Jakarta, MINA – Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Jambi sebenarnya hal yang rutin terjadi di setiap tahun, mulai dari tahun 1997 dan puncaknya pada 2015, sudah ada karhutla di ribuan hektar lahan, tepatnya 19.005 ha dengan 521 titik hotspot.
Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi Apani Saharudin mengatakan, Kabupaten Tanjab Timur, yang merupakan mayoritas lahan gambut, paling banyak titik api. Sampai saat ini pengelolaannya sulit dikendalikan.
“Satu sisi kita butuh investasi di perkebunan, salah satunya di lahan dan hutan gambut. Namun di sisi lain, ada usaha perkebunan dengan membuat sekat-sekat kanal yang merupakan transportasi di perkebunan untuk mengangkut buah. Ini yang menjadi simalakama yang kami hadapi,” katanya.
Apani dalam Forum Merdeka Barat (FMB) 9 dengan tema “Tanggap Bencana Karhutla” di Kemkominfo, Jakarta, Senin (23/9), menyampaikan tren kebakaran hutan di Jambi. Pada tahun 2015 sangat luas lahan yang terbakar, tahun 2016 menurun, dan pada tahun 2017 lebih menurun lagi.
Baca Juga: Prof. El-Awaisi Serukan Akademisi Indonesia Susun Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa
“Memang agak berbeda di tahun 2018 dan tahun 2019, agak lebih meningkat. Bahkan sampai mencapai mencapai luas lahan 1972 ha. Jika dilihat dari pantauan satelit NOA, hampir di seluruh wilayah Jambi ada titik spot api. Sedangkan dari pantauan satelit tera, kabupaten Muara Jambi yang memiliki banyak hotspot,” katanya.
Ia menjelaskan, Kabupaten Muara Jambi adalah wilayah yang terdekat dengan Kota Jambi sehingga dampaknya sangat terasa di Kota Jambi sebagai pusat pemerintahan dan aktivitas masyarakat.
Akhir pekan kemarin, Apani mengungkapkan, penerbangan sempat terganggu oleh asap yang menutupi sejumlah wilayah di wilayah Jambi. Namun awal pekan ini sudah berjalan lancar lagi. Penerbangan sudah sesuai jadwal biasanya. (L/R06/RS3)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Syeikh Palestina: Membuat Zionis Malu Adalah Cara Efektif Mengalahkan Mereka