Pengungsi Rohingya, Selamatkan Nyawa Menjemput Maut

Ilustrasi: seorang wanita menangisi deritanya. (Foto: dok. Kufarooq.blogspot.com)

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis MINA

 

PBB pernah menyebut warga etnis Rohingya adalah komunitas “yang paling tertindas di dunia”. Klaim itu muncul ketika pada Mei 2015 dunia dihebohkan oleh berita derita pengungsi Muslim Rohingya. Kondisi berat dan buruknya penderitaan para pengungsi yang melakukan eksodus ke berbagai negeri tetangga membuat marah dunia kemanusiaan kepada Myanmar.

Istilah “etnis yang paling tertindas di dunia” semakin sering dipakai untuk menggambarkan nasib malang Rohingya, saat kekerasan di Rakhine State, Myanmar kembali meletus pada bulan Oktober 2016.

Bermula ketika sekelompok militan Rohingya bersenjata tiba-tiba muncul dan melakukan serangan terhadap pos Polisi Penjaga Perbatasan Myanmar, menewaskan sembilan polisi.

Serangan itu membuat militer Myanmar melakukan operasi penyisiran dengan memblokade kota Maungdaw yang banyak didiami oleh warga Muslim Rohingya. Tidak ada lembaga kemanusiaan dan pekerja media asing yang diizinkan masuk ke dalam zona operasi.

Dalam blokade zona operasi itulah, warga Muslim Rohingya disiksa, dibunuh, dibakar rumah-rumahnya, dan diperkosa para wanitanya. Kondisi buruk tersebut memaksa warga melarikan diri untuk selamat. Arah terdekat adalah menyeberang ke Bangladesh dengan cara ilegal dan harus menyeberangi sungai Naf yang memisahkan kedua negara. Dilaporkan ratusan Muslim yang tewas dalam masa ini.

Kini, kondisi hampir serupa terulang lagi.

Pada Jumat dini hari, tanggal 25 Agustus 2017 yang baru lalu, sekitar 150 militan bersenjata Rohingya, tiba-tiba muncul di Maungdaw utara dan melakukan serangan terencana terhadap 30 pos polisi dan satu kamp militer pada Jumat dini hari.

Dalam bakutembak yang terjadi selama beberapa hari, sedikitnya 110 orang tewas, 14 di antaranya adalah personel keamanan Myanmar dan selebihnya adalah gerilyawan.

Serangan gerilyawan Rohingya membuat militer, polisi, dan warga ekstremis Buddha Myanmar melakukan hukuman kolektif terhadap warga Muslim Rohingya. Terlebih, selama berpuluh-puluh tahun komunitas ini sudah menjadi objek kebencian dan tidak diakui sebagai warga sah Myanmar.

Militer dan polisi Myanmar melakukan operasi-operasi yang intensif. Mereka menyerang puluhan desa warga Rohingya. Mereka membakar desa dan rumah-rumah warga, menyiksa, membunuhi dan menembaki kaum pria, wanita, bahkan anak-anak tanpa pandang bulu.

Demi menyelamatkan nyawa, lebih dari 100.000 orang Rohingya terpaksa lari menyelamatkan diri meninggalkan desa mereka yang dibakar luas. Mereka lari ke hutan, ke gunung, dan ke perbatasan dengan Bangladesh.

 

Cari Selamat Menuju Kematian

Bisa sampai ke sebuah tempat perlindungan. Hanya itulah harapan utama warga Muslim Rohingya yang lari menyelamatkan diri dari ancaman pembunuhan militer Myanmar.

Namun, perjalanan yang mereka lalui dalam pelarian itu, bukanlah jalan beraspal rata lalu sampai kepada pintu yang terbuka, kemudian mendapat tempat berlindung.

Bermaksud mencari selamat dari kekejaman militer Myanmar di Rakhine State, para pengungsi rupanya harus bertaruh nyawa di buruknya kondisi dan kerasnya medan jalur pelarian.

Mereka lari bersembunyi di hutan dalam kondisi musim hujan. Sementara tentara Buddha terus melakukan pengejaran dengan nafsu membunuh. Mereka lari menuju ke perbatasan dan harus lebih dulu menyeberangi Sungai Naf. Terkadang para polisi penjaga perbatasan Myanmar menembaki para pengungsi dari atas bukit. Sementara itu, otoritas Bangladesh tidak mau memberikan izin masuk kepada pengungsi.

