Potret Sinetron Terhadap Perkembangan Anak (Oleh: M. Habibi Adi Cipto)

M. Habibi Adi Cipto. (Foto: Istimewa)

 

Oleh : M. Habibi Adi Cipto/ Filantropi Pendidikan dan Aktivis Sosial

Sejak awal tahun 1990, geliat pertelevisian di Indonesia baru mulai terasa, dengan banyak menjamurnya stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia. Hadirnya beberapa stasiun televisi di Indonesia patut dirayakan sebagai sebuah prestasi. Apalagi mengingat kontribusi yang telah mereka berikan dalam ikut mencerdaskan bangsa, melalui tayangan informasi yang tajam, akurat, dan objektif. Televisi juga telah membantu anggota masyarakat dalam memahami berbagai persoalan aktual di berbagai bidang yang telah memperluas wawasan publik dengan sajian acara dialog, debat, talk show, diskusi, dan berbagai acara yang informatif dan edukatif.

Media televisi dewasa ini telah menjadi sahabat yang menemani -anak dan remaja. Di dalam keluarga modern yang orang tuanya sibuk beraktivitas di luar rumah pun, televisi berperan sebagai penghibur, pendamping, dan bahkan sebagai pengasuh bagi anak-anak mereka. Tapi sayangnya peran vital televisi sebagai media hiburan keluarga tampaknya belum mengimbangi dengan menu tayangan yang bermutu.

Suara sumbang dan kritik pedas sampai sekarang terus dialamatkan kepada banyak stasiun televisi kita. Pasalnya, amat jarang stasiun televisi yang menyajikan program bermutu. Tontonan yang ditampilkan di layar kaca dinilai hanya tayangan murahan tak mendidik dan mengajarkan hidup konsumtif dan primitif.

Christovia Wiloto, seorang praktisi, dalam bukunya The Power of Public Relation menyampaikan pemilik dan pengelola televisi hingga kini memang masih amat mendewakan rating sebagai indikator sukses tidaknya sebuah program. Hal ini terjadi, pemasang iklan, menggunakan bahasa yang sama yaitu bahasa rating untuk memutuskan kemana anggaran iklannya diarahkan, “Ini industri yang amat padat modal, idealnya memang sebuah tayangan harus bersifat mendidik, menghibur, sekaligus laku jual. Tapi acara yang mendidik dan menghibur tidak selalu laku jual. Sebaliknya, tayangan yang laku dijual bisa saja tidak mendidik,” kata salah seorang pengurus Asosiasi Televisi Swasta Indonesia seperti dikutip Christovia dalam bukunya.

Padahal, dampak televisi bagi penonton, khususnya anak-anak, begitu dashyat. Sebuah survei pernah dilakukan oleh CSM terhadap 1.209 orangtua yang memiliki anak umur 2-17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV memengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi dan 11% tidak mempengaruhi.

Tayangan saat ini lebih cenderung mengarah pada tayangan yang berbau pada kekerasan (sadisme), pornografi, mistik, dan kemewahan (hedonisme). Seringkali sinetron memuat tentang kisah remaja yang notabenenya masih menempuh pendidikan yang direfleksikan dalam setiap adegan aktor dan aktrisnya.

Terdapat anak-anak sekolahan dengan gaya yang aneh-aneh dan sama sekali tidak mencerminkan sebagai seorang pelajar, dan dipajang sebagai pemikat. Sikap dan tingkah laku, terhadap guru, orang tua, maupun sesama teman yang sangat tidak mendidik. Misalnya saja seorang anak SMA seharusnya memakai rok sopan, dan tidak mini apalagi diatas lutut, tidak boleh ber-make up tebal, apalagi berambut gondrong untuk para siswanya. Sedangkan di sinetron-sinetron yang saat ini mempertontonkan, para siswinya memakai rok mini 10-15 cm di atas lutut, memakai baju ketat, rambut berwarna, make up tebal, dan tidak dilarang memakai perhiasan berlebihan. Kendaraan pribadi, atau sopir pribadi yang siap mengantar kemana-mana juga HP canggih yang menjadi teman berkomunikasi. Bagi para siswanya, rambut gondrong berwarna dengan gaya aneh, memakai anting, gelang dan rantai bergelantungan di banyak tempat, miliki genk nongkrong. Tayangan-tayangan tersebut terus berlomba demi rating tanpa memperhatikan dampak bagi penontonnya.

Lantas mau jadi apa pemuda Indonesia apabila setiap harinya disuguhi tayangan yang demikian? Bahkan tayangan televisi yang bermuatan intelektual pun bisa dihitung dengan jari. Miris. Moral pemuda Indonesia menjadi taruhannya. Sejenak terlintas dalam benak saya, apakah sang pembuat sinetron alias sang produser menginginkan pemuda Indonesia bertingkah laku seperti dalam sinetron yang ia buat?

Dampak negatif menjamurnya sinetron

Adapun beberapa dampak negatif dari menjamurnya sinetron di dunia pertelevisian Indonesia adalah (a) sinetron melumpuhkan anak dalam berpikir kritis. Sinetron memiliki gejala-gejala yang sangat membahayakan, karena akan menjadikan otak pasif, melumpuhkan kemampuan berpikir kritis, dan merusak kecerdasan otak sebelah kanan.

Tapi bahaya yang paling besar adalah sinetron bisa mengalihkan orang dari membaca. Padahal dengan membaca neurologis sangat menguntungkan otak. Padahal tanpa kita tahu banyak bacaan yang lebih memperkaya secara intelektual kita, dari pada sebuah sinetron yang isinya itu-itu saja, (b) merebaknya fatamorgana kebebasan. Sinetron telah semakin melebarkan jurang pemisah antara kehidupan dunia dan akhirat. Hal ini telah menjadikan belenggu ikatan dengan sinetron lebih sulit diputuskan daripada belenggu ikatan ibadah. Sehingga menyebabkan salah kaprah tentang arti dari sebuah kebebasan.

Dampak yang selanjutnya yaitu (c) menjadi benih kekerasan. Perkelahian yang di lakukan di sinetron adalah perkelahian yang direkayasa, tapi yang ditampil demikian realistis. Seringkali masalah muncul dari sini, karena perkelahian yang anak-anak atau remaja tonton di sinetron menimbulkan rangsangan agresivitas, terutama bagi anak-anak dan remaja, yang belum kritis menggunakan media, (d) globalisasi pornoaksi. Sinetron dan televisi yang menayangkan adegan berbau porno, sangat bisa berakibat kepada masyarakat, terutama bagi anak-anak ditengah rasa keingintahuannya yang besar, (e) melemahkan perkembangan kognitif anak dan remaja.

Televisi sebagai baby sitter tampaknya tidak masalah. Namun berbagai penelitian menyebutkan fakta, bahwa ‘meletakan anak’ usia dini di depan televisi berbahaya baik fisik, maupun psikis. Apalagi dalam waktu yang panjang. Karena hal ini akan mengakibatkan proses wiring penyambungan antara sel-sel syaraf otak menjadi tidak sempurna. Karena sinetron tidak mengugah anak untuk berpikir.

Begitu banyak dampak negatif dari sinetron Indonesia saat ini. Sebagai penonton, semoga kita bisa lebih bijak memilah dan memilih tayangan yang memberikan manfaat bagi perkembangan anak serta mulailah mengatur pengawasan terhadap anak dengan membudayakan matikan TV di saat pelaksanaan ibadah dan belajar. (A/R07/P1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.