Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pekerja Peradaban

Bahron Ansori - Rabu, 21 Oktober 2015 - 07:37 WIB

Rabu, 21 Oktober 2015 - 07:37 WIB

596 Views

petunjuk 13Oleh Bahron Ansori, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Tahukah Anda, jika di dunia ini hanya ada tiga pekerja peradaban. Ketiga-tiganya mempunyai andil besar dalam perjalanan sejarah hidup manusia. Bahkan, peradaban manusia bisa berubah dari yang biasa-biasa saja menjadi luar biasa. Peran dari ketiga peradaban itu pernah ada dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta para sahabat dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak hanya sampai pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat saja, tapi tiga pekerja peradaban itu terus berlanjut selama umur dunia ini masih ada. Dalam tulisan ini, akan dibahas satu per satu apa dan siapa saja yang disebut sebagai pekerja peradaban itu.

Pertama, Guru

Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman

Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh kemampuan para pendidiknya untuk mengubah karakter generasi penerusnya ke depan. Tanpa figur pendidik, mungkin bangsa besar seperti Indonesia tidak akan dapat menikmati hasil jerih payah putra-putri nusantara yang sudah mendorong perkembangan tersebut.

Pencapaian Indonesia hingga saat ini tidak terlepas dari peran guru yang telah membimbing anak muridnya menjadi manusia dewasa dan berperan aktif dalam pembangunan Indonesia. Namun, demi melahirkan para “nation builders” Indonesia, hingga saat ini masih banyak guru-guru yang berjuang demi kesejahteraan diri maupun keluarga yang disokongnya.

Apresiasi yang ditujukan kepada mereka juga dinilai masih rendah mengingat betapa penting dan berharganya peran seorang Guru atau Pengajar dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

“Pemimpin! Guru! Alangkah hebatnya pekerjaan menjadi pemimpin di dalam sekolah, menjadi guru di dalam arti yang spesial, yakni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak! Terutama sekali di zaman kebangkitan! Hari kemudiannya manusia adalah di dalam tangan guru itu, menjadi manusia”.

Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina

Demikian sepenggal kalimat Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno tentang guru yang dikutip dari buku karangannya, Dibawah Bendera Revolusi.

Guru adalah sebuah profesi yang mulia karena di tangan merekalah masa depan bangsa ini ditentukan. Guru juga dianggap sebagai pahlawan pembangunan, karena di tangan mereka akan lahir pahlawan-pahlawan pembangunan yang kelak mengisi ruang-ruang publik di negeri ini. Guru yang ideal, bukan sekedar guru yang memenuhi syarat-syarat teknik: seperti pintar, pandai, atau pakar di bidang ilmu yang dimiliki; melainkan yang jauh lebih penting dari itu semua, guru harus bisa menempatkan dirinya sebagai “agent of change”.

Di sini, tugas guru adalah menumbuhkan keingintahuan anak didik dan mengarahkannya dengan cara yang paling mereka minati. Jika anak didik diberi rasa aman, dihindarkan dari celaan dan cemoohan, berani berekspresi dan bereksplorasi secara leluasa, ia akan tumbuh menjadi insan yang penuh dengan percaya diri dan optimistis.

Seorang guru bisa menjadi pahlawan pembangunan yang memiliki jiwa juang, memiliki semangat untuk berkorban, dan menjadi pionir bagi kemajuan masyarakat. Oleh sebab itu, tugas yang diemban oleh seorang guru tidak ringan, karena guru yang baik tidak hanya memberitahu, menjelaskan atau mendemonstrasikan, tapi juga dapat menginspirasi.

Baca Juga: Literasi tentang Palestina Muncul dari UIN Jakarta

Seorang guru harus mampu memandang perubahan jauh ke depan, dengan demikian guru dapat merencanakan apa yang terbaik untuk anak didiknya. Seorang guru juga harus dapat mengemban tugasnya sebagai motivator yang mampu memotivasi anak didiknya agar penuh semangat dan siap menghadapi serta menyongsong perubahan hari esok.

Peran seperti inilah yang disebut oleh Presiden Soekarno, sebagai “Guru di dalam arti yang spesial, yakni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak.”

