Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perjuangan Menyakitkan Zamzam Selamat dari Serangan Israel

Rudi Hendrik Editor : Rana Setiawan - 21 detik yang lalu

21 detik yang lalu

0 Views

Serangan Israel yang berulang-ulang terhadap kamp pengungsi Jabaliya telah menimbulkan korban jiwa dan telah menyebabkan pengungsian tergesa-gesa ke lokasi berbahaya lainnya. (Foto: Abdul Rahman Salama/Kantor Berita Xinhua)

Oleh Khaled El-Hissy, Jurnalis Gaza

PADA 6 Oktober 2024, gadis bernama Zamzam al-Ajrami yang berusia 15 tahun sedang makan siang di Gaza Utara bersama ibu dan saudara perempuannya, Saja 21 tahun, dan Lamis 23 tahun. Saat itu mereka berlindung di kantor UNRWA di kamp pengungsi Jabaliya setelah invasi Israel ke Gaza Utara yang dimulai pada hari sebelumnya.

Zamzam bercerita kepada The Electronic Intifada bahwa itu adalah pertama kalinya mereka makan daging setelah 10 bulan, yang dimungkinkan oleh bantuan dari UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina.

Tiba-tiba, serangan udara Israel dimulai. Peluru dan bom diluncurkan. Sementara Jabaliya dikepung oleh pesawat tanpa awak. Hal ini mendorong ibu Zamzam untuk menyarankan agar pindah ke Pusat Rehabilitasi UNRWA untuk Penyandang Disabilitas di dekatnya.

Baca Juga: Hamas Kecam Serangan di Jenin, Serukan Perlawanan Meluas

Ibunya mengatakan akan lebih aman, karena terletak di antara jalan-jalan sempit dan rumah-rumah yang padat, tidak seperti jalan utama tempat mereka berlindung saat itu. Zamzam teringat perkataan ibunya, “Dari pusat rehabilitasi, kami bisa kabur kalau dikepung.”

Mereka sampai di pusat itu pukul 4 sore. Pusat itu penuh sesak dengan orang-orang yang mengungsi.

Keluarga itu pergi ke lantai tiga untuk berlindung. Pengeboman terus berlanjut tanpa henti, membuat ibu mereka ketakutan.

Ia memutuskan untuk bertanya kepada keluarga kerabatnya di sekitar apakah mereka berencana untuk tinggal atau pergi, dengan maksud mereka ingin ikut.

Baca Juga: Tentara Israel Tangkap 12 Warga Palestina di Tepi Barat

Hanya lima meter dari pintu kamar mereka, sebuah granat menghantam ibu Zamzam.

Zamzam dan saudara perempuannya bergegas melihat apa yang terjadi, tetapi mereka mendapati sang ibu terluka parah. Israel yang menggunakan pesawat tanpa awak quadcopter menargetkan siapa saja yang bergerak dan pengeboman terus berlanjut.

Tim penyelamat yang ada di pusat itu sibuk mengevakuasi korban dari lantai bawah.

Saja, kakaknya Zamzam, berteriak kepada tim penyelamat: “Ibu saya masih hidup. Tolong selamatkan dia!”

Baca Juga: Media Israel: Militer sedang Bersiap Mundur dari Gaza

Seorang penyelamat mencoba menjangkau posisi mereka, tetapi terlalu berbahaya karena pesawat tanpa awak menembaki setiap gerakan.

Saja kembali ke ibunya. Dia hampir tidak bernapas.

Wanita muda itu mencoba membalut luka ibunya menggunakan jilbabnya. Kemudian, dia melakukan kompresi dada dalam upaya putus asa untuk menjaga ibunya tetap hidup.

Zamzam dengan putus asa mencoba menelepon ambulans, tetapi sinyalnya lemah. Dia kemudian mencoba menelepon saudara perempuannya yang sudah menikah, Dina, yang telah dievakuasi ke Gaza Selatan.

