Nestapa Rohingya dan Sikap Pemerintah Myanmar

Petugas penjaga perbatasan Bangladesh pada Kamis akhir Agusutus 2017 lalu menemukan sedikitnya  20 mayat warga terdiri atas perempuan dan anak-anak dari sebuah kapal yang terbalik saat mereka berupaya menyelamatkan dari kekerasan di negaranya.

Menurut data dari Lembaga Internasional untuk Migrasi PBB, sedikitnya 27 ribu warga Muslim Rohingya telah menyeberang ke Bangladesh. Citra satelit yang dianalisis oleh Human Rights Watch menunjukkan banyak rumah di negara bagian Rakhine utara terbakar.

Times, media lokal di Rakhine State, mengklaim sebanyak 56 desa Muslim Rohingya telah dibakar oleh militer semenjak kekerasan etnis meletus pada 25 Agustus 2017 lalu. Sementara penduduknya semua melarikan diri ke berbagai tempat yang dirasa aman.

Pejabat Senior dari Badan Pengungsi PBB (UNHCR), John McKissick mengatakan, otoritas Myanmar telah melakukan pembersihan etnis Muslim Rohingya. Militer melakukan pembunuhan terhadap warga Rohingya dan memaksa mereka keluar ke negara tetangganya, Bangladesh.

Direktur Burma Human Rights Network, Kyaw Win mengatakan, Jenderal Min Aung Hlaing adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi di Rohingya sejak November 2016 lalu. Jenderal nomor satu Myanmar itu tak mengakui keberadaan suku Rohingya sebagai bagian dari warga negara Myanmar. Baginya, Rohingya adalah imigran illegal meski mereka telah tinggal turun-temurun di negeri itu.

Aung San Suu Kyi yang dikenal sebagai tokoh demokrasi dan HAM dunia dari Myanmar “bungkam seribu bahasa” menyaksikan pembantaian itu. Perempuan yang oleh pengikut setianya dijuluki The Lady itu tidak bereaksi sedikitpun terhadap pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh militer meskipun ia pernah enam tahun merasakan dinginnya “hotel prodeo” akibat kekejaman militer negaranya.

Mestinya, sebagai pemimpin negara itu, ia bereaksi keras atas kekejaman militer di negaranya. Apakah karena bapaknya Suu Kyi (Jenderal Aung San) yang juga seorang militer menyebabkan ia menjadi lemah terhadap aksi-aksi militer di negaranya?. Ataukah kerena kekuatan pilitik militer masih mendoninasi Myanmar sehingga ia khawatir kehilangan kekuasaannya?. Hanya Suu Kyi yang bisa menjawabnya.

Suu Kyi memegang jabatan-jabata penting seperti Menteri Luar Negeri, Menteri Kantor Presiden, Menteri Tenaga Listrik dan Energi, dan Menteri Pendidikan. Suu Kyi juga menjadi penasihat presiden Htin Kyaw. Namun parlemen saat ini masih dikuasai oleh militer, di bawah Jenderal Senior Min Aung Hlaing yang bisa saja melakukan kudeta jika mau.

Mengapa Rohingya Didiskriminasi

Masalah Rohingya tidak bisa dilepaskan dari persoalan diskriminasi. persekusi atau pemburuan sewenang-wenang yang telah berlangsung puluhan tahun silam. Jika kita menilik sejarah, tahun 1950-an sampai 1960-an, etnis Rohingya diakui sebagai bagian dari Myanmar. Barulah pada 1970-an pemerintah melakukan berbagai operasi militer dan berbagai tindakan diskriminatif untuk membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya.

Pemerintah Myanmar di bawah kekuasaan militer mengklaim, Rohingya tidak memenuhi syarat untuk mendapat hak kewarganegaraan berdasarkan UU yang disusun militer pada 1982. UU itu menyebutkan, warga negara Myanmar haruslah etnis yang secara permanen telah menetap dalam batas-batas modern Myanmar sebelum tahun 1823. Jenderal Ne Win, mantan PM Burma memasukkan 135 etnis yang memenuhi persyaratan, namun tidak memasukkan Rohingya dalam daftar itu.

