Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior
Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz
merombak kabinetnya pada Kamis (27/12/2018), termasuk paling menonjol adalah Menteri
Luar Negeri Adel bin Ahmed Al-Jubeir (56) diganti.
Bukan hanya diganti, Al-Jubeir juga diturunkan jabatannya menjadi setingkat menteri negara untuk urusan luar negeri.
Ia menjabat sebagai Menlu dari 29 April 2015 hingga 27 Desember 2018. Dia sebelumnya menjabat sebagai Duta Besar Saudi untuk Amerika Serikat dari 2007 hingga 2015.
Baca Juga: Potret Ademnya Masjid Tuo Al-Khairiyah di Tapaktuan
Menurut pengamat, Al-Jubeir dalam beberapa langkah dinilai “gagal” melakukan diplomasi, yang malah menurunkan citra, kredibilitas dan merugikan sisi ekonomi Saudi.
Dalam kasus serangan ke Yaman misalnya, Saudi akhir-akhir ini mendapat tekanan dari kelompok hak asasi di Eropa.
Saudi dituduh terlibat dalam perlakuan tidak manusiawi di Yaman. Seperti dikatakan Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (WFP) David Beasley, bahwa Yaman terancam bencana kemanusiaan terburuk di dunia selama tempo 100 tahun terakhir.
Pernyataan itu berdasarkan data pasca serangan koalisi Saudi, yang dibantu intelejen AS, menunjukkan jumlah warga yang berada di ambang kelaparan diperkirakan mencapai 12-14 juta jiwa atau hampir 50% dari total penduduk Yaman, negara yang terletak di Jazirah Arab tersebut.
Baca Juga: Pengusiran Jurnalis di Konferensi Pers Menlu AS dan Seruan Keadilan untuk Palestina
Tiga tahun sejak 2015, justru anak-anak tak berdosa korban serangan harus memikul bencana. Sekitar 85 ribu anak-anak meninggal akibat gizi buruk yang melanda.
Lainnya, menurut PBB, lebih dari 10.000 warga sipil terbunuh dan 3 juta warga terlantar. Dosa sebesar apakah ini dan dengan alasan apakah gerangan sehingga jutaan rakyat tak tak tahu-menahu soal perebutan kekuasaan di Shan’a, menjadi korban.
Sementara menurut neraca perhitungan The National Interest pada Maret lalu, Arab Saudi diperkirakan sudah mengeluarkan USD100 miliar untuk membiaya perang di Yaman. Angka ini setara dengan Rp1.456 triliun!
Secara ekonomi ini jelas tidak menguntungkan. Sementara senjata-senjata terus beli ke AS. Dalam hal ini AS yang diuntungkan.
Baca Juga: Genjatan Senjata di Masa Nabi Muhammad
Catatan di penghujung 2017 saja, Arab Saudi menggelontorkan dana senilai 7 miliar dolar AS (lebih dari Rp101 triliun) untuk membeli senjata kepada kontraktor-kontraktor pertahanan AS. Beberapa pakar menyebut, senjata-senjata yang dibeli itu juga digunakan untuk memerangi Yaman.
“Kegagalan” lainnya adalah langkah memblokade sesama negara Arab, Qatar. Terhitung sejak 5 Juni 2017, Arab Saudi mengajak Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir, semuanya memutus hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Qatar. Namun, sampai saat ini ternyata Qatar tidak juga tumbang, tetap eksis.
Justru seperti disebutkan penulis Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani pada The New York Times, langkah blokade terhadap Qatar justru menjadi “bumerang” bagi Saudi dan sekutunya.
Menurutnya, tahun ini Qatar jauh lebih kuat daripada setahun lalu. Setelah pemberlakuan blokade, Qatar segera membangun sumber-sumber baru dan rute pasokan alternatif dari negara-negara lain yang lebih menjamin suplai berkelanjutan untuk barang-barang pokok, seperti makanan dan obat-obatan.
Baca Juga: Hubungan Kebakaran di Los Angeles dengan Gencatan Senjata di Gaza: Sebuah Perspektif Global
Para pengusaha di Saudi juga sebenarnya “meronta”, karena banyak proyek bisnisnya dan investasinya dari dan ke Qatar terhenti. Sementara proyek-proyek itu oleh Qatar dialihkan ke negara alternatif, baik ke kawasan Eropa hingga Asia. Termasuk dengan Cina.
Bahkan saat Saudi hendak melanjutkan blokadenya, melalui rencana pembuatan parit, Menteri Luar Negeri AS yang baru, Mike Pompeo segera tiba di Riyadh dan mengatakan konflik Teluk itu, “enough is enough”.