Dulu, sesudah Jepang menyerah kalah di akhir Perang Dunia II akibat dibom Amerika Serikat, maka hal pertama yang dicari dan ditanyakan oleh para pemimpinnya adalah guru. Bangsa Jepang begitu yakin, dari tangan hangat para guru, Jepang bisa bangkit lagi. Fakta itu menjadi kenyataan. Kini, Jepang menjadi negara super canggih dengan segala teknologinya. Bahkan Jepang dikenal dengan negara yang sangat disiplin waktu.

Kedua, Da’i

Baca Juga: Perang Mu’tah dan Awal Masuknya Islam ke Suriah

Ya, inilah profesi pertama dari tiga pekerja peradaban itu. Menjadi seorang da’i tentu saja tidak setiap Muslim bisa melakukannya. Namun demikian, ada hadis yang mengatakan bahwa setiap Muslim itu adalah da’i. Jika diartikan setiap Muslim adalah da’i, itu artinya setiap Muslim mempunya cara dan strategi tersendiri dalam mendakwahkan kebaikan (al Islam) ini ke tengah-tengah umat manusia.

Bicara tentang cara menyampaikan dakwah, maka bisa dibagi dalam tiga bagian antara lain; dakwah bil qalam  atau bil kutub (dengan tulisan/buku), dakwah bil lisan (dakwah dengan lisan/ceramah/pidato), dan dakwah bil hal  (dakwah dengan prilaku yang baik). Bila melihat dari ketiga cara dakwah diatas, maka dalam hal ini setiap orang yang menyampaikan pesan dakwahnya melalui pena bisa disebut sebagai pelaku dakwah bil qalam.

Orang yang melakukan dakwah bil qalam termasuk setiap wartawan Muslim yang menyampaikan pesan-pesan berupa informasi penting ke tengah-tengah umat. Artinya, para da’i yang menyampaikan dakwahnya secara rutin melalui tulisan bisa disebut sebagai jurnalis atau penulis. Jadi, jurnalis atau penulis pun bisa disebut sebagai da’i selama informasi yang disampaikannya berupa pesan-pesan dari al Qur’an dan as Sunnah.

Secara khusus, makna da’i berarti seorang ustad yang profesi utamanya adalah mendakwahkan Islam kepada umat manusia. Darinyalah umat yang tadinya berada dalam kegelapan hidayah menjadi umat yang terang benderang karena cahaya Allah sudah terpatri kuat di lubuk hatinya. Mereka menjadi orang yang tahu mana jalan kebenaran yang sesungguhnya. Dari da’i atau para ustad pula kebenaran menjadi kiblat mayoritas yang harus diikuti umat manusia agar bahagia di dunia dan selamat di akhirat kelak.

Baca Juga: Selamatkan Palestina, Sebuah Panggilan Kemanusiaan

Ketiga, Wartawan / Jurnalis

Banyak orang mengatakan bekerja sebagai wartawan itu mengasyikkan, penuh tantangan, butuh intelektual tinggi, cekatan, penuh dedikasi dan tentu saja profesional. Ya, kira-kira itulah yang ada di benak banyak orang dalam menilai profesi sebagai wartawan. Apa yang dikatakan itu, tentu saja ada benarnya, walaupun mungkin tak semua benar karena sangat tergantung kepada siapa profesi wartawan itu melekat.

Artinya, jika profesi wartawan itu ada pada diri orang yang bermoral dan berakhlak, tentu saja profesi sebagai wartawan harus memenuhi beberapa kriteria seperti tersebut di atas. Tapi sebaliknya, jika orang yang menjadi wartawan itu bermental lemah dan tak berakhlak, maka tentu saja profesi mulia wartawan menjadi tercemar.

Bagi saya, menjadi wartawan sebenarnya panggilan iman. Bagaimana tidak, sebab profesi wartawan sesungguhnya tak jauh berbeda dengan profesi para da’i dan Nabi sebagai penyeru kebenaran. Bisa dibilang, wartawan itu adalah salah satu profesi warisan dari para Nabi.