Puncaknya, etnis Rohingya kemudian diturunkan status menjadi hanya warga sementara (temporary residents). Dari status itu, warga Rohingya kehilangan banyak hak dasar sebagai warga negara, seperti hak mendapat atau memiliki tempat tinggal, pekerjaan, dan kesejahteraan. Kehidupan warga Rohingya pun sangat dibatasi. Mereka dilarang menikah tanpa mengantongi izin resmi. Setelah menikah, mereka tidak diperbolehkan punya anak lebih dari dua orang. Mereka juga tidak berhak memiliki paspor.

Terakhir, pada 31 Maret 2015, pemerintah Myanmar memalui komando Presiden Thein Sein menarik “kartu putih” yang merupakan satu-satunya kartu identitas resmi etnis Rohingya. Kartu putih adalah kartu identitas bagi warga negara asing, tapi punya hak untuk mengikuti pemilu. Setelah kartu putih itu ditarik, berarti Rohingya sudah tidak memiliki bukti apapun sebagai bagian dari penduduk Myanmar.

Kartu putih pertama kali diluncurkan pada 1990-an oleh rezim militer. Pada waktu itu, pemerintah mengganti kartu identitas perserikatan Myanmar (union of Myanmar identity card) dengan kartu registrasi nasional (national registration cards). Beberapa etnis yang tidak diakui pemerintah diberikan kartu putih meski sebelumnya mereka memegang kartu identitas perserikatan Myanmar.

Direktur Jaringan Hak Asasi Manusia Burma (BHRN) Kyaw Win mengatakan, Sejak tahun 1962, pemerintah Myanmar dijalankan oleh orang orang yang sentimen, anti-Muslim di kalangan penduduk Budha di Myanmar. Militer telah berhasil membingkai Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh meskipun beberapa bukti telah jelas menyatakan bahwa mereka ada sejak beberapa abad di negara bagian Rakhine.

Tentara juga telah berhasil mencuci otak para masyarakat setempat bahwa Rohingya dan adalah ancaman bagi Buddhisme. Sejak masyarakat percaya akan tuduhan yang tidak berdasar tersebut, itu membuat lebih mudah bagi tentara menargetkan orang-orang Rohingya. Jadi, tentara dengan mudah mendapatkan dukungan publik untuk menargetkan Rohingya. Sayangnya, itu menjadi pekerjaan rumah yang baik untuk tentara.

Sementara itu, jika kita melongok pernyataan dari biksu Ahsin Wirathu, mengapa dia sangat membenci Islam hingga mengampanyekan aksi 969 untuk membantai seluruh warga Rohingya di Myanmar.

“Anda bisa berikan kebaikan dan rasa kasih, tetapi Anda tidak bisa tidur di samping anjing gila,” kata Wirathu seperti dikutip The New York Times, 21 Juni 2013. Yang dimaksud “anjing gila” oleh Wirathu adalah Muslim Rohingya.

Ashin juga rutin menyebarkan rumor-rumor melalui berbagai media, termasuk DVD dan Internet. Isinya berupa tuduhan menyesatkan, seperti muslim mengincar gadis Myanmar lugu untuk diperkosa. Dari tindakan itu, majalah Time edisi Juli 2013 menyebutnya sebagai “Wajah Teror Buddha” yang kemudian majalah itu dilarang beredar di Myanmar.

Catatan hitam Wirathu mencuat sejak tahun 2001. Waktu itu ia menghasut kaum Budha untuk membenci muslim. Hasilnya, kerusuhan anti-Muslim pecah pada tahun 2003. Wirathu sempat mendekam di penjara. Namun ia dibebaskan tepatnya pada tahun 2010 atas amnesti-amnesti yang juga diberikan untuk ratusan tahanan politik.