Baca Juga: Delegasi Jihad Islam Tiba di Doha untuk Perundingan Gencatan Senjata

Setelah beberapa kali mencoba, panggilan itu terhubung. Dina kemudian memanggil ambulans di Gaza Utara, tetapi kru ambulans mengatakan bahwa terlalu berbahaya untuk mencapai lokasi Zamzam dan keluarganya.

Tak lama kemudian, ibu mereka syahid karena luka-lukanya. Karena pengepungan yang ketat dan bahaya yang ekstrem, mereka bahkan tidak dapat mengubur ibunya di pemakaman.

Zamzam terus menangis dan menolak untuk meninggalkan ibunya. “Saya tidur di samping mayat ibu saya, memeluknya sepanjang malam,” kata Zamzam.

Menyelamatkan diri

Baca Juga: Pejuang Palestina Ledakkan Buldoser Israel di Jenin

Ketiga gadis itu membungkus ibu mereka dengan pakaiannya yang berlumuran darah dan menguburnya di kamar tempat mereka berlindung, menutupi ibu mereka dengan puing-puing dari peluru yang telah membunuhnya.

Pada pukul 9 pagi keesokan harinya, Zamzam dan saudara perempuannya berhasil menyelamatkan diri dari pusat itu, meninggalkan semua harta benda mereka dan jenazah ibu mereka yang dimakamkan.

Jalan itu penuh dengan mayat dan orang-orang yang terluka. Darah berceceran di mana-mana.

Mereka menemui paramedis sekitar 500 meter dari Rumah Sakit Kamal Adwan, tempat luka ringan mereka ditangani akibat tembakan yang menewaskan ibu mereka, dan mereka diberi air.

Baca Juga: Media di Gaza Peringatkan Pengkhianatan Tentara Israel Jelang Gencatan Senjata

Lolos dari tembakan Israel dan debu yang menyertainya membuat mereka sangat haus.

Dua jam kemudian, mereka pergi ke rumah bibi mereka di Beit Lahiya. Namun, pengeboman terus berlanjut tanpa henti, dan pesawat tanpa awak membuat mereka terperangkap di dalam rumah, tidak bisa ke mana-mana.

Tidak ada tempat yang aman

Pada tanggal 3 November, pukul 1:30 pagi, rumah bibi mereka dibom. Saja dan Lamis syahid. Zamzam masih selamat.

Baca Juga: Pemukim Penjajah Israel Tebang Puluhan Pohon Zaitun di Nablus

“Rumah itu penuh dengan orang-orang yang mengungsi. Paman saya, bibi saya dan keluarga mereka ada di sana, sekitar 30 orang,” kata Zamzam

Zamzam dan saudara perempuannya berada di sebuah ruangan yang menjadi sasaran tembakan tank Israel. Bibinya mulai berteriak dan meminta bantuan dari para tetangga.

Zamzam bahkan tidak dapat segera meratapi kedua saudara perempuannya. Karena luka-luka yang dideritanya dalam serangan itu. Ia pingsan dan terbangun di tengah jalan.

Salah seorang tetangga bibinya berhasil membawanya ke rumah sakit.

Baca Juga: Israel Tewaskan 12.329 Pelajar Palestina Sejak 7 Oktober 2023

Zamzam selamat secara kebetulan dari serangan yang menewaskan saudara perempuannya. Dia mengalami luka kategori sedang, termasuk patah tulang, memar, luka bakar di wajah dan punggungnya, dan luka di kepala. Ia dibawa ke Rumah Sakit Kamal Adwan, tempat luka-lukanya didisinfeksi, beberapa jam setelah ia tiba.

Menurut direktur rumah sakit, Dr. Hussam Abu Safiya, fasilitas itu menjadi sasaran pengeboman rutin pada saat itu. Staf medis dan pasien sama-sama menjadi sasaran.

