Oleh: Rendy Setiawan, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sepanjang sejarah, tak ada agresor atas Palestina dan tempat sucinya yang melebihi rasisme dan arogansi penjajah Israel. Maka betapapun penjajah Israel ingin merebut Masjid Al-Aqsha, selama itu pula, umat Islam harus dan jangan sampai diam untuk memberikan yang terbaik guna mempertahankan Masjid Al-Aqsha sebagai warisan kaum Muslimin.
Sejak zaman Amirul Mukminin, Khalifah Umar ibnu Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, kemudian di masa Sultan Sholahuddin Al-Ayyubi yang merebut kembali tanah Palestina pada tahun 1187 M dari tangan bengis Yahudi, hingga berdirinya kerajaan Turki Utsmani, Palestina beserta Masjid Al-Aqsha selalu aman dan damai. Kemudian ujian itu kembali menghampiri tatkala Turki Utsmani benar-benar mengalami kehancuran pada 23 Maret 1924 oleh intel Yahudi yang menjabat sebagai Jenderal Perang Turki Utsmani kala itu, Musthofa Kemmal At-Tatturk, yang dikemudian hari, ia menjadi presiden pertama untuk negara Turki sekuler sejak tahun 1924 hingga ia meninggal dunia pada tahun 1938.
Abdul Hamid II, Sultan Islam Terakhir
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Mundur sejenak melihat masa lalu untuk mengingatkan kita akan ketegasan Sultan Abdul Hamid I. Pada Juni tahun 1896 silam, datanglah pemimpin Yahudi Internasional, Theodore Herzl ditemani stafnya bernama Neolanski untuk menghadap kepada Sultan Abdul Hamid II di Islambul (kini Istanbul), yang menjadi sultan Turki Utsmani ketika itu. Kedatangan mereka adalah meminta sultan untuk memberikan tanah Palestina kepada Yahudi.
Tidak tanggung-tanggung, mereka pun memberi iming-iming, “Jika kami berhasil menguasai Palestina, maka kami akan memberi uang kepada Turki (Khilafah Utsmaniah) dalam jumlah yang sangat besar. Kami pun akan memberi hadiah melimpah bagi orang yang menjadi perantara kami. Sebagai balasan juga, kami akan senantiasa bersiap sedia untuk membereskan masalah keuangan Turki,” kata Herzl kala itu.
Namun, Khalifah Abdul Hamid menentang keras dengan menyatakan, “Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina), karena ia bukan miliku. Tanah itu adalah hak umat. Umat ini telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.Yahudi silahkan menyimpan harta kalian. Jika Khilafah Islam dimusnahkan pada suatu hari, maka narulah mereka boleh mengambil tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku hidup, aku lebih rela menusukan ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islam. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selama kami masih hidup!”
Kesungguhan sang khalifah itu ditunjukkan pula dalam maklumat yang dikeluarkannya pada tahun 1890, “Wajib bagi semua menteri untuk melakukan bermacam studi tentang Yahudi dan wajib mengambil keputusan yang serius dan tegas dalam masalah Yahudi tersebut.”
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Ketegasan Khalifah menjadikan Herzl tak berdaya menghadapinya. Dia pun menyampaikan, “Sesungguhnya saya kehilangan harapan untuk bisa merealisasikan keinginan orang-orang Yahudi di Palestina. Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak akan pernah bisa masuk ke dalam tanah yang dijanjikan selama Sultan Abdul Hamid II masih tetap berkuasa dan duduk di atas kursinya,” kata Herzl kala itu.
Datang Untuk Kedua Kalinya
Tahun 1902, untuk kedua kalinya, delegasi Herzl kembali mendatangi Sultan Abdul Hamid II. Delegasi Herzl menyodorkan sejumlah proposal, diantaranya :
Pertama, memberikan hadiah sebesar 150 juta Poundsterling untuk pribadi sultan.
Kedua, membayar semua utang pemerintah Turkis Utsmani yang mencapai 33 juta Poundsterling.
Ketiga, membangun kapal induk untuk menjaga pertahanan pemerintah Utsmani yang bernilai 120 juta Poundsterling.
Keempat, memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta Poundsterling dan
Kelima, membangun sebuah universitas Utsmani di Palestina.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Namun, semua tawaran itu ditolak oleh Sultan Hamid II.
Beberapa catatan menyebutkan, setidaknya sudah enam kali delegasi Yahudi mendatangi kediaman khalifah untuk meloloskan proposal ini. Diantaranya pembicaraan yang menyarankan supaya orang-orang Yahudi membeli Palestina, dalam pembicaraan antara Sir Moses Haim Montefiore dengan Shah Nasr Ad-Dhin.
