Dua Gadis Gaza Dikurung Berbulan oleh Ayahnya, Kelompok HAM Desak Pembebasan

Kelompok HAM mengatakan Wissam dan Fatma al-Tawil ditahan di lantai enam gedung ayah mereka sejak awal Januari. (Twitter/@Rothna_Begum)

Dua saudara perempuan di Gaza ditahan di luar kehendaknya oleh ayah mereka, setelah pihak berwenang berulang kali gagal melindungi mereka dari dugaan pelecehan di rumahnya, kata kelompok hak asasi manusia.

Selama enam bulan terakhir, Wissam al-Tawil (24) dan saudara perempuannya Fatma (19), dua kali berusaha melarikan diri dari rumah mereka, melaporkan pelecehan mereka ke polisi setempat dan berbicara di sosial.

Ayah mereka diduga menginterogasi, memukuli dan mengurung mereka, termasuk selama 35 hari ketika mereka dikurung di kamar, diberi makan satu kali sehari dan hanya diperbolehkan menggunakan toilet dua kali sehari.

Pada kedua kali mereka melarikan diri, mereka secara paksa dikembalikan ke ayah mereka.

Saat perhatian publik terhadap kasus mereka meningkat, kementerian dalam negeri menggambarkan situasi tersebut sebagai perselisihan keluarga.

Sementara itu, ayah mereka mengatakan kepada audiens Facebook Live bahwa bukan urusan siapa-siapa jika dia membunuh putrinya sendiri dan dia hanya akan menerima hukuman penjara enam bulan jika dia melakukannya.

Sekarang kelompok-kelompok hak asasi mengatakan, saudara perempuan itu telah dikurung di lantai enam sebuah gedung apartemen di Rafah sejak awal Januari. Kelompok HAM telah meminta pihak berwenang di Gaza untuk mengambil tindakan cepat.

“Otoritas Hamas di Gaza harus segera memastikan keselamatan dan kebebasan bergerak kedua wanita itu, termasuk bahwa mereka dapat meninggalkan rumah ayah mereka ke tempat aman yang mereka pilih, dan berbicara dengan bebas dan mandiri tentang situasi mereka,” kata Rothna Begum, peneliti senior hak-hak perempuan di Human Rights Watch (HRW).

Dihubungi MEE untuk memberikan komentar pekan ini, pemimpin senior Hamas dan wakil menteri pembangunan sosial Ghazi Hamad mengakui bahwa pihak berwenang telah mengembalikan paksa kedua bersaudara tersebut, tetapi dia juga mengatakan, dia tidak dapat memahami mengapa cerita mereka masih menjadi berita.

“Gadis-gadis itu kembali ke rumah ayah mereka, dan kami memastikan mereka baik-baik saja dan aman di sana,” katanya kepada Middle East Eye (MEE).

Baca Juga:  Politik dan Pendidikan Islam

Setelah mengalami pelecehan sejak 2019, saudara perempuan Tawil pertama kali mencoba melarikan diri dari ayah mereka pada Agustus 2022, menurut HRW dan Amnesty International, yang telah mendokumentasikan detail yang dilaporkan di sini.

Bulan itu, Wissam mengatakan ayahnya mengurungnya selama tujuh hari. Fatma segera menelepon polisi, tetapi polisi membutuhkan waktu sepekan untuk datang ke rumah dan pergi tanpa mengambil tindakan.

Sekitar 10 hari kemudian, sang ayah diduga memberi tahu putrinya bahwa mereka “pasti akan mati” dan meminta mereka untuk memilih “cara termudah”. Dia kemudian mengunci mereka di lantai enam gedung mereka dengan tabung gas dan mendesak mereka untuk bunuh diri.

Kakak beradik itu melarikan diri, seperti yang dijelaskan Wissam kemudian, berpegangan pada tirai untuk melompat ke balkon lantai lima, dan melarikan diri ke tempat berlindung.

“Kebenaran yang sederhana,” tulis Wissam dalam sebuah artikel yang diterbitkan di situs web Raseef22 bulan lalu, “adalah bahwa kami dua gadis yang dilecehkan yang memutuskan rantai kami dengan melompat dari lantai enam ke lantai lima, hanya untuk bertahan hidup.”

Mereka pergi ke Pusat Perlindungan dan Pemberdayaan Wanita Hayat, sebuah tempat penampungan yang dioperasikan oleh sebuah organisasi non-pemerintah, dan memberikan laporan rinci tentang pelecehan mereka kepada pihak berwenang.

Tiga hari kemudian, polisi komunitas, saudara perempuan, dan paman mereka, antara lain, berkumpul untuk membahas “masalah sosial antara ayah dan anak perempuannya”, lapor Kementerian Dalam Negeri di Gaza dalam siaran pers.

Merasa di bawah tekanan dan dijanjikan oleh paman mereka bahwa dia tidak akan mengembalikan mereka kepada ayah mereka, para wanita itu setuju untuk meninggalkan tempat penampungan.

Namun, pada tanggal 6 September, ayah mereka – yang tinggal di gedung yang sama dengan pamannya – memukuli dengan kejam dan mengancam akan membunuh mereka, memaksa mereka kembali ke apartemennya.

Hilang kabar

Dua hari kemudian, kedua bersaudara itu melarikan diri sekali lagi. Mereka pergi ke polisi untuk melaporkan pelecehan tersebut, dengan menunjukkan tanda fisik dari pemukulan terhadap mereka serta foto senjata yang dimiliki ayah mereka di dalam rumah.

