PETAKA YAHUDI AKIBAT HIANATI PERJANJIAN

Uray-Helwan

Uray-Helwan
Uray-Helwan

Oleh: Uray Helwan Rusli, Majelis Kutab Jama’ah (Hizbullah) Wilayah Kalimantan Barat

Dari masa ke masa senantiasa ada manusia yang serahi amanah untuk menjadi penegak kebenaran. Meski di tengah-tengah kerusakan umat, hancurnya moral dan  jauhnya manusia dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dalam lintasan sejarah jauh sebelum Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam diutus, ada sekelompok ummat yang Allah serahi untuk mengemban tugas mulia ini secara turun temurun, mereka adalah Bani .

Ketika manusia-manusia di muka bumi sibuk larut terhadap kepercayaan primitif dengan penyembahan kepada benda-benda mati dan khayalan-khayalan mistik, mereka sudah tampil sebagai manusia beradab yang mengemban risalah kenabian: Tauhidullah.

Allah kisahkan dalam Al Quran bahwa Nabi Israel (sebutan untuk Nabi Ya’kub alaihissalam) menjelang wafat beliau mewasiyatkan kepada anak cucunya (yakni Bani Israel) suatu wasiyat ketauhidan, tidak boleh menyembah selain hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seperti yang diabadikan dalam Al-Qur’an berbunyi:

 

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Artinya: Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. QS. Al Baqarah:133.

Perihal ketauhidan ini menjadi perjanjian yang teguh antara mereka dengan Allah. Karena Allah yang senantiasa memberi kenikmatan kepada mereka dan menyelamatkan mereka dari berbagai malapetaka, wajib disyukuri dengan menyempurnakan ketauhidan dan kesungguhan beribadah kepada Nya. Dalam ayat lain Allah tegaskan dalam kalimat penekanan yang dahsyat kepada Bani Israel bahwa mereka diperintahkan untuk tunduk ketika memasuki Baitul Maqdis dan tidak melanggar peraturan mengenai hari “Sabat”. Untuk ini Allah telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.

 

وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُواْ الْبَابَ سُجَّداً وَقُلْنَا لَهُمْ لاَ تَعْدُواْ فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً

Artinya: Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: “Masuklah pintu gerbang (Baitul Maqdis) itu sambil bersujud”, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu”, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh (mitsaqon gholizho). QS. An Nisa:154.

 

Dalam Al Quran kalimat mitsaqon gholizho (perjanjian yang teguh) hanya disebutkan tiga kali. Pertama, dalam surah An Nisa:21, yang memuat tentang sakralnya prosesi pernikahan karena dengan hanya beberapa kalimat ijab qobul semua yang tadinya diharamkan menjadi halal. Kemudian yang kedua, masih dalam surah yang sama dan telah disebutkan di atas, QS. An Nisa:154.

Terakhir, kalimat mitsaqon gholizho dalam surah Al Ahzab ayat 7. Allah mengambil perjanjian dari para Nabi, secara urut disebutkan dalam ayat tersebut: Muhammad, Nuh, Ibrahim, dan putra Maryam. Perjanjian apa itu, sehingga Allah menggunakan kalimat selevel mitsaqon gholizho? Dalam ayat lain dijelaskan, bahwa secara khusus disebutkan lima orang Nabi mulia ini mendapat syariat yang telah diwasiyatkan dari Allah yakni: menegakkan addien dan jangan perpecah belah di dalamnya (an aqimuddin wala tatafarroqu fiih). (QS. Asyuura:13).

Khusus untuk Bani Israil, perjanjian teguh (mitsaqon gholizho) yang Allah ambil dari mereka mendapat penekanan yang lebih berat. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Bani Israel memegang suatu amanat yang besar dari Allah. Bahkan kalau kita bandingkan ketiga ayat yang memuat kalimat mitsaqon gholizho tersebut, maka ayat yang dalam konteks Bani Israel (QS. An Nisa:154)  penekanannya lebih dahsyat. Mengapa? Lihatlah Allah mengawali ayat tersebut dengan kalimat:

“Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina…”. 

