Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

NUZULUL QURAN, KESHALIHAN INDIVIDU DAN SOSIAL

Admin - Rabu, 16 Juli 2014 - 16:45 WIB

Rabu, 16 Juli 2014 - 16:45 WIB

1373 Views ㅤ

Ahmad Soleh. (Dok MINA)

ahmad sholehOleh  : Ahmad Soleh,

Da’i Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dan Lembaga Bimbingan Ibadah dan Penyuluhan Islam (LBIPI)

Masyarakat Arab pra Nuzul Al-Qur’an

Sebelum Al-Qur’an diturunkan, bangsa Arab diliputi kebodohan dan kehinaan. Mereka tidak mengetahui cara ibadah kepada Allah yang benar, tidak pula mengenal jalan hidup yang harus ditempuh. Benar dan salah, baik dan buruk bercampur aduk. Sulit sekali mengambil sisa-sisa kejernihan milah (agama) Ibrahim.

Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam

Agama berhala (paganisme) menjadi pemandangan di seluruh bumi Arab. Latta, Uzza dan Manat menjadi tiga serangkai yang disembah. Ditambah tuhan-tuhan lain yang dibuat di rumah mereka.

Anak perempuan merupakan simbol kelemahan keluarga dan aib memalukan, sehingga tidak layak hidup, menikmati perlindungan dan kasih sayang keluarga. Karena mereka tidak dapat diharapkan untuk membantu peperangan dan memperkuat kabilah. Maka membunuh mereka hidup-hidup adalah suatu keniscayaan pada saat itu.

Perbudakan menjadi hal biasa disamping perzinahan yang merata. Yang kaya dan berkedudukan menjadi ‘tuhan’ yang harus dilayani. Berbeda kehidupan bangsawan dan perlakuannya terhadap para budak. Apa yang dinikmati bangsawan ‘haram’ dinikmati oleh kaum terjajah, bahkan kaum budak tak boleh beragama apalagi mengamalkannya.

Sementara, pernikahan menjadi barang langka dalam pergaulan lelaki dan perempuan. Kalaupun itu ada, diadakan setelah sang ‘istri’ melahirkan anak, yang sesungguhnya tidak diketahui persis siapa bapaknya. Suara dukun merupakan ketetapan mutlak dalam memutuskan siapa yang menjadi bapak dari anak yang dilahirkan itu.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal

Minuman yang dapat menghilangkan kesadaran tersebar dan merupakan hal yang wajib tersaji dalam berbagai pertemuan atau kesendirian. Perjudian yang merupakan permainan yang dapat menguras harta, fikiran, menyebabkan malas bekerja dan mengakibatkan kriminalitas di rumah tangga dan masyarakat pun menghiasi sudut-sudut kota.

Itulah gambaran bangsa hina yang tidak salah jika dikatakan wajar untuk diinjak-injak peradaban karena mereka kaum jahiliyah.

Tujuan Nuzul Al-Qur’an

Secara sosiologis, orang yang hidup sebatang kara (yatim), fakir dan miskin (papa) cenderung tidak diperhatikan saat ia memiliki gagasan dan menyampaikannya pada khalayak. Jika ingin pembicaraannya didengar khalayak maka ia harus memiliki daya tarik lain yang mampu mengalahkan statusnya yang yatim dan papa itu.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Muhammad saat diangkat menjadi Nabi yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Ilahi, berstatus tidak memiliki ayah dan ibu tempat mengadu (yatiiman) dan papa (‘ãilan). Allah menyatakan dalam Al-Qur’an:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى

“Bukankah Dia mendapatimu seorang yatim kemudian Dia melindungimu?” (Adh-Dhuha [93]: 6.

Sementara ayat lain menyatakan:

وَوَجَدَكَ عَائِلا فَأَغْنَى

“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan (papa), lalu Dia memberikan kecukupan kaya).” (Adh-Dhuha [93]: 8).

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Namun kemudian Allah SWT memberinya modal kepada Nabi Muhammad saw untuk dapat mengemban amanah kenabian tersebut, yaitu akhlak mulia (morality) dan membimbingnya dengan wahyu. Allah berkalam:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Al-Qalam [68]: 4).

Dengan pergaulannya yang menarik, sikap dan sopan santunnya yang mengagumkan, kepiawaiannya dalam menemukan solusi bagi problema-problema yang dihadapi kaumnya, singkatnya dengan akhlak yang dimilikinya, justru bangsa Arab pada saat itu memberikan honoris causa (gelar kehormatan) kepada Muhammad yaitu al-Amin, orang yang dipercaya.

