Jakarta, MINA – Anggota Baleg Fraksi PKS, Bukhori Yusuf meminta pemerintah tidak abai terhadap aspek perlindungan konsumen produk halal.
Peringatan ini ia sampaikan mengingat UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan berpotensi merugikan konsumen produk halal.
Menurutnya, Pemerintah tidak boleh gegabah dalam menyusun aturan turunan dari UU Cipta Kerja, khususnya perihal jaminan produk halal.
“Pasalnya, setelah kami melakukan penyisiran terhadap versi 812 halaman, kami menemukan sejumlah kelemahan substansi dari UU tersebut, khususnya terkait regulasi sanksi bagi pelanggaran terhadap kewajiban registrasi halal,” ungkap Bukhori di Jakarta kepada MINA, Rabu (21/10).
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
UU Cipta Kerja turut mengubah salah satu ketentuan di UU No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, tepatnya di pasal 48. Pada mulanya, Pasal 48 UU eksisting berbunyi:
(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
Namun dalam Pasal 48 versi UU Cipta Kerja klausul “berupa penarikan barang dari peredaran” dihapus sehingga berubah menjadi;
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Anggota Komisi VIII ini menilai, pencantuman wujud sanksi administratif yang konkrit sedianya dalam rangka menunjukan ketegasan dan keberpihakan Negara terhadap pengadaan produk impor yang halal.
Tetapi, penghapusan wujud sanksi tersebut, sebaliknya bisa membuat kebijakan registrasi halal produk impor menjadi lebih permisif terhadap pelanggaran kewajiban registrasi.
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
Bukhori menegaskan, penyelenggaraan jaminan produk halal sejatinya bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk.
“Dalam upaya mendukung hal tersebut, maka disusun juga regulasi mengenai wujud sanksi yang jelas apabila dalam praktiknya terjadi penyimpangan oleh pelaku usaha,” imbuhnya.
Dengan demikian, sambungnya, keterangan terkait wujud konsekuensi hukum yang jelas dalam peraturan perundang-undangan (red, Pasal 48 UU JPH) adalah dalam rangka, semaksimal mungkin, menutup celah bagi potensi terjadinya pelanggaran kewajiban registrasi.
Selain itu, pencantuman wujud sanksi juga sebagai upaya menyampaikan pesan yang kuat kepada pelaku usaha dan memberikan kepastian hukum bagi konsumen muslim.
Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal
Sebab, apabila aspek ini tidak diindahkan, maka perlindungan konsumen Indonesia dalam memperoleh produk impor yang halal bisa terabaikan.
“Lebih jauh, Negara menjadi tidak berpihak pada konsumen dalam mendapatkan produk halal jika wujud sanksi yang jelas dihapuskan,” tegasnya.
Lebih lanjut, politisi PKS ini meminta agar pemerintah mengedepankan ketelitian dan kehati-hatian dalam merumuskan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait jaminan produk halal.
Penghapusan klausul sanksi “penarikan barang dari peredaran” harus dikompensasi dengan wujud sanksi yang tegas, jelas, dan tidak menimbulkan multitafsir di aturan turunan.
Baca Juga: BPJPH, MUI Tuntaskan Nama Produk Bersertifikat Halal
“Selain itu, saya ingin kembali mengingatkan kepada pemerintah agar aturan turunan yang tengah disusun ini mencerminkan keberpihakan yang nyata bagi konsumen produk halal,” pungkasnya.(R/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)