Baca Juga: Malu Kepada Allah

Jika para Nabi yang mulia membawa kebenaran untuk disebarluaskan kepada umat manusia, maka para wartawan pun demikian mempunyai tugas menyebarkan seluruh informasi kepada umat manusia. Tentu yang saya maksud wartawan dalam tulisan ini adalah seorang wartawan Muslim!

Siap menjadi wartawan berarti siap menjadi pekerja peradaban. Pekerja peradaban adalah pekerjaan mulia. Di tangan seorang wartawanlah dunia ini akan berubah; positif atau negatif. Bagi seorang wartawan Muslim, tentu saja perubahan ke arah yang lebih baik menjadi tujuan utamanya.

Bagaimana dengan ketajaman penanya, ia mampu merubah sebuah peradaban yang penuh dengan keburukan menjadi peradaban mulia yang penuh cahaya. Di tangan wartawan Muslim pula distorsi sejarah Islam bisa diluruskan dengan torehan penanya yang tajam.

Menjadi wartawan berarti harus mempersiapkan diri untuk melihat peradaban ini dengan tajam. Dengan ketajaman tulisannya, seorang wartawan menjadi dikenal meski secara fisik banyak orang yang tidak tahu siapa sebenarnya dia. Orang banyak mengenal tulisan-tulisannya tapi tak banyak orang tahu siapa sebenarnya si penulis.

Baca Juga: Palestina Memanggilmu, Mari Bersatu Hapuskan Penjajahan

Begitulah profesi wartawan, ia harus siap untuk tidak dikenal orang (secara fisik) kecuali karya-karya besarnya saja. Tapi, tak sedikit pula wartawan yang dikenal dan dikenang sepanjang masa karena ia telah meninggalkan karya-karya besar sebelum meninggalkan dunia ini. Seperti kata Imam Syafi’i, “Jika kamu ingin melihat dunia, maka membacalah. Tapi jika kamu ingin dikenal maka menulislah.”

Nah, sejatinya seorang wartawan adalah orang yang banyak melakukan kedua hal yang disebut Imam Syafi’i di atas: banyak membaca, juga banyak menulis. Dengan banyak membaca, seorang wartawan tentu akan mendapatkan banyak informasi yang tersimpan di kepalanya.

Dengan banyak membaca pula, seorang wartawan tidak serampangan dalam menganalisa sebuah masalah. Ia akan melihat masalah secara komprehensif dan integral. Jadi, beruntunglah jika Anda menjadi wartawan yang gemar membaca dan banyak menulis. Tapi, miris bagi siapa pun yang menjadi wartawan namun tak suka membaca.

Seorang wartawan Muslim mempunyai lima peran dalam menjalankan profesinya sebagai wartawan. Kelima peran itu antara lain; sebagai pendidik (muaddib), pelurus informasi (musaddid), pembaharu (mujaddid), pemersatu (muwahid), pejuang (mujahid).

Baca Juga: Korupsi, Virus Mematikan yang Hancurkan Masyarakat, Ini Pandangan Islam dan Dalilnya!

Sejatinya, jika seseorang berprofesi sebagai seorang jurnalis Muslim, guru, dan da’i harus merasa bangga dan syukur sebab dari tangannyalah peradaban ini akan dirubah: menjadi lebih baik atau sebaliknya menjadi lebih buruk. Ketiga profesi di atas adalah penting.

Tapi bagaimana pun, jika saya diminta untuk memilih, maka dengan senang hati saya akan memilih untuk menjadi seorang jurnalis. Mengapa? Sebab seorang jurnalis bisa memainkan kedua peran lainnya sekaligus. Sekali waktu, ia bisa menjadi guru tapi di lain waktu, ia juga bisa menjadi seorang da’i (pendakwah). Apakah Anda setuju? (R02/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Inilah Tanda Orang Baik, Inspirasi dari Kisah Nabi Musa Belajar kepada Khidir

 

 

 

Baca Juga: Begini Cara Mengucapkan Aamiin yang Benar dalam Shalat Berjamaah Menurut Hadits

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Palestina
Indonesia
Indonesia