Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PERBEDAAN HARI RAYA TIDAK PERLU TERJADI

Ali Farkhan Tsani - Ahad, 20 September 2015 - 16:30 WIB

Ahad, 20 September 2015 - 16:30 WIB

920 Views

Yayan DNS

Oleh : Yayan D Natasaputra, Pemerhati politik dan Sejarah Islam

Tidak ada perbedaan jadwal pelaksanaan shalat Jumat jatuh pada hari-hari lain di tempat lain, sebelum atau sesudahnya di seluruh dunia. Misalnya shalat Jum’at jatuh  pada hari Kamis atau pada hari Sabtu, kecuali hanya perbedaan selisih jam.

Semestinya seperti itulah kesamaan penentuan hari-hari awal dan akhir bulan Dzulhijjah, Ramadhan, Iedul Adha dan Iedul Fitri.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Dari sisi geofisika, Dr. Arthur Beiser, pengarang buku The Earth (Bumi), dilahirkan dan dididik di New York City, menelaah bumi telah menjadi kariernya.

Sebagai ahli geofisika ia telah mengarang sekitar dua lusin buku dan menyumbangkan puluhan artikel pada majalah ilmiah.

Sebagai bekas wakil ketua Nuclear Research Assosiates Inc, ia pernah menjadi guru besar ilmu fisika pada Universitas New York.  Di sana ia memperoleh gelar,B.A, MS  dan Ph.D, serta mengabdi sebagai ilmuwan utama pada sejumlah expedisi yang mendirikan beberapa observatorium sinar kosmik dan geofisika di kawasan Pasifik Selatan, Alaska dan Kolorado.

Buku-buku karangan Dr Arthur Beiser antara lain : Physics, Basic Concepts, Mainstream of Physics, Fundamentals of Physicel Science dan Physicel Universe.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Menurut Arthur Beiser dalam menguraikan matra bumi, antara lain, garis tengah bumi adalah 12.900 km,  dan keliling bumi sepanjang garis khatulistiwa adalah: 40.300 km.

Keliling bumi sepanjang garis khatulistiwa inilah yang menjadi fokus masalah dalam konteks eskalasi wilayah Hilal.

bumiWilayah Hukum Islam

Dalam eskalasi hukum Islam, larangan serta perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak dibatasi oleh teritotial kenegaraan. Tapi membentang sepanjang keliling bumi khatulistiwa sejauh 40.300 Km.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Garis adalah rangkaian titik memanjang. Dalam jarak garis khatulistiwa tidak satu titikpun yang dikecualikan dari hukum Allah dan Rasul-Nya. Semua harus kita thaati setelah kita mendengar adanya khabariyah yang telah diturunkan Allah dan Rasul-Nya.

Tidak perlu diolah dengan logika manusia yang lemah dan terbatas. Sebab hukum dan apa apa yang telah ditetapkan oleh Khaliq atas sekalian makhluq-Nya adalah kebenaran aksiomatis, mutlak dan final, tidak perlu diragukan lagi.

Perintah menggunakan akal adalah untuk mengungkap rahasia alam semesta, yang substansinya adalah untuk mengenal kebesaran dan keagungan Allah Robbal ‘alamin.

Beberapa ayat antara lain menyebutkan,“Sesungguhnya jawaban orang orang mukmin, bila mereka dipanggil  kepada (hukum) Allah dan Rasul-Nya, mereka akan sepontan  mengucapkan : “Kami mendengar dan kami thaat”. (QS An-Nuur [24[: 51).

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Juga firman-Nya, “Sesungguhnya haq ini datang dari Tuhanmu (Allah) dan janganlah kamu termasuk diantara golongan yang ragu”. (QS Al Imran [3]: 60).

Serta firman-Nya: “Tidaklah Aku utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menebarkan rahmat bagi semesta alam”. (QS Al Anbiya [21]: 107).

Dasar Ilmu Hisab  

Landasan hisab memang berdasarkan beberapa ayat, antara lain, “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”. (QS Yunus : 5).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Pada ayat lain dikatakan, ““Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas”. (QS Al-Israa [17]: 12).

