Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah Kurang Apresiasi Profesi Penulis Indonesia

Risma Tri Utami - Rabu, 20 Desember 2017 - 20:52 WIB

Rabu, 20 Desember 2017 - 20:52 WIB

120 Views ㅤ

Seminar Nasional ‘Darurat Penerbitan di Indonesia: Bebas Pajak Untuk Literasi’ di Jakarta, Rabu (20/12). (Foto: Risma MINA)

bekraf-lll.jpg" alt="" width="1280" height="701" /> Seminar Nasional ‘Darurat Penerbitan di Indonesia: Bebas Pajak Untuk Literasi’ di Jakarta, Rabu (20/12). (Foto: Risma MINA)

Jakarta, MINA – Tidak meratanya industri penerbitan dan keluhan dari para penulis yang kurang mendapat apresiasi dari pemerintah akan profesinya, menjadi permasalahan di industri penerbitan Indonesia pada saat ini.

“Profesi penulis masih pada tingkat tawar yang lemah, sehingga tidak bisa dijadikan profesi profesional yang dilakukan secara full time,” kata Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) Indonesia, Ricky Joseph Pesik pada Seminar Nasional ‘Darurat Penerbitan di Indonesia: Bebas Pajak Untuk Literasi’ di Jakarta, Rabu (20/12).

Masih teringat jelas di ingatan kita, tambahnya, bagaimana opini yang disampaikan oleh penulis novel best seller Tere Liye yang membuka mata semua orang bahwa industri penerbitan perlu di atur sedemikian rupa.

“Sehingga dikemudian hari dapat berkembang lebih maju lagi dari yang kita miliki saat ini. Karena ruang pertumbuhan industri penerbitan masih sangat besar sekali,” ujarnya.

Baca Juga: Ketua MPR RI Salurkan Bantuan untuk Korban Erupsi Gunung Lewotobi

Apalagi, lanjutnya, kita adalah negara yang diberkahi bonus demografi yang luar biasa. Ini adalah sebuah ruang pertumbuhan harusnya bagi industri perbukuan atau penulisan.

Pada sisi lain, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Maxensius Tri Sambodo mengatakan, penerbit mengeluhkan akan lesunya penjualan buku cetak. Turunnya jumlah buku yang dicetak berdampak pada kenaikan harga buku.

“Perpustakaan sebagai agen penting yang dapat menumbuhkan permintaan buku, juga tidak dapat berbuat banyak karena pengurangan besar-besaran anggaran untuk membeli buku,” jelas Maxensius.

Belum tampak kelembagaan dan organisasi perbukuan yang bertanggung jawab untuk membina dan mengembangkan dunia perbukuan. “Bahkan, dunia perbukuan dianggap sebagai ‘anak yatim’, pemerintah daerah pun nampaknya belum melihat buku sebagai komoditas strategis yang harus dibangun guna meningkatkan literasi didaerahnya,” lanjutnya.

Baca Juga: HGN 2024, Mendikdasmen Upayakan Kesejahteraan Guru Lewat Sertifikasi

Maxensius menuturkan, perlu terobosan untuk membuka dan juga meneguhkan pentingnya melakukan “re-thinking” kebijakan perbukuan yang ada saat ini. Buku mampu memberikan manfaat besar bagi upaya pencerdasan kehidupan bangsa dan menciptakan peluang-peluang dalam pengembangan ekonomi, sosial, dan budaya.

“Dengan demikian, buku selayaknya dilihat sebagai suatu gagasan tidak bertepi. Sebab buku adalah gagasan, maka penting untuk memperlakukan pemilik gagasan dengan sebaik-baiknya dengan memberikan penghargaan kepada para penulis dan pelaku perbukuan lainnya yang mampu berkontribusi bagi perkembangan peradaban bangsa,” pungkas Maxensius. (L/R09/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun

Rekomendasi untuk Anda

Sosok
Indonesia
Renungan Al Quran
Halal