Dalam Tafsir Muqatil ibn Sulaiman disebutkan kalimat tersebut (وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ) dimaksudkan dengan: Malaikat Jibril alaihissalam yang mengangkat gunung di atas kepala mereka (Tafsir Muqatil ibn Sulaiman, Juz I, Hal. 419 / CD Maktabah Syamilah).

Ini seolah-olah akan dikatakan kepada mereka, “awas jangan main-main, kalau tidak, bukit Thursina ini akan dijatuhkan keatas kepala kalian semua”. Kalau penulis ibaratkan, seseorang yang sedang diambil sumpah jabatannya agar amanah, tentu akan menjadi lebih bersungguh-sungguh bila di depannya moncong senjata dari regu penembak siap memuntahkan peluru jika janji dilanggar.

Perihal Allah mengangkat bukit Thursina ketika mengambil janji dari Bani Israel disebutkan dalam Al Quran berkali-kali (termasuk ayat di atas). Ayat-ayat lainnya adalah: QS. Al Baqarah:63 dan 93, serta Al A’raf:171. Insya Allah semua ayat tersebut merujuk pada peristiwa yang sama.

Mengapa kalimat mitsaqon gholizho ketika dalam konteks Bani Israel harus diberi penekanan yang kuat dari dua yang lainnya? Allah Maha Mengetahui, bahwa Bani Israel punya hasrat yang kuat untuk melanggarnya, maka penekanannya harus lebih dari yang lain.

Dua hal yang harus diperhatikan oleh Bani Israel yang berkaitan dengan mitsaqon gholizho. Pertama“Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud”. Ibnu Katsir menafsirkan kata al baaba  (gerbang) sebagai Baitul Maqdis. Dalam surah lain disebutkan ayat-ayat yang serupa dengan persitiwa ini. Seperti pada Al Baqarah ayat 58 dan surah Al Maidah ayat 21 dan 23.

 

وَاِذۡ قُلۡنَا ادۡخُلُوۡا هٰذِهِ الۡقَرۡيَةَ فَکُلُوۡا مِنۡهَا حَيۡثُ شِئۡتُمۡ رَغَدًا وَّادۡخُلُوا الۡبَابَ سُجَّدًا وَّقُوۡلُوۡا حِطَّةٌ نَّغۡفِرۡ لَـكُمۡ خَطٰيٰكُمۡ‌ؕ وَسَنَزِيۡدُ الۡمُحۡسِنِيۡنَ

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik”. QS. Al Baqarah:58.

 

يٰقَوۡمِ ادۡخُلُوا الۡاَرۡضَ الۡمُقَدَّسَةَ الَّتِىۡ كَتَبَ اللّٰهُ لَـكُمۡ وَلَا تَرۡتَدُّوۡا عَلٰٓى اَدۡبَارِكُمۡ فَتَـنۡقَلِبُوۡا خٰسِرِيۡنَ‏ ﴿۲۱﴾

Artinya: Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. QS. Al Maidah:21.

قَالَ رَجُلٰنِ مِنَ الَّذِيۡنَ يَخَافُوۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰهُ عَلَيۡهِمَا ادۡخُلُوۡا عَلَيۡهِمُ الۡبَابَ‌ۚ فَاِذَا دَخَلۡتُمُوۡهُ فَاِنَّكُمۡ غٰلِبُوۡنَ‌  ‌ۚ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوۡۤا اِنۡ كُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِيۡنَ‏ ﴿۲۳﴾

Artinya: Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”  QS. Al Maidah:23.

 

Ayat-ayat tersebut merujuk pada peristiwa Nabi Musa alaihissalam dan Bani Israel yang Allah perintahkan untuk memasuki Baitul Maqdis setelah mereka berhasil keluar dari Mesir dengan kekalahan di pihak Firaun dan bala tentaranya yang Allah tenggelamkan di laut Merah.

