PAGI masih muda ketika matahari perlahan menyingkap kabut tipis di Desa Sumberadi, Kebumen. Suara kokok ayam kampung bersahutan dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang keluar dari sebuah masjid tua. Dari kejauhan, suasana itu terasa meneduhkan, seolah menyapa siapa pun yang datang.
Di balik tembok sederhana masjid itu, berdiri salah satu pesantren tertua di Asia Tenggara: Pesantren Al-Kahfi Somalangu. Usianya hampir enam abad, menjadikannya bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga sejarah Islam di tanah Jawa.
Pesantren ini didirikan pada 4 Januari 1475 M, atau bertepatan dengan 25 Sya’ban 879 H, oleh seorang ulama besar dari Hadramaut, Yaman, bernama Sayyid Abdul Kahfi Al-Hasani. Beliau datang ke Jawa pada masa penyebaran Islam generasi keempat Wali Songo, dengan tekad menjadikan pendidikan sebagai jalan dakwah.
Pilihan lokasi di Somalangu bukan kebetulan. Daerah ini strategis, subur, dan terbuka terhadap ilmu baru. Dari sinilah benih peradaban Islam Nusantara tumbuh, jauh sebelum Kesultanan Demak berdiri.
Baca Juga: Jejak Darah di Tanah Suci: Fakta Kekejaman Zionis Israel
Salah satu bukti otentik usia pesantren ini adalah Prasasti Batu Zamrud Siberia. Beratnya sembilan kilogram, dengan ukiran huruf Arab dan Jawa yang menyebutkan tahun berdirinya pesantren. Hingga kini, prasasti itu masih tersimpan rapi di dalam masjid pesantren.
Saat cahaya matahari pagi mengenai prasasti, kilau zamrudnya tampak berpendar. Seakan ia ingin berbisik, mengingatkan setiap mata yang memandang bahwa di tempat inilah perjalanan panjang ilmu dan iman pernah dimulai, dan terus hidup hingga kini.
Masjid Al-Kahfi, yang berada di jantung kompleks pesantren, menjadi saksi bisu perjalanan itu. Arsitekturnya sederhana, dengan atap tumpang khas Jawa, berpadu dengan sentuhan Timur Tengah. Bangunan ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah.
Setiap langkah di serambi masjid, dengan suara kayu berderit saat diinjak, membawa pengunjung pada imajinasi masa lalu. Seakan terlihat Sayyid Abdul Kahfi duduk bersama murid-muridnya, mengajarkan tafsir dan fiqh dengan penerangan pelita minyak.
Baca Juga: Pelajaran Berharga dari Tragedi Banjir Bali: Sesajen Bukan Penolong, Allah-lah Pelindung
Kehidupan santri di pesantren ini berjalan dalam ritme yang khas. Sejak subuh, mereka sudah memulai hari dengan shalat berjamaah dan mengaji. Siang hari diisi dengan belajar kitab kuning, sekolah formal, atau kegiatan halaqah. Malam harinya kembali dengan wirid dan kajian.
Kehidupan sederhana membentuk karakter santri. Mereka tidur beralaskan tikar, makan bersama dengan menu seadanya, dan berbagi ruang dalam kebersamaan. Dari sinilah lahir kemandirian, kesabaran, dan sikap rendah hati.
“Kiai selalu mengingatkan bahwa santri bukan hanya belajar ilmu, tapi juga belajar hidup,” ujar seorang santri dengan senyum lelah usai ronda malam. Kalimat sederhana itu merangkum filosofi pesantren: ilmu tak berarti tanpa akhlak.
Sejak abad ke-15, Pesantren Al-Kahfi Somalangu sudah menjadi mercusuar ilmu agama. Kitab-kitab klasik seperti Fathul Qarib, Tafsir Jalalain, dan Ihya Ulumuddin menjadi bacaan wajib. Namun, nilai yang ditanamkan lebih dalam dari sekadar hafalan: yaitu keteladanan moral.
Dari pesantren ini, lahir banyak ulama dan tokoh masyarakat yang menyebarkan Islam ke berbagai penjuru Nusantara. Jejak mereka menjadi bukti nyata bahwa pesantren adalah agen perubahan, bukan hanya di tingkat lokal, tetapi juga dalam konteks regional.
Yang menarik, pesantren ini berdiri lebih dulu daripada Kesultanan Demak. Fakta ini menunjukkan bahwa pendidikan agama menjadi fondasi awal sebelum Islam tampil sebagai kekuatan politik di Jawa.
Kini, meski usianya hampir 600 tahun, Pesantren Al-Kahfi Somalangu tetap relevan. Mereka menjaga tradisi pengajian kitab kuning, sekaligus membuka diri pada pendidikan formal, bahasa asing, bahkan literasi teknologi. Modernisasi dipandang bukan sebagai ancaman, melainkan sarana baru untuk memperkuat dakwah.
Bagi pengunjung, suasana pesantren menghadirkan keteduhan yang sulit dilupakan. Duduk di serambi masjid, mendengar lantunan doa, atau melihat santri tekun belajar, membuat hati tersentuh. Ada kesadaran mendalam bahwa Islam di Nusantara lahir dari perjuangan panjang para ulama dan santri.
Baca Juga: Ketika Doa dan Air Mata Menyatu di Baitullah, Kisah Perjalanan Umrah Arsih Fathimah
Pesantren Al-Kahfi Somalangu adalah warisan peradaban Islam yang tak ternilai. Ia adalah simbol keteguhan dan cahaya yang terus menyala dari masa lalu hingga kini. Seperti prasasti batu zamrud yang tak lekang oleh waktu, pesantren ini mengingatkan kita bahwa ilmu, iman, dan akhlak adalah harta paling berharga yang wajib dijaga lintas generasi.[]
Mi’raj News Agency (MINA)