Kemudian Allah pun memberikan modal lain berupa wahyu-Nya kepada Nabi. Iqro’, bacalah, demikian wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad di gua Hiro. Apa yang harus dibaca? Ayat itu tidak menjelaskan objek apa (maf’ul) yang harus dibaca. Kalau begitu, apa saja dapat dibaca selama “atas nama Tuhanmu Yang telah menciptakan”, baik ayat Tuhan yang tertulis (Qur’aniah/kalamiah) maupun ayat tidak tertulis yang ada di alam raya (kauniyah). Sementara pakar Al-Qur’an menyatakan bahwa ayat ini diturunkan pada bulan Ramadhan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Jika pendekatan filosofis etimologis yang digunakan terhadap kata ‘ramadhan’ yang berarti proses pembakaran (burning process), dapat dipahami bahwa Al-Qur’an yang diturunkan di bulan Ramadhan ini, bertujuan agar umat yang tadinya hina, bodoh, pantas diinjak-injak berubah menjadi umat yang terhormat, memiliki harga diri serta berperadaban tinggi. Ibarat tanah liat yang biasa diinjak-injak dan tidak begitu mahal jika dijual, berubah hingga menduduki tempat tinggi dan berharga pantas setelah melaui proses pembakaran, karena kini ia bukan tanah liat lagi tapi sudah berubah menjadi genteng.

Kesalehan Individu dan Sosial

Nabi Muhammad diutus dengan membawa petunjuk (Al-Qur’an) dan aturan hidup yang benar (Islam) untuk ditampakkannya atas berbagai aturan hidup yang hina. Allah swt. berkalam,

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (At-Taubah [9]: 33).

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Dengan keduanya, Nabi diperintahkan untuk membersihkan dan menyucikan karat-karat dosa yang telah melekat pada jiwa tiap individu manusia. Allah menegaskan,

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاَ مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Al-Jumu’ah [62] : 2).

Selain itu juga Al-Qur’an diturunkan agar pengikutnya peduli dan sensitif terhadap masalah-masalah di sekitar dirinya, bukan hanya untuk umat Islam, bahkan untuk kehidupan manusia dan alam lainnya. Seseorang dinyatakan mendustakan agama dan hari pembalasan, walau ia telah menduduki maqam soleh pribadi, namun tidak peduli kepada orang lain (soleh sosial).

Hasilnya dapat kita baca bagaimana lulusan-lulusan Universitas Al-Qur’an zaman Nabi saw seperti Abu Bakar yang dikenal kebenarannya, Ash-Shidiq, Umar bin Al-Khaththab yang dikenal dengan kemampuannya memisahkan antara haq dan batil sehingga digelari Al-Faruq. Juga, Abdurrahman Ad-Dausi begitu peduli kepada binatang piaraannya, kucing, sehingga dikenal dengan nama Abu Hurairah, bapak kucing.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Al-Aqsa dan Gaza Tertindas

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya telah kami sediakan untuk jahannam kebanyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati (tetapi) tidak mereka gunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai”.  (Al-A’raf [7]: 179).

Mari kita lihat ayat di sekitar tentang sikap dan sifat binatang ternak, kambing misalnya. Akan kita dapati tukang sate yang memiliki beberapa ekor kambing, dengan gesit mempersiapkan sate jualannya. Sementara kambing-kambingnya itu diberinya rumput, sebagai makanannya. Namun, saat daging sate yang sudah disiapkan terjual habis atau tersisa sedikit, si tukang sate akan mengambil satu ekor kambing dan menyembelihnya di hadapan teman-teman kambing tersebut. Apa yang dilakukan kambing-kambing lain saat temannya digorok? Minta tolongkah atau berusaha menolong untuk membebaskan dari gorokan si tukang sate? Sudah barang tentu tidak, jawabannya. Itulah kambing, binatang ternak.

Jika Al-Aqsa dikotori Zionis Yahudi dan Gaza dibombardir tentara-tentara Israel seperti saat ini, kita hanya berpangku tangan dan tidak peduli, bisa jadi ayat ke 179 surat Al-A’raf itu Allah maksudkan bukan kepada orang lain tapi justru kepada kita. Na’udzubillahi min dzalik.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Oleh sebab itu mari kita satukan langkah, rapatkan barisan dan susun kekuatan apa saja yang dapat ditata untuk membebaskan masjid Al-Aqsa dan saudara kita, seaqidah dan sekemanusiaan. Allahu Akbar….. Laa Haula wa Laa Quwwata illa billah. (EO2/R1).

Mi’raj Islamic News Agency (MINA) – www.mirajnews.com

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Rekomendasi untuk Anda

Khutbah Jumat
Tausiyah
Indonesia