Paranoida Cina terhadap Islam

New York, MINA – The Economist, sebuah majalah online tentang bisnis, politik dan sain, berbasis di New York, menyebutkan dalam artikelnya pada edisi 17 Januari tentang “ terhadap ”.

Dalam ulasannya dikatakan, sangat memalukan bahwa begitu sedikit orang Cina yang mengingat , seorang ahli taktik yang brilian dalam perang melawan Jepang pada 1937-1945.

Dia adalah seorang jenderal Muslim yang menunjukkan kepada Cina bahwa ia adalah seorang patriot bagi negaranya.

Bai adalah sosok yang rumit. Seorang panglima perang yang mampu bersikap keras, tapi sekaligus ia juga seorang reformis yang menginginkan pendidikan untuk membebaskan sesama Muslim Cina dari isolasi dan kemiskinan.

Ia adalah seorang komandan pasukan Kuomintang (nasionalis) Cina.

Ketika wisatawan berkunjung ke kota Chaguan, provinsi Guangxi bagian selatan, asal Bai, penduduk setempat pasti memuji kemenangannya atas Jepang.

Rumah keluarga Bai adalah situs bersejarah yang dilindungi. Dindingnya yang kokoh dan berdinding abu-abu, terletak di tengah sawah dengan puncak batu kapur.

Interiornya memang tidak banyak, dan tidak memberikan penjelasan tentang Bai.

Namun yang jelas, Jenderal Bai pernah menjadi salah satu Muslim Cina yang paling terkenal di bawah pemerintahan Nasionalis otokratis Chiang Kai-she.

Saat itu, Bai menjadi kepala sebuah badan yang mewakili minoritas Hui, sebuah kelompok beraneka ragam sekitar 10 juta orang Cina yang dipersatukan oleh keyakinan Muslim mereka.

Seringkali tidak dapat dibedakan dari mayoritas etnis Han di Cina, leluhur mereka termasuk pedagang Persia dan Asia Tengah yang dikirim oleh penguasa Mongol abad ke-13.

Badan yang dipimpin oleh Bai, Federasi Keselamatan Nasional Islam Cina, merekrut pasukan Muslim untuk perang melawan tentara Jepang.

Ia pun mendukung sekolah-sekolah Muslim dan skema kerja bagi para pengungsi.

Bai juga mendorong delegasi Hui untuk berkeliling ke dunia Muslim, mencari dukungan diplomatik untuk upaya perang Cina.

Jenderal yang meninggal di Taiwan pada tahun 1966, kini mengingatkan pemerintah Cina atas tindakan represifnya terhadap warga Muslim.

Cina sedang menyusun rencana lima tahun untuk “mendeskriditkan” Islam, seolah-olah agama itu telah tercemar oleh hubungan dengan dunia luar.

Dalam beberapa bulan terakhir, komunitas Hui dari Ningxia dan Gansu di barat laut hingga Yunnan di selatan, telah melihat sekolah-sekolah swasta berbahasa Arab ditutup, masjid-masjid digerebek karena menyediakan “pendidikan agama ilegal” dan kubah gaya Islam dirobohkan dari bangunan.

Seorang pejabat negeri berganti nama menjadi Aiyi di Ningxia, sebuah wilayah yang dihuni sekitar 2 juta Hui, karena namanya bernama “berbahasa Arab”.

Pada bulan Desember, media Cina melaporkan bahwa Gansu dan enam daerah lainnya menghapus standar lokal untuk makanan halal, atas nama memerangi ekstremisme dan pengaruh asing.

Langkah-langkah semacam itu membangkitkan pemikiran tentang penindasan di wilayah Xinjiang yang jauh di barat daya, di mana sebanyak satu juta Muslim dari minoritas Uighur telah dikirim ke kamp-kamp “pendidikan ulang”.

Pejabat Ningxia baru-baru ini melakukan tur ke Xinjiang, dan berjanji untuk belajar dari “praktik yang baik”.

Hui telah menghadapi kecurigaan akan ketidaksetiaan sebelumnya.

Pada 1280 seorang kaisar Mongol dari Cina, Kublai Khan, melarang makanan halal dan kebiasaan Islam lainnya, konon ia marah karena pedagang Muslim menolak jamuan yang ia tawarkan kepada mereka.

