New York, 16 Ramadhan 1438/11 Juni 2017 (MINA) – Kelompok pemerhati kebijakan perdagangan, Indonesia for Global Justice (IGJ), mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak membuat perjanjian stabilitas investasi yang diminta oleh PT Freeport Indonesia (PTFI).
Pasalnya, menurut kelompok ini, perjanjian stabilitas investasi ini hanya akan menambah daftar perjanjian investasi yang memberikan hak investor untuk menggugat negara secara sepihak di Arbitrase Internasional.
“Pemberian hak istimewa kepada Freeport harus segera dihentikan oleh Pemerintah Indonesia dalam menjalankan ketentuan Undang-undang Minerba, tulis pernyataan IGJ kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Ahad (11/6).
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama
Koordinator Riset dan Advokasi IGJ, Budi Afandi, menyatakan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sementara Freeport sudah merupakan hak istimewa yang diberikan pemerintah Indonesia dan dilegalisasi dalam PermenESDM Nomor 28/2017 hasil revisi PermenESDM Nomor 5/2017.
“IUPK sementara Freeport hanya berlaku hingga Oktober 2017, dan jika negosiasi tidak mencapai titik temu maka operasi akan kembali berbasis kepada Kontrak Karya (KK). Padahal Freeport sudah diuntungkan dengan izin ekspor konsentrat yang juga berlaku hingga Oktober 2017. Inilah keistimewaan Freeport yang tidak dimiliki oleh perusahaan tambang asing lainnya,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui perjanjian stabilitas investasi yang diminta Freeport kepada pemerintah berisi hal-hal yang setara dengan Kontrak Karya (KK), seperti pajak yang tetap (nail down), jaminan perpanjangan kontrak, dan arbitrase internasional.
Sebelumnya, Freeport mengancam akan menggugat Pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional terkait perubahan KK menjadi IUPK.
“Kehadiran perjanjian stabilitas investasi hanya akan inkonsisten dengan semangat UU Minerba yang ingin mengambil alih kedaulatan negara dalam penguasaan dan pengelolaan tambang Indonesia. Perjanjian ini akan menegasikan kekuatan IUPK yang menempatkan posisi Pemerintah lebih tinggi dari investor” tambah Budi.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
Sementara itu, Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menjelaskan bahwa perjanjian stabilitas investasi akan tetap membuka peluang Freeport menggugat Indonesia ke Arbitrase Internasional.
Padalah rezim IUPK sudah tepat untuk mengakhiri kesewenangan investor tambang asing yang selama ini diakomodir dalam perjanjian kontrak karya, katanya.
“IUPK bersifat administrative dan pengaturannya sepihak, sehingga kewenangan negara lebih besar, dan jika ada sengketa cukup diselesaikan dalam pengadilan tata usaha negara. Namun, jika Perjanjian stabilitas investasi ini dikabulkan, maka posisi negara kembali setara dengan investor, dan hilanglah kewenangan memaksa negara terhadap investor. Dan yang krusial, sengketanya berubah menjadi sengketa perdata di lembaga arbitrase”, tambahnya.
Rachmi juga mengingatkan bahwa selama ini banyak gugatan perusahaan tambang asing terhadap Indonesia di arbitrase Internasional akibat kehadiran perjanjian investasi, baik traktat investasi maupun kontrak karya. 50% dari total gugatan investor asing di arbitrase internasional ada di sektor tambang, seperti Newmont, Churchill mining, planet mining, dan Indian Metal Ferro Alloys. Padahal sejak 2012, Pemerintah Indonesia terus berusaha untuk mengurangi resiko gugatan investor asing terhadap Indonesia, dengan cara mereview dan membatalkan perjanjian investasi yang dibuat oleh Pemerintah.
“jelas sekali, perjanjian stabilitas investasi ini didesak agar Freeport tidak kehilangan hak menggugat di arbitrase internasional terhadap Indonesia. Jika perjanjian stabilitas investasi disepakati, maka ini adalah bentuk kemunduran dari penegakan kedaulatan negara atas tambang” tegasnya.(T/RE1/P2)
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)