NU Minta RI Tak Lembek, Meski China Investor Terbesar Ketiga

Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj dan Jajarannya (foto: istimewa)

Jakarta, MINA – Nahdlatul Ulama () meminta Pemerintah RI tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi, meski China investor terbesar ketiga di Indonesia.

“Keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun,” kata pernyataan NU dalam siaran pers, Senin (6/1).

Oleh karena itu, dalam jangka panjang, NU meminta Pemerintah RI untuk mengarusutamakan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik.

Kedudukan laut juga amat strategis sebagai basis pertahanan. Karena itu pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Selatan China, tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan.

Ke tidak sunguhan Pemerintah dalam melaksanakan konsep pembangunan ber-paradigma maritim, termasuk dalam geopolitik, ekonomi, dan pertahanan, akan membuat Indonesia kehilangan 75 persen potensinya untuk maju dan sejahtera dan memimpin dunia sebagai bangsa bahari seperti amanat founding fathers.

Dalam pandangan NU sebagaimana dinyatakan oleh pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari, hukum membela keutuhan tanah air adalah fardhu ‘ain (wajib bagi setiap orang Islam). Dan barang siapa mati demi tanah airnya, maka ia mati syahid.

NU juga mendesak pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention for the Law of the Sea1982 (UNCLOS).

Kepulauan masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994, karena itu tindakan Coast Guard RRT mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima.

Pemerintah RRT secara sepihak mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam nine dash line (sembilan garis putus-putus) pertama kali pada peta 1947.

Klaim tersebut menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut Selatan China yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan Tiongkok dan menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam.

Tindakan Beijing menolak keputusan tersebut merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap norma dan konvensi internasional yang diakui secara sah oleh masyarakat dunia.

Karena itu, NU mendukung sikap tegas Pemerintah RI terhadap China, dalam hal ini yang telah dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dan Bakamla, termasuk untuk mengusir dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan aktivitas ilegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di seluruh perairan RI sebagai manifestasi dari ’Archipelagic State Principle’ yang dimandatkan oleh Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. (R/Sj/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)