Lalu Khalifah Abdul Hamid II menolaknya dan mengatakan kepada delegasi tersebut, “Nasehatilah temanmu Herzl agar tidak mengambil langkah-langkah baru dalam masalah ini. Sebab, saya tidak akan bisa mundur dari tanah suci (Palestina) ini, walau hanya sejengkal. Karena tanah ini bukanlah milikku. Tanah ini adalah milik bangsa dan rakyatku. Para pendahuluku telah berjuang demi mendapatkan tanah ini. Mereka telah menyiraminya dengan tetesan darah. Biarlah orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan uang mereka. Jika negeriku tercabik-cabik, maka sangat mungkin mendapatkan Palestina tanpa imbalan dan balasan apapun. Namun patut diingat, bahwa hendaknya pencabik-cabikan itu dimulai dari tubuh dan raga kami. Namun, tentu aku tidak menerima ragaku dicabik-cabik selama hayat masih di kandung badan.”
Itulah sikap gemilang penguasa Muslim dan rakyatnya saat itu.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Kini, rakyat Palestina sejak peristiwa Nakbah yang terjadi pada 15 Mei 1948 silam, penjajah Israel mencekamkan kekuasaannya di tanah Palestina, terus membombardir Palestina, rakyat Palestina ditembaki dengan senapan, dan setiap hari hidup dalam ketakutan.
Bahkan, pada 2009 lalu hingga kini telah syahid lebih dari 1.000 lebih orang laki-laki, perempuan, anak-anak dan orang tua renta. Setidaknya, 1.700 orang luka-luka. Rumah sakit anak dan sekolah pun juga diporakporandakan zionis.
Protes dan demonstrasi terjadi di mana-mana. Pengumpulan dana, makanan, dan obat-obatan terus berjalan. Sungguh amal mulia, sekalipun ini hanya membantu mengobati yang luka tapi tidak dapat menghentikan kebiadaban penjajah Israel. Karenanya, sebagian kalangan berupaya mengirimkan relawan perang. Seruan jihad di mana-mana. Ini menunjukkan rakyat di berbagai negara merasa satu tubuh dengan saudara-saudaranya di Palestina.
Di negara-negara tertentu, sikap rakyat ini berbeda dengan sikap penguasanya. Negeri-negeri Muslim punya kekayaan dan kekuatan untuk menghentikan kebiadaban Israel. Namun, para penguasa tidak menggunakannya. Paling hanya mengecam. Aneh, ratusan nyawa melayang dalam sekejap hanya dijawab dengan sekedar melakukan sidang. Padahal, menghentikan penjajahan tidak bisa dengan sekedar kutukan atau perundingan. Senjata harus dilawan senjata.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Semestinya, para penguasa Muslim mengerahkan pasukan. Alih-alih mengenyahkan penjajah, sebagian penguasa Muslim justru malahan makan bersama pimpinan Israel, bersalaman dan berpelukan dengan mereka. Lebih mengherankan lagi, penguasa Saudi justru menangkap ulama yang menyerukan pengiriman pasukan membela Palestina.
Kalau dulu, Sultan Abdul Hamid II mati-matian menjaga dan membela tanah Palestina, kini sebagian besaar para penguasa negeri-negeri Islam membiarkan Israel menjajah tanah suci itu, bahkan hanya diam menyaksikan pembantaian Muslim Palestina sambil memberikan bantuan makanan dan obat-obatan alakadarnya.
Persoalan Palestina, Persoalan Umat Islam
Persoalan Palestina tidak sekadar menjadi persoalan rakyat Palestina saja. Namun, ia harus menjadi bagian dari persoalan seluruh umat Islam, bahkan harus agenda terdepan umat ini. Apalagi ini, kinerja pemerintah resmi Palestina tidak banyak berdaya dalam hal ini karena mereka mengandalkan perundingan dengan penjajah Israel dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang ada.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Kota suci Al-Quds yang terjajah sebagian besarnya mengalami tindakan kejahatan Israel dengan berbagai macam bentuknya setiap hari. Terhadap warganya, merebut lahan, pencurian aset, properti, secara terorganisir, penggusuran rumah mereka untuk membangun pemukiman Yahudi. Dalam rangka yahudisasi tanah Palestina
Selain itu, Masjid Al-Aqsha pun tak luput dari tindakan rasis Yahudi. Bahkan Israel kerap melarang warga Palestina shalat di masjid Al-Aqsha disertai kekerasan warga Yahudi di tempat suci tersebut.
Poros konflik dengan Israel tertumpu kepada perampasan dan pendudukan tanah sejak Israel didirikan secara sepihak oleh David Ben Gurion dan menjajah kota Al-Quds serta mengusir warganya. Sejak tahun 1948, Israel menempuh cara yahudisasi di tempat itu, baik terhadap tempat suci Islam atau Kristen.
Bukan hanya yahudisasi, rencana ke depan, Israel ingin mengusir warga Palestina dari kota itu. Israel tidak akan mendengar siapapun, termasuk dari negara adidaya. Menyeret Israel ke pengadilan internasinal, pemutusan hubungan diplomasi, boikot ekonomi, dan memutus bantuan materi dan lainnya, itu semua harus ditempuh.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Dulu, Herzl merasa putus harapan untuk menguasai Palestina karena ketegasan penguasa Muslim dan persatuan umatnya kala itu. Sultan Abdul Hamid tidak kompromi. Sebaliknya, kini Israel tidak merasa gentar kepada dunia Islam, padahal negerinya besar-besar dan penduduknya lebih dari 1,4 milyar. Mengapa? Sebab, kaum Muslim terpecah-pecah dan penguasanya tidak tegas seperti Sultan Abdul Hamid.dan juga ketiadaan akan rasa persatuan umat Islam.
