Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pesantren Tebuireng: Intoleransi Agama Menguat Akibat Tumbuhnya Eksklusivisme dalam Masyarakat

Rana Setiawan - Rabu, 23 November 2022 - 19:20 WIB

Rabu, 23 November 2022 - 19:20 WIB

4 Views

Jakarta, MINA – Ketua Badan Wakaf Pesantren Tebuireng (BWPT), K.H. Abdul Halim Mahfudz, menyebut intoleransi dan radikalisme agama semakin menguat karena tumbuhnya ide-ide eksklusivisme dalam masyarakat.

“Intoleransi dan radikalisme semakin menguat karena ada beberapa bidang penyebabnya yaitu agama, pergaulan sosial, apalagi yang menggunakan media sosial,” kata Kyai Nahdlatul Ulama (NU) yang biasa disapa Gus Iim itu dalam webinar internasional yang diadakan BWPT dan Institut Leimena dengan topik “Peran Pesantren Dalam Literasi Keagamaan Untuk Mencegah Perpecahan dan Memperkuat Kerjasama Antar Umat Beragama”, Selasa (22/11) malam.

Gus Iim mengatakan, pesantren adalah lembaga pendidikan asli Indonesia yang terdiri dari asrama/pondok, masjid, santri, dan fasilitas pengajaran.

Beberapa pesantren didirikan ratusan tahun lalu, bahkan sebelum Belanda tiba di Batavia tahun 1596.

Baca Juga: Lindungi Anak di Dunia Digital, Pemerintah Bentuk Tim Penguatan Regulasi

“Di pesantren, para santri diajarkan mengenai teks-teks Islam klasik di bawah pengawasan wali yang disebut sebagai Kyai. Pesantren bertujuan memperdalam ilmu Al-Quran khususnya lewat kajian bahasa Arab, hadits, hukum, dan logika,” ujar Gus Iim kepada sedikitnya 850 peserta webinar.

Gus Iim menambahkan eksklusivisme semakin membagi masyarakat dalam kantong-kantong sosial dan ekonomi.

Penafsiran Teks Agama

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar, dalam sambutannya yang dibacakan oleh Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Nisan Setiadi, menyatakan isu-isu radikalisme, ekstremisme, intoleransi dan sejenisnya telah marak, muncul dari sifat merasa benar dan yang lain salah, bahkan mengkafirkan.

Baca Juga: Indonesia Raih Juara Umum MTQ Internasional Ke-4

Dalam konteks masyarakat Indonesia, penyebutan tujuan syariat tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai yang dibawa agama seperti keadilan (‘adalah), keseimbangan (tawazun), moderat (tawasuth), dan toleransi (tasamuh).

“Pesantren harus bisa meluruskan kekeliruan seseorang dalam menafsirkan teks agama yang seringkali membuat orang memiliki pandangan sempit bahkan menciptakan tindakan ekstrem dalam beragama,” kata Boy dalam sambutannya.

Boy menegaskan ajaran toleransi dalam Islam tidak sekadar mempersilakan masing-masing menganut agamanya (lakum diinukum wa liyadiin), tapi ikut memelihara tempat peribadatan, tidak memaki, apalagi melukai dan mencederai orang lain.

“Di sinilah pesantren harus berperan memenuhi prinsip Islam, wasathiyah, dengan tidak ekstrem kanan atau kiri,” lanjutnya.

Baca Juga: Pembatasan Penggunaan Medsos Berdasarkan Usia Segera Dibelakukan

Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Alwi Shihab, mengatakan umat beragama harus memiliki kompetensi untuk mencegah fanatisme buta dan kekerasan dalam menyikapi perbedaan pandangan.

Salah satunya, kompetensi pribadi yaitu memahami ajaran agama sendiri dengan merujuk sumber utama, yaitu Al-Quran bagi umat Muslim.

Alwi mengingatkan umat Islam harus berhati-hati dengan pandangan ulama terutama yang mengajarkan intoleransi terhadap umat beragama lain. Sebab, Al-Quran dan keteladanan Nabi Muhammad SAW sendiri menunjukkan sikap toleransi yang tinggi.

“Ada kelompok yang tidak memperkenankan gereja dibangun di Cilegon atau tidak mau menerima pembangunan masjid Muhammadiyah di Aceh, itu semua sama sekali tidak Islami,” ujarnya.

Baca Juga: Cuaca Jakarta Akhir Pekan Sebagian Wilayah Diguyur Hujan

Alwi juga mencontohkan seorang ustad yang menyitir hadits Nabi bahwa mereka yang memakai celana atau jubah di bawah tumit akan masuk neraka, sehingga mendorong orang-orang memakai ‘celana cingkrang’.

Menurutnya, ucapan itu sangat berbahaya karena tidak disampaikan sesuai konteks bahwa hadits itu dimaksudkan untuk mereka yang berpakaian dibarengi arogansi atau kesombongan, serta menunjukkan kemewahan.

Wakil Presiden Asosiasi Lintas Agama G20, Dr. Katherine Marshall, mengatakan Indonesia yang saat ini mendapat sorotan dunia karena posisinya sebagai presiden G20, diharapkan bisa menunjukkan pentingnya suara pemimpin agama dalam agenda global.

“Dalam sejarah wabah atau pandemi terjadi peningkatan konflik, termasuk perang, kekerasan, polarisasi dalam masyarakat. Ini menempatkan beban besar bagi masyarakat keagamaan dan kualitas moderasi agama agar bukan menjadi moderasi yang tanggung,” ujarnya.

Baca Juga: Google Akui Kesalahan Data Nilai Tukar Rupiah ke Dolar AS

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan Deklarasi Toleransi yang ditandatangani para tokoh termasuk Kepala BNPT di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur pada 22 Oktober 2022 sejalan dengan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang dikerjakan oleh Institut Leimena dan berbagai mitra.

“Tantangan yang dihadapi masyarakat majemuk, seperti Indonesia, tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga banyak dari luar negeri, dalam bentuk pengajaran-pengajaran dan ideologi-ideologi yang dapat merusak kerukunan antar umat beragama,” pungkasnya.(R/R1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Hari Ini, Guru Madrasah Bisa Cek EMIS, Masuk PPG Daljab Angkatan I atau Berikutnya

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Feature
Indonesia
test