Kamis, 31 Agustus 2017, Penjaga Pantai Bangladesh dan warga menemukan puluhan mayat orang Rohingya yang meninggal karena tenggelam. Di antaranya 15 wanita dan 11 anak dari tiga perahu yang karam. Mayat-mayat yang lain juga ditemukan di dalam kondisi cuaca yang memang tidak bersahabat bagi para pengungsi.

Eksodus dalam jumlah puluhan ribu, membuat perahu-perahu kecil yang mereka gunakan penuh sesak oleh penumpang. Ketika perahu sampai ke muara dan menghadapi medan laut yang keras, perahu-perahu itu sering kali terpaksa mengalah kepada kuatnya ombak laut. Mereka tenggelam bersama perahu.

Ratusan pengungsi Muslim Rohingya menaiki kapal dengan penuh sesak saat mengarungi lautan lepas untuk mencari negeri harapan, Mei 2015. (Foto: dok. Siakapkeli.my)

Menuju Maut di Masa Lalu

Selain tenggelam di Sungai Naf yang memisahkan perbatasan Myanmar dan Bangladesh, di konflik masa lalu, banyak pula yang berakhir di lautan lepas dan di bawah kekejaman jaringan perdagangan manusia.

Pada gelombang eksodus tahun 2015, ribuan pengungsi Rohingya yang mencoba peruntungan dengan cara mengarungi lautan, harus mengadu nyawa dengan alam, dihias episode drama mengerikan yang terjadi di atas perahu.

Muhammad Tayub Ali (28 tahun), salah seorang warga Rohingya yang diselamatkan dan ditampung di provinsi Aceh, Indonesia, mengisahkan ketika kapal yang ia dan 920 pengungsi lainnya berada di tengah lautan selama 41 hari. Mesin perahu yang mati membuat perahu terombang-ambing di lautan tanpa arah. Nahkoda dan smugglers (pedagang manusia) meninggalkan mereka. Hingga persediaan makanan dan air habis.

Pada suatu hari, tersisa tinggal empat botol air untuk bayi dan anak-anak. Ternyata air itu bisa jadi pemicu pertarungan massal di atas perahu, karena diperebutkan. Di dalam kondisi yang kelaparan tanpa makanan, saling bunuh pun terjadi di atas perahu dan sebagian jatuh ke laut dan tenggelam.

Di tahun yang sama, tepatnya awal Mei 2015, tiba-tiba dunia dihebohkan penemuan beberapa kuburan massal di kamp-kamp liar di hutan Thailand, provinsi Songkhla, dekat perbatasan dengan Malaysia. Puluhan jenazah ditemukan.

Setelah diinvestigasi, ternyata mayat-mayat itu adalah warga Rohingya yang meninggal dalam kondisi kelaparan dan sebab lainnya. Kamp-kamp itu adalah milik para pedagang manusia.

Ceritanya adalah, warga Rohingya beramai-ramai menyewa untuk berlayar ke negeri lain, kemudian mereka justru disandera di laut oleh komplotan pedagang manusia. Mereka dibawa dan ditahan di kamp penangkaran di hutan Thailand. Di sana mereka di kurung di dalam liang tanah berlumpur yang ditutup oleh penjara kayu.

Pedagang manusia akan menelepon anggota keluarga tawanan agar mengirimkan tebusan jika tawanan ingin dibebaskan. Jika tebusan tidak jua dikirim atau tidak ada peluang mendapatkan tebusan, maka orang Rohingya yang ditawan akan dibiarkan tanpa makan sehingga meniggal dalam kerangkeng berlumpur. Lebih ironi lagi, salah satu tokoh pelaku perdagangan manusia itu adalah seorang Rohingya pula.

Seperti itulah nasib Muslim Rohingya di Rakhine State. Tak lari mereka mati, lari pun mereka bisa mati. Namun, melarikan diri sangat memberi harapan untuk bisa selamat, meski perjalanan dalam pelarian tidak mudah dan tempat berlabuh pun terkatung-katung tak jelas. (A/RI-1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)