Baca Juga:  Israel Buka Kembali Penyeberangan Erez ke Gaza

Siaran pers Kementerian Dalam Negeri kemudian mengatakan, pihak berwenang “terkejut” bahwa para wanita telah meninggalkan rumah keluarga mereka lagi dan mereka telah diberi tempat tinggal sementara di fasilitas pemerintah, karena keluarga “tidak dapat mengendalikan perselisihan”.

Namun, pada 12 November, petugas polisi memaksa kedua saudari itu meninggalkan fasilitas dan mengirim mereka ke rumah kerabat, di mana Wissam mengatakan, mereka dikunci di kamar selama 48 jam. Karena khawatir mereka akan dikembalikan sekali lagi kepada ayah mereka, mereka bersembunyi.

Pada tanggal 5 Januari, setelah ayah mereka dan kerabat lainnya melaporkan mereka hilang, saudari-saudari itu ditangkap dan diserahkan kepada seorang kerabat yang mengantar mereka ke rumah ayahnya.

“Kami berada di rumah ayah kami; dia akan mengirim kami ke lantai enam sebentar lagi. Kami dikutuk,” kata salah satu saudari kepada Amnesty International dalam pesan yang dikirim di tengah malam.

Sejak itu, kelompok hak asasi mengatakan, mereka belum mendengar kabar dari keduanya lagi.

Pada 3 Februari, foto-foto yang diunggahj di media sosial oleh ayah mereka memperlihatkan para wanita itu tersenyum sambil duduk bersama kerabat mereka di rumahnya.

Hamad, pemimpin senior Hamas dan wakil menteri pembangunan sosial, mengatakan, foto-foto itu membuktikan bahwa tidak ada ancaman terhadap kehidupan keduanya.

Namun, seorang kerabat mengatakan kepada HRW bahwa selain dari kunjungan itu, para wanita itu tetap dikurung di lantai enam.

“Foto dua wanita bersama keluarga mereka sebulan setelah polisi di Gaza melacak mereka dan secara paksa mengembalikan mereka ke keluarga mereka, yang sebelumnya mereka tinggalkan setelah melaporkan kekerasan dalam rumah tangga yang parah, termasuk ancaman pembunuhan, tidak cukup meyakinkan dunia bahwa mereka bebas, aman dan nyawa mereka tidak lagi terancam,” kata Begum dari HRW.

Baca Juga:  Mahasiswa Generasi Baru di AS Beri Harapan kepada Palestina

Di bawah tekanan

Mereka yang mengikuti kasus tersebut mengatakan bahwa sang ayah telah mengumpulkan komunitas di sekitarnya untuk melecehkan siapa saja yang telah membantu para wanita tersebut dan menekan mereka untuk mengembalikan mereka.

Tahani Qassim, pengawas di Hayat Centre, yang menampung sementara para perempuan itu, mengatakan kepada MEE bahwa organisasi mereka diserang oleh sang ayah dan para pendukungnya.

“Di pusat, kami melakukan yang terbaik untuk menbantu perempuan tertindas dan memberdayakan mereka, bukan untuk memisahkan mereka dari keluarga mereka,” katanya. “Kami mencoba melakukan ini kepada Fatma dan Wissam, tapi kami tidak tahu apa yang terjadi setelah mereka meninggalkan pusat kami.”

Sementara itu, Begum berkata: “Sang ayah tidak hanya melecehkan anak perempuannya, dia juga melecehkan semua orang yang terlibat untuk melindungi anak perempuannya, termasuk kelompok hak asasi perempuan.”

Dia menambahkan bahwa organisasinya secara pribadi telah menghubungi pihak berwenang di Gaza beberapa kali dan meminta mereka untuk melindungi para wanita tersebut.

“Mereka tampaknya gagal melakukannya. Itu jelas dari pernyataan publik para gadis itu,” kata Begum.

Pihak berwenang, katanya, memprioritaskan rekonsiliasi keluarga atas kehidupan kedua gadis, “bahkan ketika [mereka] dilaporkan menjadi sasaran kekerasan, ditolak hak mobilitasnya dan diancam dengan senjata oleh ayah mereka”.

“Hamas selalu ingin mengakhiri kasus ini dengan memulangkan gadis-gadis itu, bahkan ketika mereka tinggal di rumah persembunyiannya; mereka dipaksa untuk meninggalkannya dan pergi ke penindas mereka,” tambahnya.

Banyak wanita telah beralih ke media sosial dalam beberapa tahun terakhir sebagai cara untuk mencari bantuan terhadap para pelaku kekerasan, tetapi ini adalah pertama kalinya di Gaza kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap wanita menjadi perhatian publik.

Dua saudari itu telah menerima bantuan lokal yang signifikan, terutama dari para wanita, melalui unggahan di akun media sosial. Pendukung mereka mengatakan, mereka khawatir, terlepas dari semua ini, nyawa mereka tetap terancam.

Seorang pendukung di Twitter menulis awal bulan ini: “Sungguh menyakitkan mengetahui bahwa mereka mungkin akan dibunuh. Rumah bisa menjadi tempat paling berbahaya bagi wanita ketika berubah menjadi penjara.” (AT/RI-1/RS3)

 

Sumber: MEE

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.