Pompeo mengatakan kepada mitranya, Adel al-Jubeir, bahwa perselisihan dengan Qatar harus diakhiri.
Kasus terbesar yang membawa nama Menlu Al-Jubeir, adalah dalam kasus Khashoggi. Al-Jubeir pernah mengatakan, seperi dikutip IDN News, bahwa kematian Khashoggi, di tangan otoritas Arab Saudi diakui olehnya.
Baca Juga: Gencatan Senjata Israel-Palestina: Harapan Baru atau Sekadar Jeda?
Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan stasiun televisi Amerika Serikat, Fox News, Al-Jubeir bahkan mengatakan kematian wartawan itu akibat dari “rogue operation” atau dengan kata lain sebuah operasi yang terjadi di luar prosedur seharusnya.
Kini, Al-Jubeir diganti oleh pejabat yang lebih senior, Ibrahim Al-Assaf (69).
Al-Assaf diambil bukan dari kalangan kementerian luar negeri, pejabat negeri, atau militer. Namun berbasis ekonomi.
Ia adalah mantan Menteri Keuangan Saudi selama 20 tahun, yang juga doktor bidang ekonomi dari Colorado State University, AS.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-40] Hidup di Dunia Hanya Sebentar
Al-Assaf pernah menjabat sebagai perwakilan Arab Saudi di Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Ia juga adalah anggota dewan raksasa minyak nasional Saudi Aramco.
Uniknya dia termasuk di antara beberapa orang yang sempat ditahan dalam dugaan “tindakan keras korupsi” pada November 2017. Dia sempat ditahan sebentar di ruang tahanan Ritz-Carlton Riyadh, bersama puluhan bangsawan dan pengusaha Saudi terkemuka.
Tahun 2017, saat itu Hotel mewah Ritz-Carlton berubah menjadi rumah tahanan bagi para tersangka kasus korupsi.
Namun kemudian pihak berwenang Saudi mengatakan penyelidikan tidak menemukan bukti kesalahan dan namanya dihapus dari kasus korupsi.
Baca Juga: Mengatasi Kesulitan Sesama
Menurut pengamat, seperti disebutkan Reuters (27/12/2018), Raja Saudi menempatkan seorang mantan menteri keuangan kawakan pada pos yang bertanggungjawab atas urusan luar negeri, dengan tujuan untuk meningkatkan citra kerajaan setelah krisis yang disebabkan oleh pembunuhan seorang jurnalis dan agar ada kontrol yang lebih besar pada Perang Yaman.
Pemerintah Saudi telah mendapat kecaman keras internasional atas pembunuhan jurnalis yang berbasis di AS. Jamal Khashoggi di dalam konsulat Saudi di Istanbul pada bulan Oktober.
“Al-Assaf dipandang sebagai kunci untuk membangun kembali citra ternoda kerajaan dengan citra internasional positif pribadinya sendiri,” kata Neil Quilliam, seorang peneliti senior di lembaga thing tank Britain’s Chatham House.
Marwan Bishara, analis politik senior Al-Jazeera, mengatakan penunjukan Assaf adalah “sinyal” dari Riyadh ke komunitas internasional bahwa Saudi “terbuka untuk bisnis, secara harfiah”.
Baca Juga: Meraih Ketenangan Jiwa, Menggapai Kebahagiaan Sejati
“Saudi berusaha mengirim pesan bahwa mereka ingin berubah, mereka ingin mendapatkan kembali kepercayaan dan kredibilitas dalam komunitas internasional, terutama di kalangan komunitas bisnis internasional,” ujarnya.
Riyadh menganggap dia orang yang menghadapi tantangan baru, yaitu mengembalikan bisnis dan investasi yang sangat dibutuhkan. Apalagi MBS butuh investasi asing, lanjutnya.
Perombakan Lain
Dalam perubahan kabinet lain, Raja Salman juga mengganti Menteri Garda Nasional Pangeran Khaled bin Abdulaziz bin Ayyaf Al-Muqrin, digantikan oleh Pangeran Abdullah bin Bandar bin Abdulaziz.
Baca Juga: Beberapa Kejanggalan dalam Kebakaran di California
Khaled menjabat baru setahun lebih sejak 5 November 2017 di lembaga yang bertanggungjawab terhadap sektor kemiliteran dan keamanan dalam negeri dari gangguan terorisme.
Pejabat baru, Pangeran Abdullah Bin Bandar adalah Wakil Gubernur Wilayah Makkah sejak April 2017. Sempat juga menjabat Wakil Kepala Departemen Pusat Pemuda Raja Salman (King Salman Youth Center).