Padahal dalam teorinya, agama Budha mengajarkan kedamaian dan kasih sayang. Kasih sayang dalam agama itu disebut Mettã. Mettã adalah rasa persaudaraan, persahabatan, pengorbanan, yang mendorong kemauan baik, memandang makhluk lain sama dengan dirinya sendiri (Dhammasugiri, 2004: 21). MettÄ adalah satu-satunya jawaban efektif bagi kekerasan dan penghancuran, baik dari senjata konvensional maupun peluru nuklir (Bogoda, 2003: 70). Seperti yang dialami Buddha sendiri ketika sedang bermeditasi kemudian diganggu oleh mara, dengan kekuatan cinta kasih panah dan lautan api tidak bisa melukai Buddha. Berdasarkan  AÅ„guttara Nikāya (Hare, 2001: 103) manfaat dari mengembangkan cinta kasih adalah tidak ada api, racun, maupun pedang yang dapat melukainya. Prinsip dari cinta kasih adalah tidak menyakiti, bebas dari rasa benci, dan permusuhan.

Rohingya Seharusnya Warga Negara Myanmar

Mengenai klaim pemerintah Myanmar bahwa warga Rohingya bukan merupakan penduduk asli yang mendiami wilayah itu sejak 1823, sebuah sumber sejarah yang menyebutkan, Pada 1799, seorang ahli bedah, Francis Buchanan dari perusahaan British East India berpergian ke Myanmar dan bertemu dengan warga Muslim yang telah lama menetap di Rakhine. Mereka menyebut dirinya sebagai Rooinga atau penduduk asli Arakan. Ini menandai bahwa warga muslim Rohingya sudah hidup di Rakhine setidaknya 25 tahun sebelum 1823.

Sumber lain juga menyebutkan, ketika masa kerajaan Mrauk-U (1430-1784) yang beragama Budha sangat menghormati umat muslim Rohingya dan bahkan mereka melakukan banyak hubungan kerja sama perdagangan dan sosial budaya.

Francis Buchanan menyebut, istilah Rohingya ini hanya ada di Rakhine bagian Myanmar. Saat dilakukan penelitian pada orang dari Rakhine bagian Bangladesh, disana tidak dikenal istilah Rohingya.

Istilah Rohingya mulai muncul setelah berakhirnya Perang Dunia II saat Burma menjadi negara merdeka pada 1948. Bengalis yang tinggal di wilayah Butheetaung dan Maungdaw di Rakhine Utara, mulai mempopulerkan istilah Rohingya. Istilah ini dimuat dalam sebuah artikel “The Sudeteen Muslims” pada 20 Agusutus 1951 di harian Guardian Daily.

Pemenrintah Myanmar pada 1948-1962 mengakui Rohingya sebagai warga negara. Perdana Menteri U Nu menyebut kelompok Muslim Rakhine dengan istilah Rohingya. Kepada orang Rohingya, Pemerintah Myanmar saat itu memberikan kartu tanda penduduk dan dokumen legal, memberi hak kewarganegaraan, bahkan beberapa program siaran radio mengudara dalam bahasa orang Rohingya.

Peneliti London School of Economics, Maung Zarni bahkan, mengunggah beberapa dokumen bahasa Burma yang menunjukkan pengakuan Pemerintah Burma atas etnis Rohingya selama dipimpin Perdana Menteri U Nu dan era awal masa kepemimpinan Jenderal Ne Win. Termasuk di dalamnya adalah pernyataan masyarakat, bukti siaran radio resmi, buku yang dicetak lembaga resmi pemerintah, dan aneka izin yang resmi diterbitkan pemerintah.

Beberapa anggota parlemen Myanmar pascakemerdekaan secara terbuka menyebut diri mereka orang Rohingya. Mereka menolak memasukkan kawasan permukiman Rohingya ke dalam Negara Bagian Arakan. Karena itu, pada 1961,U Nu memutuskan untuk membagi Buthidaung, Maungdaw, dan separuh Rathedaung yang didiami warga Rohingya menjadi wilayah administrasi bernama Mayu Frontier Administration yang terpisah dari mayoritas Buddha di Arakan.(A/P2/B05)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.