Pilar-Pilar Pengembangan Madrasah

Oleh: Nur Kholis Setiawan, Direktur Pendidikan Madrasah Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama RI

Madrasah sebagai sebuah lembaga atau institusi yang luar biasa besar di Indonesia telah melahirkan berbagai konsekuensi terutama bagi pengelolanya, dalam hal ini Direktorat Pendidikan Madrasah Kemenag RI. Banyaknya program dan kegiatan akan banyak menyita waktu dan tenaga bagi pengelolanya. Ini merupakan bagian dari konsekuensi pengabdian seseorang yang diberi amanah untuk mengawal sekaligus memperbaiki madrasah.

Melihat begitu banyaknya kegiatan dan program yang menyibukkan semua penyelenggara dan berbagai pihak, maka sudah saatnya profil anggaran itu bisa berorientasi kepada manusia. Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) di Ditpenma harus berorientasi pada kemuanusiaan. Logikanya, dalam setiap kegiatan harus ada tahap-tahap persiapan, pelaksaaan dan ada pelaporan. Di setiap tahap tersebut harus mempertimbangkan sisi kesejahteraan pengelolanya.

Empat Pilar dari Ibnu Hajar Al-Asqalani

Dalam konteks di atas, saya teringat dengan kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Kitab ini merupakan Syarah kitab Sahih al-Bukhori. Dalam Muqaddimah Fahtul Barri, Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan: La budda ‘ala at-Thalib min ayyakuna lahu Kutubun Sihhah, Aqlun Rajjah, Asatizun Mursyidah wa Bulghatun Mumkinah. Muqaddimah ini akan saya kaitkan dengan signifikasi pengelolaan madrasah.

Wajib bagi seorang pelajar untuk memiliki empat syarat yang disebutkan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Pertama, kutubun sihhah (buku rujukan yang bagus). Ini artinya anak-anak madrasah sesuai dengan usianya, MI, MTs, MA harus mendapatkan buku rujukan yang sesuai dengan tingkat kebutuhan, berorintasi pada pengembangan keilmuan.

Dalam Usul Fikih, ada kaidah Ma layatimmul wajib illa bihi fahuwa wajibun. Ketika belajar hukumnya wajib, maka sarana pembelajaran menjadi wajib. Pemerintah wajib memberikan fasilitas termasuk buku yang berkualitas.

Kedua‘Aqlun rajjah, daya pikir yang lurus atau daya pikir yang berientasi pada kreativitas. Direktorat Pendidikan Madrasah (Ditpenma) memiliki kegiatan atau program Aksioma dan KSM yang mewadahi kreativitas siswa-siswi madrasah. Jadi pengelola madrasah harus memiliki nawaitu yang lurus yakni mendesiminasikan pikiran cerdas madrasah. Jangan sekali-kali cari untung. Sayang sekali sudah capek-capek, pahalanya berkurang hanya karena mencari keuntungan pribadi atau kelompok.

Ditpenma harus bisa melahirkan generasi pemikir yang cerdas berieintasi masa depan, mereka perlu dipancing dengan satu kegiatan yang sifatnya kompetitif, sehingga mereka terbiasa dengan lingkungan kompetitivenesss.  Kalau dibudayakan begitu pasti nalar mereka akan berbeda. Model reward di RA itu merupakan proses memancing dan membudayakan kompetitiveness. Anak-anak ini dalam telaah psikologis memiliki dorongan untuk lebih maju. Mereka akan sangat terdorong ketika ada impetus harapan.

Saya tidak pernah membayangkan bisa menjadi seperti sekarang ini, sebagai anak kyai desa, di lingkungan yang sangat terbatas ekonominya. Dulu, ketika masih kecil, saya sering berjumpa dengan tamu ayah saya yang datang dari jauh/luar daerah. Ada satu situasi di masa kanak-kanak ketika saya melihat figur yang memilik prestasi, kemudian saya mengindentikkan agar bisa seperti mereka. Makanya ada doa Allahummaj’al mislahu.

Tapi sayang sekali anak-anak sekarang yang dilihat adalah tarian Korea, joget dan lagu yang berorientasi pada seks. Nah, posisi kita adalah memberikan wacana lain dalam hal mendorong prestasi. Yakni generasi yang  petarung dan kreatif.

