Jakarta, 7 Rajab 1436/26 April, 2015 (MINA) – Presiden Joko Widodo dijadwalkan membuka Forum Ijtima’ Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI), 8 Juni mendatang.
Sekretaris Panitia Pelaksana, Drs.H. Sholahudin Al-Aiyubi mengatakan, selain itu, agenda nasional keumatan tersebut akan ditutup pada 10 Juni 2015 oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Acara utama direncanakan diselenggarakan di Pondok Pesantren At-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah, tambah Al-Aiyubi juga sebagai Wakil Sekretaris mui/">Komisi Fatwa MUI Pusat itu.
Para peserta dirancang akan bersilaturahim dan disambut terlebih dahulu oleh Walikota Cirebon, kota wali Sunan Gunung Jati.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Diguyur Hujan Selasa Siang Hingga Sore Ini
Hal ini dimaksudkan untuk mengenang kembali sejarah perjuangan tokoh ulama terkemuka dalam sejarah dakwah di Nusantara ini, demikian keterangan pers yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Dengan kunjungan silaturahim dan ziarah ini, diharapkan para peserta yang terdiri dari para pimpinan dan anggota Komisi Fatwa (KF-MUI) se-Indonesia, serta seluruh pimpinan lembaga fatwa Ormas-ormas Islam Tingkat Pusat akan dapat memperoleh kekuatan ruhiyah di Forum Ijtima’ Ulama yang mengusung Tema: “Ulama Menjawab Problema Umat dan Kebangsaan”.
Problema Kepemimpinan
Di antara problema umat yang akan dibahas pada Ijtima’ Ulama di Tegal sesaat lagi adalah masalah kepemimpinan.
Baca Juga: Ketua MPR RI Salurkan Bantuan untuk Korban Erupsi Gunung Lewotobi
MUI masih melakukan inventarisasi dan mempersiapkan naskah akademik masalah ini, yang dirasakan sangat krusial bagi umat, dan telah disepakati menjadi tema sentral, “Bagaimana kalau Ulil-Amri tidak menepati janji”.
Karena hal ini merupakan amanah bahkan juga perintah Allah, yang termaktub di dalam ayat Al-Quran dengan makna : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil-Amri di antara kamu”.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. 4:59).
“Berkenaan dengan tema utama ini, akan dibahas pola relasi antara Ro’i atau pemimpin dan Ro’iyah, masyarakat yang dipimpin, ujar Sekretaris Komisi Fatwa (KF-MUI), Dr.H.M. Asrorun Niam Sholeh,
Baca Juga: HGN 2024, Mendikdasmen Upayakan Kesejahteraan Guru Lewat Sertifikasi
Terutama dengan proses Pemilihan, Asrorun Niam menjelaskan, calon pemimpin itu banyak memberikan janji saat kampanye. Maka, akan dibahas dari sisi hukum positif maupun kaidah syariah, apakah janji yang dikemukakan itu mengikat ataukah tidak dalam konteks kepemimpinan. Karena saat mengemukakan janji itu, yang bersangkutan masih sebagai calon, bukan pemimpin yang definitif.
Lantas bagaimana pula pola relasi yang harus dilakukan bila ternyata si calon itu kemudian terpilih menjadi pemimpin, namun ternyata tidak menepati janjinya. Apakah dengan hal itu dapat dianggap bahwa pemimpin itu berkhianat atas janji yang telah diberikannya terhadap masyarakat pemilihnya.
Dan apakah masyarakat tetap berkewajiban untuk menaatinya, atau bagaimana, sesuai tuntunan Allah dalam ayat Alquran yang maknanya telah disebutkan di atas.
Sebab, ketika memberikan janji-janji itu, yang bersangkutan baru sebagai calon dalam proses pemilihan, bukan telah menjadi pemimpin yang definitif.
Baca Juga: Hari Guru, Kemenag Upayakan Sertifikasi Guru Tuntas dalam Dua Tahun
Sehingga, sebagai pemimpin dapat dianggap ingkar janji, Nah itu yang akan dibahas secara komprehensif dalam Forum Ijtima’ Ulama,. (T/P002/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Meriahkan BSP, LDF Al-Kautsar Unimal Gelar Diskusi Global Leadership