Kita kembali pada ayat 154 surah An Nisa di atas. Allah perintahkan Bani Israel masuk ke gerbang Baitul Maqdis dengan bersujud atau tunduk. Menurut hemat penulis, perintah ini mengandung makna yang futuristik, bukan sekedar gerakan menundukkan kepala atau merubah posisi diri dengan  menyungkurkan dahi ke tanah. Namun lebih dari itu. Perintah itu turun dari Robbil ‘Izzati Yang Maha Mengetahui. Termasuk terhadap apa yang akan terjadi dikemudian hari. Ketundukan atau sujud menunjukkan ketaatan, lawan kata dari kemaksiyatan.

Jadi sejak awal ketika mereka akan memasuki gerbang Baitul Maqdis mereka telah diwanti-wanti oleh Allah untuk tunduk menjaga kesucian Baitul Maqdis, karena pada waktu itu tidak ada ummat penegak Al Haq melainkan mereka. Jadi mereka sejak awal telah diserahi amanah untuk menjaga kesuciannya dan memuliakannya. Bukan malah bermaksiat dengan melecehkan bahkan berniat untuk menghancurkannya. Kemudian futuristik maksudnya, wanti-wanti dari Allah ini tetap berlaku hingga akhir zaman, dan lebih tegas lagi ketika mereka dapat mengalahkan musuh-musuhnya dan kembali ke Yerusalem maka hendaknya mereka harus ingat: Masuk ke Baitul Maqdis dengan tunduk merendahkan diri, kalau tidak  maka Bukit Thursina akan Allah timpakan ke atas kepala mereka, atau azab yang setimpal dengan itu.

Pertanyaannya adalah sejauh mana mereka mentaati perintah ini?

Kehancuran demi kehancuran

Bukan kalau tidak membangkang. Tidak ada perintah yang sampai ke telinga mereka melainkan mesti ditolak atau diubah matan perintahnya agar sesuai dengan  keinginan mereka. Begitupula terhadap perintah yang ditekankan oleh Allah dengan kalimat dahsyat ini, selevel mitsqon gholizho,  bahkan diwanti-wanti dengan bukit Thursina yang diangkat di atas kepala mereka, lalu perkataan yang mereka haturkan kepada Allah adalah “Kami dengar tapi kami maksiyati”. Al Quran mengungkap pembangkangan mereka ini:

 

 وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا ءَاتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاسْمَعُوا قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab: “Kami mendengar tetapi tidak mentaati”. Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: “Amat jahat perbuatan yang telah diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat). QS. Al Baqarah:93.

 

Level keimanan mereka yang buruk benar-benar terlihat pada tindak tanduk mereka. Tidak hanya buruk, mentalnya ditambah pengecut. Di awal perintah untuk memasuki gerbang Baitul Maqdis mereka telah tolak secara-terangan, kemudian Nabi Musa mengajak mereka untuk sama-sama berjuang melawan kaum yang menguasai Baitul Maqdis waktu itu, mereka juga tidak mau malah menyuruh Nabi Musa untuk berjuang bersama Robb-nya (tercantum dalam QS. Al Maidah:24). Ini menjadi awal yang buruk  interaksi mereka dengan Baitul Maqdis.

Selanjutnya ketika mereka benar-benar berperang pada masa Raja Thalut, mereka berangkat dengan perasaan ogah-ogahan. Disaat pemimpin mereka, Raja Thalut melarang untuk meminum air sungai sebagai ujian keimanan,  kecuali seciduk maka sebagian besar mereka melanggarnya. Begitupula ketika mereka benar-benar berhadapan dengan tentara musuh, sebagian besar mereka berbalik ke belakang  (diceritakan dalam QS. Al Baqarah:246-251). Itulah perjuangan mereka untuk menguasai Bumi Al Quds. Perjuangan yang didukung oleh kumpulan jasad yang memiliki hati dengan keimanan dangkal. Perjuangan yang tidak layak untuk diikuti. Kecuali orang-orang yang sholeh diantara mereka.

Namun Allah Berkehendak untuk menyempurnakan kalimat-Nya. Bani Israel Allah anugerahkan kemenangan melalui kesungguhan beberapa orang yang sholeh termasuk Daud kecil.  Akan tetapi pembangkangan tidak pernah berakhir dari karakter Bani Israel. Ketika Daud alaihissalam berhasil mempersatukan Bani Israel, kemudian beliau memuliakan Baitul Maqdis dan menjadikannya tempat munajat kepada Allah. Ternyata generasi setelahnya (dan setelah Nabi Sulaiman alaihissalam) kembali memperlihatkan keburukan sifat. Mereka tidak bahu membahu untuk menjaga dan memelihara kesucian Baitul Maqdis sebagaimana seharusnya yang Allah perintahkan kepada mereka, tapi justru saling berebut kekuasaan. Sehingga kemudian kota Yerusalem diserang oleh musuh (Nebukadnezzar) dan disamaratakan dengan tanah. Mereka banyak yang dibunuh, ditawan dan dijadikan budak dan terusir dari negeri.

Sebenarnya kalau dikembalikan kepada QS. An Nisa:154 di atas, mengenai perintah Allah yang pertama yakni agar mereka masuk ke Baitul Maqdis dengan ketundukan, maka peristiwa tragis serangan dari raja Babilonia itu pada dasarnya adalah realisasi hukuman kepada mereka karena mengabaikan perintah Allah tersebut. Ingat penjelasan di atas,  Allah telah wanti-wanti dengan mengangkat bukit Thursina ke atas kepala mereka, dan menekankan perintah tersebut dengan kalimat mitsaqon gholizho. Seakan-akan dikatakan kepada mereka  kalau tidak mentaati bukit ini akan dijatuhkan kepada mereka. Kenyataannya mereka hiasi perilaku mereka dengan satu pembangkangan dan dilanjutkan dengan pembangkangan berikutnya. Serangan Nebukadnezzar adalah “bukit Thursina yang dijatuhkan ke atas mereka”. Mereka hancur seketika.

Lagi-lagi Allah berkehendak untuk melanjutkan kisah Bani Israel. Mereka memang Allah taqdirkan untuk berumur panjang, tidak punah sebagaimana ummat-ummat tedahulu yang Allah azab karena kemaksiyatannya hingga punah. Kisahnya masih berlanjut. Mereka kemudian bisa membangun kembali kota Yerusalem termasuk Baitul Maqdis di dalamnya berkat bantuan penguasa Persia kala itu (Al Khursy). Orang-orang sholeh memang senantiasa ada di antara komunitas buruk. Persia dikalahkan Yunani.  Orang-orang Yahudi di bawah kekuasaan Yunani yang beragama Helenisasi. Akhirnya keyakinan mereka pun tercampuraduk dengan mitos dewa-dewa Yunani. Tidak cukup sampai si situ, mereka kemudian bersekongkol untuk membunuh para Nabi yang Allah utus kepada mereka, Nabi Zakaria, Yahya dan Isa alaihimussalam. Namun Nabi Isa, Allah selamatkan dari kekejian mereka tersebut. Sebagai hukuman terhadap kekejian ini, Allah datangkan raja zalim (Kaisar Romawi) yang menghancurkan mereka.  Kembali Yerusalem disamaratakan dengan tanah dan orang Yahudi dibinasakan.  Kehancuran ini ibarat bukit Thursina yang dijatuhkan ke atas mereka.

Apakah “hukuman bukit Thursina yang dijatuhkan di atas mereka”, berakhir sampai di sini? Ancaman ini terus berlanjut, seiring dengan perilaku buruk yang mereka perlihatkan. Seharusnya mereka menjunjung tinggi kemuliaan Baitul Maqdis dengan tetap menjadikannnya  sebagai Masjid sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al Quran, dan begitupula yang telah diperbuat oleh Nabi-nabi terdahulu (Dawud dan Sulaiman alaihimussalam). Karena tindakan seperti itulah yang sejalan dengan perintah: “Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud”, agar hukuman “dijatuhkannya Bukit Thursina” tidak tertimpa kepada mereka lagi.  Namun yang terjadi mereka pun mengulangi kembali kejahatan terdahulu. Pelecehan terhadap Pintu Gerbang itu (maksudnya masjid Al Aqsha) kembali mereka lakukan. Mereka berniat menghancurkannya, melarang orang-orang lain yang justru akan berbuat untuk memakmurkannya dan bergerak sistematis akan menggantikannya dengan Kuil Ketiga. Seperti hukuman yang telah diterima sebelumnya, kali ini pun mereka akan rasakan, yakni: “…(Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (QS. Al Isra:7)

Ya, mereka akan dihancurkan ketika saatnya tiba. Ini sekaligus sebagai kehancuran akhir zaman bagi mereka, dan ini ibarat bukit Thursina yang dijatuhkan ke atas mereka, sebagaimana yang terdapat pada QS. Annisa:154. Wallahu a’lam.

Sampai disini  muncul pertanyaan kita apakah dengan keburukan interaksi mereka terhadap Baitul Maqdis yang mereka pertontonkan dari zaman ke zaman itu masih bisa dikatakan  layak dikemudian hari untuk menjadi pewarisnya? Seharusnya orang-orang Yahudi sadar diri, bahwa mereka lebih banyak melecehkan dari pada menghormatinya dan mereka penuh dengan kemaksiyatan terhadap perintah Allah untuk tunduk di Baitul Maqdis ketimbang ketaatan. Tapi bukan Yahudi kalau kemudian sadar diri. Itulah mereka yang kita hadapi kini. Dan itulah sebabnya sejak Rasul Akhir zaman di utus, mereka bukan lagi pewaris Baitul Maqdis.

Kedua, “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu”. Bagi Bani Israel hari Sabtu adalah hari yang diistimewakan. Mereka diperintahkan untuk menghormatinya dan beribadah atasnya. Ini adalah bagian dari syariat yang Allah tetapkan atas Bani Israel. Allah sebutkan dalam Al Quran tentang kewajiban hari Sabtu ini:

اِنَّمَا جُعِلَ السَّبۡتُ عَلَى الَّذِيۡنَ اخۡتَلَفُوۡا فِيۡهِ‌ؕ وَاِنَّ رَبَّكَ لَيَحۡكُمُ بَيۡنَهُمۡ يَوۡمَ الۡقِيٰمَةِ فِيۡمَا كَانُوۡا فِيۡهِ يَخۡتَلِفُوۡنَ‏ ﴿۱۲۴﴾

Artinya: Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu. QS. An Nahl:124.

Penghormatan yang wajib mereka lakukan pada hari Sabtu adalah mengkhususkannya untuk ibadah dengan meninggalkan segala bentuk kegiatan-kegiatan keduniawian. Sebagai gambaran di bawah ini dicantumkan dua kumpulan ayat dalam kitab perjanjian lama, yang memuat penekanan betapa pentingnya hari Sabtu. Berikut ini adalah petikannya:

Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: Enam hari lamanya engaku akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya. (Keluaran 20:8-11).

Berfirmanlah Tuhan kepada Musa: “Katakanlah kepada orang Israel, demikian: Akan tetapi hari-hari  Sabat-Ku harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan antara Aku dan kamu, turun temurun, sehingga kamu mengetahui, bahwa Akulah Tuhan, yang menguduskan kamu. Haruslah kamu pelihara hari Sabat, sebab itulah hari kudus bagimu; siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat itu, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya.  Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian penuh, hari kudus bagi Tuhan: Setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari sabat, pastilah ia dihukum mati. Maka haruslah orang Israel memelihara hari Sabat, dengan merayakan Sabat, turun temurun. Menjadi  perjanjian kekal. Antara Aku dan orang Israel maka inilah suatu peringatan untuk selama-lamanya, sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan  bumi dan pada hari yang ketujuh ia berhenti bekerja untuk istirahat”. Dan Tuhan memberikan kepada Musa, setelah Ia selesai berbicara dengan dia di Gunung Sinai, kedua loh hukum Allah, loh batu yang ditulisi oleh jari Allah. (Keluaran 31:12-18).