KetigaAsatidu mursyidah, guru-guru yang memberikan petunjuk.  Saya tidak pernah terpana pada model dan sistem pendidikan Barat. Kita lebih kaya dengan filosofi Islam. Agar peserta didik tidak menjadi Kebarat-baratan, maka kita harus mengubah cara mengajar dan paradigma pendidikan kita.

Apa yang ditulis Ibnu Hajar ini harus menjadi mindset pendidikan madrasah. Bagaimana menjadi guru yang mencerahkan, guru yang menjadi icon, uswah bagi para siswa di madrasah. Kalau misalnya guru perlu di-S2-kan, pasti kita akan buat skema untuk menyeklahkan mereka ke S2, begitu juga yang ingin melanjutkan ke S3 dan berbagai macam pola lain. Akhir tahun kita siapkan dana untuk plesir, memplesirkan guru-guru ke luar negeri. Ini untuk memancing agar guru-guru mau berprestasi hingga mereka menjadi icon bagi peserta didik.

Keempatwabulgatun mumkinatun, logistik yang memadai. Logikanya kuat, logistinya tidak ada, maka tidak akan kemana-mana. Pengadaan Barang dan Jasa banyak jumlahnya, namun dana BOS kurang. Kondisi ini juga menghambat proses belajar mengajar di madrasah. Oleh sebab itu, semua perencanaan harus dibangun di atas idealitas tersebut. Jika ada program yang tidak sesuai dengan dealitas tersebut, maka harus segera direvisi. Statemen Ibnu Hajar di atas bisa menjadi bekal penting dalam memperbaiki madrasah ke depan.

Pilar-pilar dari Ibnu Athaillah

Ditpenma memiliki banyak program dan kegiatan yang dilingkupi dengan kompleksitas aturan-aturan keuangan. Konsekuensinya direktorat ini memiliki  jumlah dana yang besar namun waktunya sangat terbatas untuk membelanjakan dana tersebut.  Ada lima subdit dan satu tata usaha. Sementara setiap hari harus melakukan kerja yang sama dengan pintu yang sama pula. Sehingga tidak ada batas waktu TUP yang meniscayakan semua kegiatan harus dilaksanakan.

Baca Juga:  Hai Israel, Apa Salah Indomie?

Saya cukup memahami kondisi tersebut. Hanya memang perlu ada strategi, agar kekosongan-kesosongan yang ada di kantor itu tidak terjadi.

Dalam konteks tersebut saya ingin menyitir kata-kata Ibnu Athaillah dalam kitab al-Hikam. Ada satu kalimat yang mendalam terkait dengan hal di atas, yakni ma shahibaka illa man shohibaka wahuwa biaidika aduwwun. Artinya bukanlah seorang sahabat yang sejati kecuali ia kemudian menjadi sahabat setelah mengetahui kekurangan sahabatnya itu.

Kalimat tersebut muncul dalam konteks persahabatan atau persaudaraan. Saya akan menariknya ke dalam konteks teamwork. Dalam teori friendship, biasanya orang berteman karena ada kepentingan/sesuatu. Kita mau berteman karena orang tersebut memiliki kualitas tasurrun nadhirin, karena ada beauty, layak dipandang. Ini biasa terjadi di dalam kehidupan. Namun orang tidak mau berteman setelah mengetahui aib atau kekurangan temannya. Tentu saja ini manusiawi. Termasuk juga ketika seseorang akan berbisnis, berdagang dan berniaga.

Ibnu Athaillah memperingatkan kita bahwa sahabat yang sejati yang kemudian menjadi teman beneran setelah mengetahui kekurangan temannya tadi. Rapat kerja ini agendanya membahas program bersama, merumuskan strategi bagaimana dalam waktu yang terbatas itu serapan bisa dijalankan, serta menentukan indikator kinerja–sebagai paradigma baru dalam auditing. Sekarang kegiatan bukan semata-sema hanya difokuskan pada output, tidak sekadar melaksanakan, tetapi kemudian mencoba untuk melihat sekaligus mendapatkan outcome, ada dimensi yang berjangka pandang dan keseriusan tersendiri.