Dalam hal ini, fungsi hisab adalah perhitungan untuk menentukan kapan harus melaksanakan Ru’yatul Hilal, jangan sampai terjadi terlampau cepat atau terlambat.

Dari dua ayat itu diselidiki dan diketahui oleh para ahli angkasa luar dengan menggunakan Satelit Explorer 1 buatan Amerika Serikat, tahun1970, bahwa jarak bumi dengan matahari adalah 149.570.000 km,

beredarnya bumi mengelilingi matahari menempuh jarak : 960.000.000 km dalam waktu 365,25 hari atau 12 bulan tiap satu tahun. Serta peredaran bumi pada porosnya menimbulkan pergantian siang dan malam selama 24 Jam.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Matla Keputusan Politik

Definisi Matla’ adalah arah atau sudut pandang ru’yatul hilal dari posisi geografis suatu negara. Terlihat atau tidaknya hilal di suatu negara berlaku untuk seluruh wilayah hukum negara tersebut (wilayatul hukmi).

Namun  ada beberapa kerancuan dalam Matla’ misalnya:

1. Secara geofisika dan geografis, bulan akan berpotensi lebih terlihat dari arah sebelah Barat dari pada sebelah Timur.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

2. Bila dari ujung Barat Indonesia (Sabang) terlihat hilal, maka di ujung Timur Indonesia (Meraoke) harus mengikuti Sabang, termasuk (dulu) Timor Timur (1 bulan = 29 hari = Bulan Ramadhan).

3. Setelah Timor Timur terlepas dari Wilayah NKRI, menjadi Timor Leste, lalu kiblat ru’yatul hilalnya ke mana? Sebab dari seluruh wilayah Timor Leste hilal tidak terlihat seperti juga dari Papua (Irian Barat) yang “terpaksa” harus mengikuti Sabang, harusnya 30 hari.

4. Ada guyon politik mengatakan, “Bila muslimin di Timor Leste ingin berlebaran pada hari dan tanggal yang sama dengan muslimin di Indonesia atau sebaliknya, tinggal menyebarangi jembatan perbatasan yang panjangnya hanya belasan meter. Aneh tapi nyata, bukan? Itulah keputusan politik (matla), wilayah hukum Islam tersekat oleh “jembatan penyeberangan”.

Jadi, adanya perbedaan hari dan tanggal pelaksanaan Ied, baik dalam Idul Fitri maupun Iedul Adha (dalam koridor matla’) adalah sebuah keniscayaan yang dapat dipahami keberadaannya. Lalu, apakah ini sebuah keharusan?

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Tentu bukan, perbedaan yang lahir sebagai konsekwensi adanya kesalahan yang fundamental, karena hukum Islam dilokalisir oleh tapal batas geografis Negara, padahal seharusnya berlaku seluruh alam (fil ard).

Benar kata Prof. Dr. Amien Rais yang mengatakan, “Perbedaan harus ditanggapi dan dipahami secara kritis”. Menurut Penulis, “Bukan sekedar toleransi, tapi patut dipertanyakan, mengapa harus beda.

Keterlibatan Ulil Amri

Bahwa semua aspek ibadah adalah wujud kethaatan orang orang yang telah beriman kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri (dalam makna syar’i). Dalam menyelesaikan semua perbedaan (dien) pun meurjuk pada petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Allah menyebutkan di dalam Al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu kembalikanlah kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya, jika benar beriman kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)  dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa [4]: 59).

Maka, untuk menunaikan perintah Allah dan Rasul-Nya secara berjama’ah, ulil Amri atau Khalifah atau Imaamul muslimin wajib memantau kapan jadwal 1 Ramadhan, 1 Syawal (Iedul Fitri), wuquf di padang Arafah dan Iedul Adha dengan menugaskan atau memberi amanat kepada para petugas pemantauan sepanjang  eskalasi wilayah dari Masyriq sampai Maghrib.

