Pariwisata Berkelanjutan: Dari Rakyat Oleh Rakyat Untuk Rakyat (Oleh: Dr. Ir. H. Hayu S. Prabowo)

Oleh: Dr. Ir. H. Hayu S. Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (Lembaga PLH & SDA MUI)

Dalam dua dasawarsa terakhir, gaya hidup Islam telah berkembang karena produk dan layanan yang sesuai dengan Syariah (misalnya makanan halal, pariwisata Islam, dan keuangan Islam) telah menjadi komponen penting dari ekonomi global.

Kesadaran yang meningkat dan jumlah wisatawan Muslim yang semakin banyak, menjadikan banyak pelaku industri pariwisata telah mulai menawarkan produk dan layanan khusus, dikembangkan dan dirancang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan para wisatawan ini.

Pariwisata merupakan salah satu sektor industri jasa terbesar yang memberikan pendapatan nasional berupa pendapatan valuta asing, peluang kerja dan pembangunan nasional.

Indonesia dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia berpotensi menjadi tujuan utama wisata Muslim dunia. Apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan dengan kekayaan flora dan fauna maupun budaya yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi salah satu tujuan wisata mancanegara.

Motivasi kunjungan wisatawan umumnya karena alam (nature) sebesar 35%, budaya (culture) 60%, dan buatan manusia (manmade) 5%.

Sayangnya posisi Indonesia dalam wisata Muslim masih kalah populer dibanding negara-negara Islam lainnya. Malah Indonesia menjadi target pasar wisata ramah muslim bagi negara-negara muslim dan nonmuslim dunia. Ini terlihat dengan meningkatnya promosi wisata ramah Muslim oleh operator asing ditujukan pada wisatawan Indonesia untuk bepergian ke luar negeri.

Sedangkan Indonesia masih minim paket wisata ramah muslim untuk ditawarkan ke luar negeri sehingga belum banyak menggaet wisatawan Muslim mancanegara berkunjung ke Indonesia. Oleh karenanya perlu dibangun suatu kesatuan pandangan dan aksi nyata yang sinergis oleh seluruh unsur dalam membangun ekosistem pariwisata untuk menumbuhkembangkan industri wisata ramah Muslim Indonesia.

Pariwisata harus dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang membawa manfaat pada kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan kepariwisataan bertumpu pada keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam yang berkelanjutan.

Salah satu kebijakan kementerian pariwisata adalah menerbitkan Permenpar 14/2016 tentang Pedoman Destinasi . Pelaksanaan pariwisata berkelanjutan ini dipandang sangat strategis dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDGs) dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.

Dalam ajaran Islam, hal ini selaras dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi WasallamOrang Mukmin itu bagaikan lebah, jika ia makan sesuatu ia makan yang baik, jika ia mengeluarkan sesuatu ia keluarkan yang baik. Dan jika ia hinggap di ranting yang sudah lapukpun, ranting itu tidak dirusaknya.” (HR. Tirmizi).

Keragaman budaya Indonesia merupakan nilai tambah yang bisa ditawarkan kepada turis domestik dan internasional. Penunjukan 10 destinasi pariwisata prioritas oleh kementerian pariwisata tidak hanya melihat pada sisi potensi keindahan alam, dan eskalasi pertumbuhan ekonomi, namun juga bisa menjadi ajang promosi keanekaragaman sosial, budaya, dan tekad Indonesia dalam mempraktikkan pariwisata berkelanjutan.

Hal yang bisa didapat bukan dari pameran budaya, lingkungan dan pergelaran seni, namun dirasakan dari aktivitas kehidupan masyarakatnya sehari-hari.

Berdasarkan data WEF tahun 2017 peringkat Indonesia pada sektor ketahanan lingkungan (environmental sustainability) terendah di antara negara-negara Asean seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Jelas ini adalah permasalahan yang harus diselesaikan oleh pemerintah Indonesia.

Isu-isu lingkungan seperti deforestasi, pengolahan limbah – terutama plastik, dan perlindungan spesies langka masih menjadi kelemahan Indonesia. Delapan dari sepuluh destinasi pariwisata prioritas adalah daerah wilayah perairan yang sangat rentan tercemar penggunaan kantong kemasan berbahan plastik.

Faktor penting lain yang harus diperhatikan oleh pemerintah yaitu peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan pariwisata. Setiap individu adalah subjek pariwisata yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan pariwisata.

World Economic Forum menempatkan indeks sumber daya manusia Indonesia (64) masih di bawah Singapura (5), Malaysia (22), Vietnam (37), Thailand (40), dan Filipina (50). Tingkat partisipasi pendidikan dasar dan lanjutan dalam mendukung program pariwisata pun masih sangat rendah yaitu berada di peringkat 103 dan 90 dari 134 negara.

Oleh karenanya kebijakan kementerian pariwisata mengenai pariwisata berkelanjutan perlu dikembangkan untuk pelaksanaan bersama dalam meningkatkan industri wisata Indonesia yang berkelanjutan melalui sarana dalam upaya pelestarian alam dengan menggali potensi kekayaan flora dan fauna yang kaya di Indonesia sekaligus melakukan pemberdayaan dan edukasi bagi masyarakat dengan tetap menjaga kebudayaan dan kearifan lokal.

Dalam konteks ini edukasi kepada wisatawanpun mutlak, karena kehadiran wisatawan akan mempengaruhi perilaku masyarakat setempat. Kehadiran wisatawan yang sangat peduli pada lingkungan akan membawa dampak positif bagi masyarakat setempat serta dapat meningkatkan daya tarik tersendiri baik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.

Pola wisata berkelanjutan ini perlu menitikberatkan percepatan wisata berbasis masyarakat melalui peran aktif komunitas dengan mendukung keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha wisata dan segala keuntungan yang diperoleh.

Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak.

Pola wisata berkelanjutan berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola.

Pola wisata ini dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan dari pendapatan atas jasa-jasa wisata dari turis: fee pemandu; ongkos transportasi; menjual kerajinan, homestay untuk sarana akomodasi di lokasi wisata, dan lain-lain.

Pola ini juga akan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkembangkan jati diri dan rasa bangga pada penduduk setempat untuk menjaga budaya serta lingkungannya.

Namun bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha wisata sendiri. Tataran percepatan perlu dilakukan sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di  suatu daerah.

Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, tokoh agama, dan organisasi nonpemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing.(AK/R01/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.