apa yang disimpulkan oleh Al-Albani sepenuhnya benar. Tetapi paling tidak shahih menurut Al-Albani, sama juga seperti Shahih Menurut Imam Bukhari atau Muslim.

Wafatnya Syaikh Al-Albani

Syaikh Al-Albani wafat pada hari Jum’at malam Sabtu tanggal 21 Jumadits Tsani 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Amman, Jordania.

Penyelenggaraan jenazah beliau pun dilakukan menurut sunnah dan dihadiri ribuan penuntut ilmu, murid-murid beliau, dan kaum Muslimin dari berbagai tempat sekitarnya.

Jenazah beliau dimakamkan di perkuburan sederhana di pinggir jalan sesuai yang beliau minta.

Sebelum wafatnya, Syaikh Al-Albani juga berwasiat agar seluruh isi perpustakaan miliknya, baik yang sudah dicetak, masih dalam tulisan beliau atau tulisan selain beliau agar diwakafkan untuk Perpustakaan Al-jami’ah A-Islamiyah Al-Madinah Al-Munawwarah. Karena di tempat itulah beliau memiliki kenangan dalam belajar dan mendakwahkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, saat menjadi tenaga pengajar hadis di sana.

Ulama terkemuka Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah mengatakan, “Beliau Syaikh Al-Albani adalah alim yang memilki ilmu sangat luas dalam bidang hadits, baik dari sisi riwayat maupun dirayat, seorang ulama yang memilki penelitian yang dalam dan hujjah yang kuat.”

Umat Islam saat ini dan seterusnya tentu patut berterima kasih atas keilmuan Syaikh Al-Albani, tokoh Muslim asal Albania, Eropa, yang dengan kecintaannya mempelajari, menulis dan mendakwahkan ilmu-lmu hadits kepada umat.

Syaikh Al-Albani telah banyak memberikan pencerahan soal hadits-hadits yang merupakan salah satu rujukan sumber hukum Islam di samping kitab suci Al-Quran. Karena itu, berbicara tentang ilmu hadits, umat Islam tidak akan melupakan jasa Syaikh Al-Albani, terlepas dari segala kekurangannya sebagai manusia biasa. Berbagai sumber. (P4/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Feature
Indonesia
Sosok
Sosok