Meminjam istilah geofisika, sepanjang garis khatulistiwa yang membentang dari arah Timur ke Barat, sejauh 40.300 km. Tidak tersekat oleh tapal batas territorial Negara, seperti : Patok, jembatan, sungai, gunung, bukit, lembah, selat dan laut.

Setelah Ulil Amri mendapat laporan dari petugas, lalu diumumkan kepada seluruh ummat Islam di belahan dunia manapun mereka berada. Tidak perlu didemokratisasi secara politis, mana yang lebih banyak melihat atau tidak. Rujukannya hanya kepada orang yang melihat adanya hilal, bukan karena lebih banyaknya orang yang tidak melihat.

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Dengan demikian, di bawah satu pimpinan, maka perbedaan jadwal hari dan tanggal pelaksanaan ibadah shaum dan Ied mustahil terjadi.

Beberapa Hal Fundamental

Ada beberapa hal yang sangat fundamental dan wajib diketahui oleh seluruh kaum muslimin di seluruh dunia, di antaranya:

1. Adanya perbedaan waktu di setiap zona (Time Zone) adalah eksak, hisab yang tidak menimbulkan khilafiyah, tidak terkait aqidah, namun terikat oleh kaidah universal tentang penetapan perbedaan waktu/jam dalam 1 hari yang sama.

2. Kaidah Islam dalam menentukan pergantian hari adalah perhitungan bulan Qomariyah, yaitu tenggelamnya matahari  di ufuk barat dan munculnya bulan di ufuk yang sama. Oleh karena itu pergantian hari dalam Islam adalah maghrib.

3. Hari sama, jam berbeda. Dalam zona waktu, Indonesia lebih awal 4 jam 15 menit dari padang Arafah, di mana wuquf terjadi setelah Matahari tergelincir ke arah Barat, sama dengan shalat Jum’at, sekitar pukul 12 siang hari, tanggal 9 Dzulhijjah 1436 H, di Indonesia sudah pukul 16.15 sore hari.

4. Pada pukul 18.00 Maghrib, Indonesia sudah berganti hari, tanggal 10 Dzulhijjah 1436 H, artinya Iedul Adha jatuh esok paginya saat Dhuha, pkl 07.00, saat itu di Saudi Arabia, di mana Arafah berada baru pukul 03 dini hari, 4 jam kemudian setelah itu, ketika di Indonesia sudah pukul 11 pagi, di Saudi Arabia baru pukul 7 pagi, 10 Dzulhijjah 1436 H, saat Iedul Adha dilaksanakan waktu Dhuha.

Jadi dengan begitu hari dan tanggal pelaksanaan Iedul Adha di Saudi Arabia dan di Indonesia jatuh pada satu kurun pagi yang sama. Jadi tidak ada alasan baik secara eksakta, maupun syar’i untuk timbulnya perbedaan hari dan tanggal sepanjang keliling bumi atau khatulistiwa 40.300 km, kecuali perbedaan zona waktu dalam bilangan jam.

Dalam konteks kesamaan waktu antara wuquf dan shalat Jum’at, patut dipertanyakan: “Mengapa jadwal Iedul Adha sering berbeda, ada yang mendahului 1 hari, 9 Dzulhijjah atau di belakang 1 hari, 11 Dzulhijjah dari yang seharusnya (10 Dzulhijjah). Padahal  sebagai studi banding: tidak pernah ada pelaksanaan shalat Jum’at pada hari Kamis atau Sabtu di seluruh Dunia”.

Apalagi secara syar’i, shaum di waktu Ied adalah haram. Jadi, esensi fundamental dari tulisan ini, adalah Islam adalah agama yang satu, hukumnya satu, ummatnya pun satu, ummatan wahidah fil ard, rahmat bagi segenap alam.

Semua kaum muslimin diharapkan sudah berada pada persepsi yang sama dalam menentukan hari dan tanggal pelaksanaan awal dan akhir Iedul Fitri dan Iedul Adha. Insya Allah. (P4).

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda