Di suatu siang, di musim panas yang terik pada pertengahan Juli, Ahmed Al-Sayis (35) dari lingkungan Al-Zaytoon, Gaza, Palestina, memutuskan membawa keempat putrinya dan seorang anak lelakinya yang berusia lima tahun bernama Mohammed, pergi ke pantai Sheikh Ejlin di sebelah barat kota, untuk mendapatkan suasana yang lebih dingin.
Temperatur mendekati 40 derajat celcius, sementara kipas listrik mati karena pemadaman.
Saat matahari membakar di atas Gaza yang berbatasan dengan gurun pasir, pantai seolah-olah menjadi satu-satunya tempat pelarian.
“Semester sekolah baru sudah dekat dan panasnya tak tertahankan. Anak-anak butuh nafas sehingga kami mencoba ke tempat yang bersih untuk berenang dan mendinginkan diri,” kata Al-Sayis.
Baca Juga: Al-Qassam Hancurkan Pengangkut Pasukan Israel di Jabalia
Segalanya tampak baik saat keluarga itu pulang ke rumah. Namun, di malam harinya, Mohammed mulai menunjukkan gejala sakit. Balita itu muntah beberapa kali. Keesokan paginya, dia tidak responsif dan demamnya melonjak. Al-Sayis yang bekerja sebagai sopir taksi itu segera membawa anaknya ke rumah sakit.
Tak lama kemudian, Mohammed mengalami koma. Dia ditempatkan dalam perawatan intensif. Tiga hari kemudian, ia dipindahkan ke rumah sakit tersier Al-Rantisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Di sana, dokter mengumpulkan semua sumber daya mereka untuk menyelamatkan nyawa anak tersebut. Namun, meski mendapat antibiotik dan perawatan terbaik, kesehatan Mohammed terus memburuk.
Kehabisan waktu dan pilihan, para dokter meminta rujukan mendesak ke rumah sakit di luar Gaza. Al-Sayis buru-buru mencoba mendapatkan persetujuan yang diperlukan untuk rujukan tersebut.
Baca Juga: Zionis Israel Serang Pelabuhan Al-Bayda dan Latakia, Suriah
Selama sepekan lamanya Al-Sayis berusaha mendapatkan persetujuan yang diperlukan dari Kementerian Kesehatan di Ramallah, Tepi Barat. Namun, persetujuan tersebut tidak pernah diberikan.
Mohammed meninggal pada tanggal 29 Juli 2017. Surat kematiannya mengutip diagnosis Ekiri Syndrome, ensefalopati toksin mematikan yang menyebabkan terjadinya infeksi yang cepat.
Dokter memberi tahu keluarga Al-Sayis bahwa Mohammed kemungkinan terkena serangga saat berenang di air laut yang tercemar.
Berjalan-jalan di pesisir Gaza, manusia akan mencium bau busuk yang tak terhindarkan dan mencolok. Warna biru keemasan Laut Mediterania telah berubah menjadi cokelat di beberapa sisi.
Baca Juga: Majelis Umum PBB akan Beri Suara untuk Gencatan Senjata ‘Tanpa Syarat’ di Gaza
Polusi bukanlah hal baru. Masalah ini diperburuk oleh infrastruktur yang rusak selama perang 2014 di Gaza. Tingginya permintaan akan listrik di musim panas juga membuat polusi secara signifikan memburuk.
Saat pasokan listrik menyusut, pemerintah kota Gaza terpaksa menutup lima fasilitas pengolahan limbah di Jalur Gaza pada bulan April dan malah membuang jutaan liter limbah mentah ke Laut Tengah.
Pencemaran yang dihasilkan sangat buruk, bahkan pantai-pantai di Israel selatan pun ditutup.
Sami Hussein Lubbad, Manajer Dinas Kesehatan Lingkungan di Kementerian Kesehatan Gaza, mengatakan, rumah sakit telah menerima puluhan kasus infeksi yang didapat dari berenang di perairan yang tercemar.
Baca Juga: Sudah 66 Hari Israel Blokir Bantuan Kemanusiaan ke Gaza Utara
Kasus bervariasi antara diare, infeksi kulit, infeksi saluran pernapasan serta infeksi mata dan telinga. Sebagian besar kasusnya adalah anak-anak.
Sebuah survei yang dilakukan pada bulan Agustus oleh Kementerian Kesehatan dan Otoritas Lingkungan Gaza menemukan bahwa 63 persen dari garis pantai Gaza sepanjang 40 kilometer sangat tercemar dengan limbah, secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan survei sebelumnya di bulan Mei 2017 ketika 50 persen garis pantai tercemar.
Lebih dari 110.000 meter kubik limbah dibuang setiap hari ke laut, yang secara efektif mengubah pantai menjadi berbahaya.
Otoritas Lingkungan Kementerian Kesehatan Gaza, selalu menerbitkan survei bulanan yang menggambarkan daerah yang paling parah tercemar dan harus dihindari oleh manusia.
Baca Juga: Smotrich: Israel Tolak Normalisasi dengan Saudi jika Harus Ada Negara Palestina
Abdelraouf Al-Manama, profesor mikrobiologi di Universitas Islam Gaza, mengatakan bahwa bahkan pasir di pantai pun tercemar.
Meski demikian, laut tetap adalah satu-satunya pelarian yang tersisa bagi dua juta penduduk Gaza yang terkepung.
Ali Yousef, ayah dari tiga orang anak, mengalami cobaan yang serupa dengan kasus Ahmed Al-Sayis. Anak-anaknya dirawat di rumah sakit selama sepekan setelah mengalami radang pada lambung dan usus setelah berenang di laut utara kota Gaza.
Yousef sekarang bertekad untuk berhenti piknik ke kolam renang pribadi.
Baca Juga: Hamas Kutuk Agresi Penjajah Israel terhadap Suriah
Pada tahun 2012, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan bahwa jika tidak ada yang dilakukan untuk meredakan blokade Israel, Jalur Gaza mungkin bukan tempat yang dapat ditinggali pada tahun 2020.
Save the Children, sebuah LSM internasional yang fokus kepada hak anak-anak, mengatakan bahwa Jalur Gaza telah menjadi tempat yang tidak dapat dipercaya untuk anak-anak.
Organisasi tersebut meminta pemerintah Israel untuk segera mencabut blokade Gaza. Sementara itu, bobot blokade dekade ini terus menghancurkan aspek kehidupan penduduk di Gaza. (A/RI-1/P1)
Sumber: tulisan Belal Dabour dan Ahmed Abdelal di Al Jazeera
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Mi’raj News Agency (MINA)