Kalau mungkin selama ini para eksternal viewer yang cukup instens di Litbang, mengenal Pendis itu luar biasa karena dananya banyak, nyebar kemana-mana. Yang didengungkan itu nyebarnya, karena di mana-mana ada Pendis khususnya madrasah. Kasubdit madrasah hampir tidak pernah di rumah karena banyaknya kegiatan. Jadi, situasi yang terlihat yang nyebar tadi tentu tidak mudah kita jawab. Karena itu, harus kita sebar kemanfaatannya. Ada dimensi kemanfaatan yang bisa diraih dan masuk dalam dimensi amal jariyah. Kita upayakan menciptakan suatu suasana (enviroment) madrasah menjadi lembaga tujuan bukan alternatif atau pilihan kedua dan seterusnya.

Maka menjadi konsen bersama, bagaimana limited time ini tidak menjadi kendala. Kita harus berpikir keras serta kreatif dalam melakukan sofistikasi-sofistikasi administrasi serta saling membantu antar sesama bagian. Ketika ada program koordinasi kesiswaan atau kelembagaan atau kurikulum sertifikasi -saya menghitung ada 160 kegiatan untuk Ditpenma – itu  belum yang berperiode. Bisa kita bayangkan mulai efektif awal Juli dan harus selesai akhir November ini. Tentu  akan sangat menguras waktu.

Oleh sebab itu, saya menyarankan kepada semua untuk mendahulukan prioritas. Dirjen sudah menginstruksikan kepada para direktur untuk menyelesaikan program prioritas, salah satunya bantuan sosial sebanyak Rp425 miliar. Bantuan ini kalau didukung dengan sistem informasi yang baik pasti akan mempermudah kerja, meskipun tidak 100%. Kita bisa awali dengan melakukan beberapa kali konsinyering dengan kasubdit. Kita akan padukan sehingga sistem informasi ini yang akan mempermudah dan akan memberikan rambu-rambu. Sehingga gangguang dalam mengelola  bantuan sosial bisa diminimalisir.

Jadi, dengan prinsip prioritas ini, kegiatan yang akan diselenggarakan selama akhir bulan Juli,  tentu disela-sela waktu yang masih ada mekanisme bantuan sosial ini bisa dikawal.

Untuk persiapan 2014 saya sudah sampaikan argumentasi ke Dirjen, bahwa masing-masing subdit perlu ada unit-unit pelaksana. Saya menghitung beban subdit sudah sangat overload bila dilihat dari sdm yang ada. Di subdit pendidik dan tenaga kependidikan banyak sekali tugas yang belum selesai diantaranya adalah sertifikasi guru madrasah, angka kredit dan beban kerja lainnya yang tidak mungkin hanya ditangani oleh lima belas orang. Begitu juga di subdit-subdit lainnya.

Melihat terbatasnya SDM dan banyaknya kegiatan, apakah mungkin kita bisa membantu atau meningkatkan gengsi kompetensi sains madrasah?  Saya juga akan mencoba komunikasi dengan para saintis internasional. Ketika memupunyai kegiatan AKSIOMA, KSM, BOS, BSM rasanya tidak mungkin hanya ditangani oleh 15 orang. Itu tidak akan menyelesaikan. Beban yang harus dibawa oleh para kasubdit dan bawahannya begitu banyak.

Dalam mengatasi hal ini, sekarang kita godog payung yurisprudensi, yakni PMA tentang Penyelenggaran Madrasah. Kita sudah memiliki UPAN, UP3, Unit Pelaksana Akreditasi Kelembagaan. Kalau kita sudah punya unit pelaksanaan, maka logistiknya bisa digulirkan. Saya minta agar diagendakan untuk melihat dilihat kemungkinan-kemungkinan pengadaan unit di subdirektorat.

Selain itu, kerjasama-kerjasama dengan pihak asing atau lembaga pemerintah juga perlu dibuka. Saya juga sudah melakukan pendekatan untuk membuka kemungkinan kerjasama dengan AMINEF, yakni mencari relawan-relawan dari AMINEF untuk mengajar di madrasah. Maka di subdit harus ada pelaksana yang in charge  di posisi tersebut.

Rasanya harus ada analisis human resource dengan beban yang akan ditanggungnya. Kalau sudah dianalisis dan ketahuan hasilnya bahwa kita memerlukan banyak staf dan selanjutnya tinggal kita sinergikan saja. Maka hal ini perlu diagendakan dalam sidang komisi.

Terkait dengan dengan skala prioritas—saya  melihat ke depan—ketika kita mencoba berpikir out of the box. Madrasah adalah kontributor terpenting bagi peradaban Islam nusantara. Saya belajar dari kegagalan sistem pendidikan Islam yang dipegang oleh Menteri Pendidikan, Daud Yoesoef. Pada masa beliau, perguruan tinggi negeri Islam tidak bisa menerima alumni pesantren. Selain itu, yang masuk di PTAI itu adalah alumni yang tidak lulus di UGM, UI dan perguruan tinggi lainnya, di mana calon mahasiswa tersebut banyak berasal dari SMA/SMK.

Baca Juga:  Hai Israel, Apa Salah Indomie?

Selama madrasah yang memiliki kualitas yang bagus, maka alumninya tidak hanya masuk PTAI, tetapi juga bisa masuk di PTN. Yang sekarang terjadi adalah siswa SMA/SMU banyak tidak lulus masuk PTN sehingga mereka mendaftar ke IAIN. Mereka terpaksa menerima itu. Ini tidak boleh terjadi di dalam sejarah Islam.

Maka Kemenag menangani dari RA sampai Perguruan tinggi. Saya berpihak bahwa madrasah memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk generasi terbaik Islam. Geliat terbaru, siswa Insan Cendekia dalam hal sains mampu sejajar dengan alumni perguruan tinggi dan luar negeri. Persoalan kemudian adalah bagaimana dengan siswa madrasah yang meambil program yang bukan sains. Ini perlu kita pikirkan. Kita sudah membahas PMA tentang Penyelenggaraan Madrasah dan akan segera keluar. Keluarnya PMA akan membuka pintu yang sangat luas bahwa madrasah untuk berkreasi, mungkin akan ada lagi seperti MAPK dan lain-lain. Ini yang perlu kita dorong.  regulasi juga harus diatur untuk memanyungi madrasah.

Madrasah menjadi penyumbang penting dalam pengembangan Islamic Higher Education, karena itu, kita memiliki prideness  (kebanggaan) tersendiri. Saya ingin sedikit cerita tentang negara Jerman. Di sana ada institusi yang konsen untuk menciptakan guru agama Islam. Institusi tersebut berada di bawah Fakultas Theology dan dibackup habis-habisan oleh negara. Pasca tragedi 11 September 2001, Islam yang semula tidak pernah direken di sekolah baik oleh guru maupun pemerintah, kemudian mulai diperdebatkan dan dipelajari.

Statistik muslim semakin berkembang di Eropa. Orang Eropa tidak mau memiliki anak dengan berbagai alasan seperti alasan hak, fisik dan medis. 85%  bayi yang terlahir dari rahim orang Eropa asli itu minimal autis. Mereka terbiasa mengkonsumsi alkohol baik laki-laki maupun perempuannya. Itu berdampak pada kesehatan. Mereka paling benci dengan anak. Sampai pemerintah itu memberikan tunjangan bagi yang mereka mau melahirkan anak sebesar 400 ribu Euro atau sekitar 70 juta, belum santunan lainnya. Persoalan bukan karena uang, emansipasi, hak, medis, dan gengsi.

Kondisi tersebut kemudian dinikmati orang asing (imigran)  yang muslim dari Turki dan Timur Tengah. Mereka akan beranak pinak di sana. Coba banyakan, dalam waktu 25 tahun terakhir, perbandingan angka kematian dan kelahiran adalah  1 banding 10. Komunitas muslim di Jerman ini mendapatkan perlakuan yang sama seperti warga negara asli, karena mereka sudah memenuhi undang-undang keimigrasian, meskipun pada awalnya praktiknya berbeda.

Konsekuensinya di seluruh sekolah-sekolah di Jerman diajarkan agama Islam. Banyak profesor muslim baik muslim Jerman atau keturunann, tenaga edukasinyapun juga muslim. Institusi ini hanya mampu melahirkan 200 guru pertahun. Padahal kebutuan pertahunnya adalah 10.000 guru. Betapa negara-negara yang dianggap maju dengan infrastruktur yang tertata mewajibkan adanya pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah umum.

Nah, kita sudah melakukan melalui madrasah bahkan sebelum kemerdekaan. Saya sepakat dengan para ilmuan sosial, bahwa dalam kontek percaturan peradaban, diprediksi ke depan peradaban Islam nusantara menjadi salah satu penyangga peradaban Islam dunia. Negara kita terdiri dari kepulauan dengan keargaman yang luar biaya. Mayoritas beragama Islam. Sampai negaranya masih stabil. Masih masih bisa menghargai keragaman. Ini yang terjadi di Indonesia di saat bangsa lain sudah tidak bisa melakukannya.

Muslim Indonesia ke depan akan menjadi penyangga peradaban Islam baru. Ini tidak akan terjadi tanpa adanya institusi Islam seperti madrasah,  pesantren dan perguruan tinggi islam. Dengan bahasa yang ekstrim, tanpa adanya pendidikan Islam mungkin Islam Indonesia tidak akan seperti ini. Pendidikan Islam Indonesia telah berhasil mengajarkan siswanya untuk memisahkan antara Islam dan Arab. Islam Indonesia adalah Islam subtanstif.

Saya pernah menyindir teman-teman FPI. Dulu para Wali Songo itu sering mengislamkan orang kafir, tapi FPI sekarang malah terbalik, mengkafirkan orang Islam. Nah, ini menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga Islam. Madrasah kalau ditangani dengan serius pada konten akademik, supporting environment, desain kurikulum yang baik, saya yakin madrasah mampu menciptakan generasi yang lebih baik daripada lembaga pendidikan pada umumnya.

Senafas dengan definisi madrasah adalah lembaga pendidikan yang dikelola kemenag yang bercirikan Islam, maka kata bercirikan Islam ini menjadi point of different dibanding sekolah lain. Dulu, kalau sekolah pasti umum, dan madrasah adalah Islam. Namun ketika madrasah dilembagakan menjadi sekolah yang bercirikan Islam, ini menjadi added value tersendiri, maka ini menuntut perhatian dan kepedulian kita untuk memperbaiki madrasah secara bertahap untuk generasi mendatang.

Pilar-pilar dari Asy-Syaukani

Madrasah juga harus senafas dengan tradisi keilmuan Islam yang ada. Saya akan kutip tafsir Fathul Qadir karya As-Syaukani. Dalam muqaddimahnya beliau menyatakan: “Inna garimal mufassirina tafarraqu fariqaini wa salaku ila thariqaini. Al-farikul awwaalu tamassaku fi dhahiri ‘ala mujarradil riwayati.  Wal fariqul akhor: jarradu al dharabbi ma taqtahidi billughah.

As-Syaukani memotret bahwa pada masa sebelumnya mufassir itu terbagi menjadi dua. Golongan pertama adalah mufassir yang berpegang teguh pada riwayat. Kedua, adalah mufasir yang berpegang teguh pada bahasa. As-Syaukani mengkritik keduanya, seharusnya mufassir harus menggabungkan dua pegangan tersebut, riwayat dan bahasa. Tidak bisa salah satu. Maka As-Syaukani merekomendasikan: Wal ashoh al-jam’u bainahuma. Yang lebih baik adalah menggabungkan keduanya.

Baca Juga:  Hai Israel, Apa Salah Indomie?

Pelajaran yang bisa kita ambil dari statemen as-Syaukani adalah, penghargaan intelektualitas pendahulu kita merupakan keniscayaan. As-Syaukani telah melakukan hal itu. Perkembangan intelektualitas akan terus berlanjut seiring zaman dan tidak akan pernah berhenti. Proses apresiasi, kritik, dekonstruksi, afirmasi, proses penambahan pasti terjadi dalam sejarah pemikiran Islam. Dan as-Sayukani tidak puas dengan bertumpu/merujuk pada yang ada, namun ia melakukan pengembangan yakni dengan melakukan menggabungan metode riwayah dan bahasa.

Dalam konteks madrasah, sudah saatnya kita tidak berhenti pada definisi madrasah adalah sekolah yang dikelola Kemenag dengan bercirikan Islam. Definisi tersebut adalah kontribusi pendahulu kita dan kita harus step forehead dari definisi tersebut sebagai bentuk apresiasi terhadap apa yang dihasilkan oleh para pendahulu.

PMA tentang Penyelenggaraan Madrasah menjadi payung induk madrasah. Dapat dipastikan, kalau PMA ini tidak ada, pasti madrasah akan membebek ke Kemendikbud. Nomenklatur madrasah akan tetap sama dengan nomenklatur sekolah di Kemendikbud. PMA akan membuat pembeda. Ketika PMA sudah ada dan ditandatangai maka akan memunculkan tanggung jawab serta kepedualian kita untuk bisa mengoptimalkan serta mengembangkan madrasah sesuai dengan tantang zaman.

Kalau boleh berandai-andai, sebenarnya madrasah ini tidak layak di bawah direktorat, harusnya jadi Direktorat Jenderal. Dengan mengembangkan kekhasan ciri keislaman itu, maka madrasah tidak akan ketinggalan dengan sekolah lainnya. Tentu ini meniscayakan perhatian dalam level yang tinggi. Saya merencanakan menyusun naskah akademik pengembangan madrasah.

Oleh sebab itu, kita bersama-sama coba berpikir jauh  ke depan. Memang cukup melelahkan dan mudah-mudahan ini menjadi refreshing penting. Raker ini bisa menjadi vitamin tersendiri bagi kita. Mindset  pola pikir yang perlu diterapkan dalam mengelola madrasah ini adalah amal jariyah, bagaiman kita bisa mendapatkan salah satu amal yang tidak berhenti. Kita selalu memohon. Apa yang kita lakukan niatilah dengan amal jariayah yang didapatkan itu berkah, punya pahala yang awet dan menyelamatkan kita.

Kita kemudian bertugas ke daerah, melaksanakan program, berdiskusi, terkait dengan tender dan lainnya yang akan meringankan. Dengan begitu kita akan menjadi orang sehat. Kita ciptakan suasana yang menyegarkan, sehat dan berorientasi pada masa depan. Sehingga godaan bisa kita hindari.Closing-nya, prespektif bekerja di Direktorat Pendidikan Madrasah adalah amal jariyah. Sekecil apapun yang kita lakukan, niatilah sebagai amal jariyah.

Pilar-pilar dari Confusianis, Abu Lais As-Samarqandi dan Tajuddin As-Subkhi

Fungsi manajemen sangat penting dalam pengelolaan madrasah. Belum adanya keselarasan antara Pusat dan Daerah dalam  mendesign program dan pengalokasian anggaran merupakan bukti kurang baiknya manajemen Pusat-Daerah antara Direktorat Madrasah dan Kabid di Provinsi-provinsi. Kita telah mencaba membikin matrik pusat-daerah. Pasti nanti akan kelihatan sangat jomplang.

Ini sebuah kenyataan dan indikator agar kita terus memperbaiki bukan mempermasalahkan. Confusianisme mengatakan to make a mistake and not correct it is a real mistake. Salah itu manusiawi. Meskipun begitu, apa yang belum sinkron, agar disinkronkan. Jadi, kegiatan evaluasi ini sangat penting. Kita seharusnya tidak berhenti pada kekuarang namun juga harus melanjutkan merumuskan strategi-strategi agar kekurangan tersebut tidak berulang lagi.

Saya teringat akan karya Abu Lais As-Samarqandi yang berjudul Bustanul ‘Arifin di mana dia mengatakan Qayyidu al-‘Ilma bil Kitab. Yang artinya ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Jadi untuk mengembangkan sesuatu kita harus menuliskannya. Ketika tadi kita bedah, kita temukan banyak kekurangannya. Kekurangan tersebut harus kita dokumentasikan (baca:tuliskan) sebagai basis dalam penyusunan program-program tahun depan.

Semua harus diatur dengan baik sebagai usaha perbaikan manajemen dan sistem. Kegiatan evaluasi ini menurut saya sangat islami. Dalam kitab Jam’u al-Jawami’ karya Tajudin As-Subkhi disebutkan bahwa ma tsabata bi as-Syar’i muqaddamun ‘ala ma tsabata bi as-Syarthi.  Syarat untuk menuju syar’i harus dipenuhi terlebih dahulu dan ia juga menjadi wajib.

Agar madrasah mendapatkan akreditasi yang baik maka piranti-piranti menuju akreditasi juga wajib dipenuhi. Untuk menyusun program-program yang lebih baik lagi ke depan, piranti-piranti seperti evaluasi dan pendokumentasian kekuaran-kekurangan dalam menjalankan program sekarang sebagai basis penyusunan program ke depan juga menjadi wajib.

Jadi evaluasi ini menjadi sangat Islami sebetulnya. Paling tidak kita harus bisa memenuhi fungsi manajemen yakni how to plan, how to implement and how to reportPlaning harus berbasis evaluasi. Tujuannya menyempurnakan yang masih kurang. Tiga hal tersebut harus kita temukan terus-menerus dalam setiap kegiatan di madrasah.

Sumber: Direktur Pendidikan Madrasah Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. (P4/R01)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA) 

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: illa