Departeman ini didirikan untuk membangun pemuda menjadi pemimpin profesional dan pengusaha sukses.
Pergantian lainnya, Jenderal Kalid bin Qirar al-Harbi ditunjuk sebagai Kepala Keamanan Umum.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-39] Tidak Sengaja, Lupa, Berarti Tidak Dosa
Sementara Musaed al-Aiban, Kepala Intelijen pertama Arab Saudi berpendidikan Harvard University Cambridge, AS, ditunjuk sebagai Penasihat Keamanan Nasional.
Al-Aiban pernah mendapat tugas di Dewan Urusan Politik dan Keamanan Saudi (CPSA), dan Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan (CEDA).
Ia adalah Ketua Otoritas Keamanan Dunia Maya (Cyber Security) yang baru pada tanggal 31 Oktober 2017.
Pergeseran lainnya, Turki bin Abdulmohsen bin Abdul Latif Al-Sheikh (37), penasihat dekat Putra Mahkota Mohammed, dipindahkan dari posisinya sebagai Ketua Otoritas Olahraga untuk memimpin Ketua Otoritas Hiburan Umum.
Turki Al-Sheikh pernah menjabat Presiden Kehormatan Al-Taawoun di Buraidah. Dia saat ini adalah pemilik klub Mesir Pyramids FC. Ia juga dikenal karena tulisan artistik dan liriknya.
Turki Abdullah Al-Shabana, yang dikenal banyak memegang posisi tinggi di industri media, ditunjuk sebagai Menteri Media.
Raja Salman juga memerintahkan pembentukan Badan Antariksa Saudi, yang diketuai oleh putranya Pangeran Sultan bin Salman (62), yang juga mengepalai Agen Pariwisata Saudi.
Ia pernah terbang dengan pesawat ulang-alik Space Discovery Discovery pada 1980-an, sebagai orang Arab pertama di luar angkasa.
Menghadapi Tekanan
Mengutip pandangan Grigory Lukyanov, seorang analis Timur Tengah dan dosen senior di Sekolah Tinggi Ekonomi Rusia, Arab Saudi telah melakukan perombakan besar terhadap sejumlah pejabat puncaknya. Langkah ini, ujarnya seperi dirilis RT News, dimaksudkan untuk membuat kabinet lebih efisien dan loyal kepada Raja dan Putra Mahkota MBS dalam menghadapi tekanan AS.
Untuk mengurangi tekanan demi tekanan, yang menguras ribuan triliun, menurunkan citra dan kredibilitas di dunia internasional, dan demi masa depan putra mahkota. Maka, sebaiknya memang Saudi mengevaluasi kembali beberapa keputusannya.
Terutama serangan ke Yaman, blokade Qatar, dan penyelesaian kasus Khashoggi.
Untuk memperkuat dominasi wilayah politik kawasan, justru Saudi harus merangkul mitra-mitra sesama negara Arab. Bukan dengan jalan perang atau permusuhan.
Jika tidak, satu per satu negara-negara sahabat akan meninggalkan Saudi. Padahal Saudi sudah tidak bisa lagi mengandalkan penuh produk minyaknya. Namun harus mencari alternatif-alternatif lain mendatangkan sahabat, turis dan investasi.
Sebagai penjaga dua masjid suci Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, dunia Islam sebenarnya sangat menaruh harapan akan Saudi dapat memimpin negara-negara Arab dan Muslim, dengan kepemimpinan Islamnya, dengan landasan Al-Quran dan As-Sunnahnya, dalam memajukan kejayaan Islam dan peradaban Muslimin.
Kepemimpinan Islam yang menunjukkan “Asyiddaa’u alal kuffar, ruhamaa’u baynahum” (tegas terhadap orang-orang kafir yang memerangi Muslimin, serta penuh kasih sayang, persaudaraan, persahabatan dan saling menolong dengan sesama Muslim). Serta kepemimpinan yang “rahmatan lil ‘alamin” (membawa kesejahteraan, keselamatan dan kasih bagi segenap alam). Terutama kuat pembelaannya terhadap kaum yang tertindas, terzalimi dan terjajah, seperti kaum Muslimin di Rohingya, Uyghur, pengungsian Suriah, dan lainnya, serta tentu pembebasan Palestina dari belenggu penjajahan Zionis Israel.
Kalau hal seperti ini bisa diwujudkan, baik oleh Raja Salman atau nanti putra mahkotanya Mohamed Bin Salman (MBS), tentu dunia Islam akan merasa bersyukur. Harapan besarnya, Saudi akan mampu dan memiliki kredibilitas memimpin peradaban dunia Islam. (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)