Dalam esai di Museum Rubin di New York, Prof Johan Elverskog dari Southern Methodist University menggambarkan kepanikan yang mencengkeram dinasti Qing pada 1760-an.

Di tengah laporan bahwa kelompok garis keras Islam yang berpendidikan Arab menimbulkan masalah, pejabat setempat diberitahu untuk melaporkan semua kesalahan umat Islam.

Undang-undang baru menganggap tiga atau lebih Muslim yang ditemukan dengan senjata apa pun sebagai penjahat.

“Seperti yang diduga, para pejabat membanjiri pengadilan Qing dengan laporan-laporan tentang Muslim yang berbahaya, mendorong hukum yang masih lebih keras dan radikalisasi Hui yang lebih jauh,” ujar Prof Elverskog.

Mehurutnya, justru ini kelak pada waktunya, pemberontakan akan terjadi.

Para elit Hui sendiri sebenarnya sudah merancang versi Islam mereka, dengan mengadvokasi kesetiaan politik kepada para penguasa Tiongkok bersamaan dengan kesetiaan abadi kepada Allah.

Mengiringi satu zaman kerja sama, sekitar 400 tahun yang lalu, saat menghasilkan “Kitab Han”, berisi teks-teks yang mendamaikan Konfusianisme dan Islam.

Dalam kitab kuno itu dikatakan, mengajar umat Islam untuk mematuhi setiap kaisar yang menjunjung tinggi tatanan sosial yang bertujuan untuk kesempurnaan moral.

Berikutnya, pada tahun 1920-an, seorang sarjana reformis Muslim, Wang Jingzhai, mempromosikan ungkapan “aiguo aijiao” yang artinya “mencintai negara kita adalah sama dengan mencintai iman kita”.

Ungapan itu menggantung di masjid-masjid Cina.

Ekspresi itu memiliki jiwa khas patriotik dan Islami, dan itu sesuai dengan pesan dari Nabi Muhammad, Wang menjelaskan.

Kehilangan Hati dan Pikiran

Jika kepahlawanan Jenderal Bai Chongxi sebagian besar dilupakan, adalah itu memilukan, mengingat saksi sejarah tempat-tempat di sana tahu namanya.

Kerabat Bai masih tinggal di desa-desa di dekat kota Guilin.

Beberapa dari mereka bahkan menyiapkan ternak untuk disajikan menjelang tahun baru Cina.

Sayangnya, bahkan pertanyaan ringan tentang apakah mereka menimbulkan keresahan?

“Kami sangat senang dan tidak ada diskriminasi etnis,” kata warga, berbicara tentang jasa Jenderal Bai.

Di desa terdekat, Jiu, ada sebuah masjid berusia satu abad.

Wang Yisehakai, imam masjid itu mengatakan dengan lembut memuji Jenderal Bai sebagai seorang pria saleh yang taat beribadah dalam ganasnya pertempuran.

Dia menambahkan, “Hal terpenting tentang Bai adalah dia selalu merawat orang tuanya.”

Ditanya tentang politik, Wang mengatakan bahwa penyakit satu-satunya di komunitasnya berasal dari kepercayaan antar sesama yang hilang.

Dia menunjukkan, puluhan manula Hui shalat Jumat setiap sepekan di masjidnya, yang terlihat seperti kuil Cina dengan halaman penuh pohon dan atap melengkung.

Di rumah keluarga Bai, seseorang, yang bermarga Zhou, memuji keyakinan kuat Jenderal Bai, tentang hubungan antara Islam dan patriotisme.

“Kita ditempatkan di bumi untuk diuji imannya kepada Allah. Kami sama sekali tidak tertarik dengan politik,” katanya.

Visi yang secara historis bodoh tentang Islam Cina, tentu tidak akan menghargai Bai Chongxi, seperti halnya serangan resmi terhadap aturan halal.

Jenderal Bai, menurutnya, itu seorang pragmatis. Selama masa perang dia memang yang mengusulkan untuk menciptakan unit Hui dengan makanan mereka sendiri yang halal, sehingga mereka bisa melanjutkan pertempuran.

Para petinggi komunis tampaknya tidak peduli dengan pendekatan semacam itu. Mereka lebih suka tunduk pada kesetiaan bersama.

Sebuah bangsa yang mulai kehilangan kepercayaan antarseama warga, hati yang tulus dan pikiran yang jernih. (AT/RS2/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)