Namun apa yang mereka lakukan terhadap hari Sabtu? Apalagi kalau bukan pelanggaran. Mereka tidak peduli bahwa perintah untuk menghormati hari Sabtu sangat ditekankan oleh Allah dengan Perjanjian yang Kokoh (mitsaqon gholizho) dan bukit Thursina diangkat di atas kepala mereka. Sebagaimana perintah-perintah sebelumnya, kali ini pun tanpa ragu mereka maksiyati.

Al Quran menyebutkan pembangkangan mereka ini:

وَسۡـــَٔلۡهُمۡ عَنِ الۡـقَرۡيَةِ الَّتِىۡ كَانَتۡ حَاضِرَةَ الۡبَحۡرِ‌ۘ اِذۡ يَعۡدُوۡنَ فِى السَّبۡتِ اِذۡ تَاۡتِيۡهِمۡ حِيۡتَانُهُمۡ يَوۡمَ سَبۡتِهِمۡ شُرَّعًا وَّيَوۡمَ لَا يَسۡبِتُوۡنَ‌ ۙ لَا تَاۡتِيۡهِمۡ‌‌ ۛۚ كَذٰلِكَ ‌ۛۚ نَبۡلُوۡهُمۡ بِمَا كَانُوۡا يَفۡسُقُوۡنَ‏ ﴿۱۶۳﴾

Artinya: Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. QS. Al A’raf:163.

 

Akibatnya hukuman Allah turun untuk mereka. Mereka dilaknat oleh Allah menjadi kera yang hina. QS. Al Baqarah ayat 65, memuat tentang hal ini:

وَ لَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِيْنَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خَاسِئِيْنَ

Artinya: Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”.

 

Dalam ayat lain juga disebutkan:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اُوۡتُوا الۡكِتٰبَ اٰمِنُوۡا بِمَا نَزَّلۡنَا مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ نَّـطۡمِسَ وُجُوۡهًا فَنَرُدَّهَا عَلٰٓى اَدۡبَارِهَاۤ اَوۡ نَلۡعَنَهُمۡ كَمَا لَعَنَّاۤ اَصۡحٰبَ السَّبۡتِ‌ؕ وَكَانَ اَمۡرُ اللّٰهِ مَفۡعُوۡلًا‏ ﴿۴۷﴾

 

Artinya: Hai orang-orang yang telah diberi Al Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al Quran) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu sebelum Kami mengubah muka (mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku. QS. An Nisa:47

 

Perintah yang pertama mereka maksiyati, maka hukumannya dihancurleburkan oleh penguasa tiran Nebukadnezzar dan Pasukan Romawi, maka terhadap pembangkangan perintah yang kedua ini hukumannya adalah laknat dari Allah, mereka menjadi kera yang hina. Lagi-lagi ingat naskah perintah di atas “bukit Thursina diangkat di atas kepala mereka” dan di kokohkan dengan mitsaqon gholizho. Perintahnya dengan penekanan yang dahsyat maka ancamannya juga berat. Dikutuk menjadi kera yang hina, ibarat “bukit Thursina yang dijatuhkan ke atas mereka”. Wallahu a’lam.

Begitulah Bani Israel, petaka senantiasa menimpa mereka lantaran perbuatan buruk  yang selalu mereka lakukan yakni pengkhianatan terhadap perjanjian yang telah Allah kukuhkan kepada mereka: Mitsaqon Gholizho, perjanjian yang teguh. Wallahu a’lam.(L/P004/R03)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0