Palestina, tempat di mana Masjid Al-Aqsha berada, ketika Palestina melangkah ke organisasi-organisasi internasional untuk menghukum kejahatan-kejahatan penjajah Israel terhadap manusia dan tanah air, kini justru mereka menghadapi eskalasi penistaan terhadap tempat suci Palestina dari zionisme Israel, berusaha memaksakan pembagian waktu dan tempat di Al-Aqsha, menerapkan status quo baru, dan yang terakhir warga pemukim Yahudi mengibarkan bendera Israel di atas masjid Ibrahimi, beberapa waktu lalu.
Penjajah Israel sudah kehilangan semua nilai-nilai moralnya, melanggar semua piagam dan perjanjian internasional yang melarang tindakan kekerasan terhadap tempat ibadah, tempat suci dan keyakinan sakral sebuah agama. Israel tidak mempedulikan semua seruan agar menghentikan tindakan permusuhan dari tempat ibadah. Bahkan semua itu diikuti oleh Israel dengan tindakan pencurian dengan alasan tidak benar seperti alasan bahwa yang mereka curi sebagai milik mereka.
Menteri Luar Negeri Israel, Avigdor Lieberman menggerebek masjid Ibrahimi di Hebron pada Maret lalu yang digunakan untuk kampanye meraup suara pemilu. Ia mengatakan, partainya tidak akan menyerahkan Hebron kepada Palestina.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Ini menunjukkan bahwa tindakan dendam pimpinan Israel terhadap tempat suci Palestina digunakan sebagai sarana untuk meraih target politik. Selain itu menunjukkan, pimpinan yang berhasil di Israel adalah yang ekstirim terhadap warga Palestina dan makin keras terhadap darah rakyat Palestina serta tempat suci mereka.
Persatuan, Modal Berharga Menuju Kejayaan Islam
Sekretaris Redaksi Kantor Berita Islam Mi’raj News Agency (MINA) yang juga sebagai Duta Al-Quds, Ali Farkhan Tsani suatu ketika pernah menegaskan, kebangkitan khilafah masa kini merupakan langkah strategis menuju kejayaan Islam dan muslimin dalam bingkai persatuan dan kesatuan umat Islam yang membawa misi rahmatan lil ’alaimin, kesejahteraan bagi seluruh alam.
“Kehadiran khilafah adalah secercah harapan kejayaan Islam dan muslimin dalam bingkai persatuan dan kesatuan umat Islam yang membawa misi rahmatan lil ’alaimin,” kata Ali Farkhan dalam Diskusi Ilmiah Dunia Islam dengan tema “Membongkar Pembantaian Muslim Rohingya dan Peran Khilafah” di Pesantren Al-Fatah Bogor, Jawa Barat, Ahad, 26 Mei 2013 lalu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Berdasarkan data dan fakta sejarah, serta media telah memuat, sistem khilafah ‘ala minhajin nubuwwah sudah diamalkan dalam wujud Jama’ah Muslimin beserta Imaamnya sejak tahun 1953. Khilafah sebagai wadah persatuan dan kesatuan umat Islam merupakan suatu syariat yang bisa diamalkan bukan suatu khayalan.
Ali Farkhan dalam ceramahnya ketika itu mengungkapkan, berdasarkan hadis Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam, umat Islam menempuh lima fase kepemimpinan, yaitu, pertama fase Nubuwwah, saat umat Islam dipimpin langsung Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam, kedua fase Khilafah ala minhajin nubuwwah, yakni masa kepemimpinan empat Khalifah Rasyidah pengikut pola kenabian.
Selanjutnya, ketiga fase Mulkan Adhan, yakni ketika umat Islam dipimpin oleh dinasti kerajaan, periode Bani Umayah hingga Bani Abbasiyah. Keempat fase Mulkan Jabbariyah, umat Islam dipimpin oleh dinasti kerajaan Turki Utsmani.“Fase terakhir adalah masa diamalkannya kembali khilafah ala minhajin nubuwwah, yang bersifat rahmatan lil alamain.”
Hingga kini periodisasi sistem khilafah terus berjalan, dan sekarang telah memasuki pengamalan kembali sistem Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah dengan imaamnya Syaikh Wali Al-Fattaah yang dibaiat sebagai Imaamul Muslimin tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H. / 20 Agustus 1953 M.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun
Hal itu merupakan bangkitnya kembali sentral kepemimpinan umat Islam dalam wujud khilafah ala minhajin nubuwwah, sebagaimana pernah diamalkan empat khalifah rasyidah terdahulu. Untuk itu, saatnya kaum muslimin bersatu dalam satu shaf terpimpin, sehingga dapat mengatasi permasalahan dunia Islam di manapun, dengan pertolongan Allah. (P011/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)