Abu Safiya kemudian ditangkap oleh militer Israel pada akhir Desember dan diduga berada di kamp penyiksaan Sde Teiman milik Israel. Organisasi hak asasi manusia yang berbasis di Gaza, Al Mezan, mencatat pada Kamis, 9 Januari 2025 bahwa otoritas Israel telah “memperpanjang larangan aksesnya terhadap penasihat hukum hingga 22 Januari.” Pengadilan Israel memperpanjang penahanannya hingga 13 Februari.

Bibi Zamzam yang ditinggal di rumah sakit bersamanya, juga masih hidup. Rumah Sakit Kamal Adwan memberi tahu mereka bahwa luka-luka Zamzam serius dan memerlukan rontgen, tetapi tidak ada fasilitas pencitraan rontgen yang berfungsi di rumah sakit tersebut.

Baca Juga: Israel Serang Rumah Relawan AWG Gaza, Istri dan Anaknya Syahid  

Rumah sakit memberi tahu mereka bahwa ada fasilitas rontgen di Rumah Sakit Al-Awda di Jabaliya, yang jaraknya cukup jauh dari Rumah Sakit Kamal Adwan karena pasukan Israel menyerang di daerah tersebut.

Meskipun dalam bahaya, Zamzam dan bibinya berhasil tiba di Rumah Sakit Al-Awda, di mana mereka melakukan rontgen dan memasang gips di kaki Zamzam. Staf di rumah sakit memberi tahu Zamzam bahwa dia tidak dapat rawat inap di rumah sakit karena kurangnya layanan yang memadai dan banyaknya korban luka yang membutuhkan perawatan berkelanjutan.

Karena tidak dapat tinggal, bibinya memutuskan untuk pergi dan berlindung di rumah seorang kerabat di Beit Lahiya. Pada tanggal 5 Desember, daerah tempat mereka berlindung diperingatkan akan adanya serangan yang akan terjadi, sehingga Zamzam terpaksa meninggalkan tempat itu dengan berjalan kaki meskipun ia masih terluka, karena pasukan Israel melarang penggunaan ambulans.

Pada pagi hari di bulan Desember itu, ketika Zamzam, bibinya, dan keluarga bibinya sedang mempertimbangkan apa yang harus mereka lakukan, jalan pikiran mereka terganggu oleh suara quadcopter yang memerintahkan Sekolah Abu Tamam di Beit Lahiya untuk mengungsi. Mereka yang akan mengungsi diberi tahu bahwa sekolah itu akan diserbu dan harus menuju ke Gaza bagian barat.

Baca Juga: Kemarahan Ekstremis Sayap Kanan Israel soal Rencana Gencatan Senjata di Gaza

Seluruh keluarga segera mengungsi dari rumah.

Zamzam menceritakan kisahnya kepada The Electronic Intifada bahwa ketika mereka berjalan, ia “melihat banyak mayat tergeletak di tanah.”

“Saya bisa mencium bau mayat-mayat yang memenuhi jalan. Sebuah quadcopter mengawasi kami dan menembaki siapa pun yang mencoba kembali.”

Gadis itu terpaksa berjalan dengan kaki yang terluka. “Kaki saya yang patah dan luka-luka saya adalah kendala terbesar yang saya hadapi selama perjalanan pengungsian saya,” katanya.

Zamzam berhasil mencapai lingkungan Shujaiya. Dari sana, dia pergi ke barat menuju Kota Gaza dan sekarang menerima perawatan di Rumah Sakit al-Shifa.

Namun, sumber daya rumah sakit tidak mencukupi. Peralatan medis yang dia butuhkan untuk operasi kaki tidak memadai.

Perjalanan yang menyakitkan dan mematikan bagi Zamzam, sejak makan bersama ibu dan saudara perempuannya pada tanggal 6 Oktober 2024 di pusat UNRWA Jabaliya. []

*Penulis Khaled El-Hissy adalah seorang jurnalis dari Jabaliya di Jalur Gaza. Saat ini dia berada di Yordania untuk perawatan medis.

Penulis kedua tinggal di Gaza, tetapi memilih untuk tidak disebutkan namanya.

Sumber: The Electronic Intifada

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda