Oleh: Yusuf Wibisono, SE., ME., Direktur IDEAS (Institute For Demographic and Poverty Studies)
Gelontoran bansos, selain bansos reguler juga bansos ad-hoc, yang tiada henti dalam setahun terakhir, jelas bukan upaya penanggulangan kemiskinan, bukan pula kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat, namun lebih mencerminkan hasrat politik yang tak tertahankan untuk meraih dukungan elektoral secara instan dalam pilpres 2024 yang sudah di depan mata.
Pada Pilpres 2024, bansos dipolitisasi sedemikian rupa untuk keuntungan elektoral personal Presiden, dimana Cawapres 02 adalah putra kandung Presiden.
Indikasi politisasi bansos oleh Presiden Jokowi sebenarnya sudah terlihat sejak pilpres 2019, bahkan dilakukan sejak awal naik ke tampuk kekuasaan. Contoh paling jelas disini adalah jumlah keluarga penerima PKH pada 2014, diakhir kekuasaan Presiden SBY, hanya memiliki 2,7 juta keluarga penerima manfaat (KPM).
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Namun pada 2015, jumlah KPM langsung meningkat menjadi 3,5 juta keluarga, pada 2016 jumlah KPM melonjak menjadi 6 juta keluarga, dan sejak 2018 jumlah KPM dilipatgandakan lagi menjadi 10 juta keluarga. Demikian pula jumlah penerima BPNT terus meningkat, dari kisaran 15 juta keluarga pada 2015, meningkat menjadi kisaran 21 juta keluarga sejak 2020.
Seiring perluasan bansos ini maka anggaran belanja bansos melonjak signifikan dari Rp 49,6 triliun pada 2016 menjadi Rp 112,5 triliun pada 2019. Anggaran belanja bansos yang sangat besar terus dipertahankan meski pandemi telah berakhir.
Anggaran belanja bansos pada 2023 diproyeksikan Rp 146,5 triliun dan pada 2024 Rp 152,3 triliun, jauh meningkat dari anggaran sebelum pandemi yang hanya Rp 112,5 triliun pada 2019. Dengan adanya BLT Mitigasi Risiko Pangan maka anggaran belanja bansos 2024 yang Rp 152,3 triliun masih akan bertambah Rp 11,25 triliun.
Melonjaknya cakupan dan besaran bansos seperti PKH dan BPNT (bansos sembako) ini bukan indikasi besarnya komitmen menanggulangi kemiskinan, namun terlihat memiiki motif kepentingan elektoral.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Bansos yang besar dan berkelanjutan, rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik pragmatis jangka-pendek: menjadi arena perburuan rente ekonomi sekaligus mendapatkan simpati publik untuk kepentingan elektoral penguasa.
Anggaran perlindungan sosial (perlinsos) meningkat signifikan pada masa pandemi, dari Rp 308 triliun pada 2019 menjadi Rp 498 triliun pada 2020, tumbuh 61,5%. Namun setelahnya anjlok, turun -6,0% pada 2021, turun -1,6% pada 2022 dan diproyeksikan turun -4,,7% pada 2023 ini.
Barulah jelang pemilu 2024 anggaran perlinsos naik, dari Rp 439 triliun pada 2023 menjadi Rp 494 triliun pada RAPBN 2024, tumbuh 12,4%. Ini adalah fenomena electoral budget cycle.
Mengapa bansos rentan dipolitisasi? Politisasi bansos menjanjikan keuntungan elektoral yang sangat signifikan. Program Keluarga Harapan (PKH) misalnya, memiliki 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau Bansos Sembako dan bansos beras bahkan memiliki 22 juta KPM.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Dengan penerima manfaat mencapai hingga 22 juta keluarga miskin dan rentan miskin, maka bansos berpotensi memberi pengaruh kepada sekitar 62 juta jiwa calon pemilih, sekitar 30 persen dari total pemilih.
Dari 22 juta KPM bansos, sekitar 60 persen atau 13 juta KPM, bertempat tinggal di Jawa, yang merupakan medan tempur utama pilpres. Dari 204,8 juta DPT (Daftar Pemilih Tetap) di Pilpres 2024, sekitar 56 persen ada di Jawa. Penerima bansos terbesar adalah provinsi penentu utama pilpres, yaitu Jawa Timur (4,2 juta KPM), Jawa Barat (3,7 juta KPM), Jawa Tengah (3,5 juta KPM), Sumatera Utara (1,17 juta KPM) dan Banten (842 ribu KPM). (A/R1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)”’
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa