Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Prinsip-Prinsip Bisnis Abdurrahman bin ‘Auf

Ali Farkhan Tsani - Kamis, 16 Februari 2023 - 09:45 WIB

Kamis, 16 Februari 2023 - 09:45 WIB

358 Views

Oleh : Husen Kuromaa, Pengajar Tahfidz Al-Qur’an Masjid Al-Fatah Ciparay, Garut, Jabar

Setiap profesi apapun pasti punya keunggulannya sendiri, termasuk juga dengan profesi bisnis berdagang. Pedagang adalah merupakan profesi yang disukai Nabi dan sebagian para sahabatnya.

Seorang pedagang mempunyai kedudukannya tersendiri. Jika seorang Muslim yang jujur dan amanah, lalu profesinya sebagai seorang pedagang. Maka kedua hal ini merupakan aset yang berharga. Di mana pintu segala kebaikan dan keberkahan akan ada didalamnya.

Dalam sejarah mencatat, saat ada seorang Muslim yang shalih dan kaya raya, lalu ia dengan penuh keimanan mengerahkan kelebihannya itu di jalan Allah, maka keberkahan dan kebaikan akan terpancar ke seluruh penjuru dunia.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah

Di sana akan terjadi saling menolong dan membantu sesama dalam hal kebaikan. Sehingga keberadaan mereka, yaitu para pedagang yang shalih mempunyai penilaian tersendiri di mata AllahTa’ala.

Dalam hal ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ

Artinya : “Seorang pedagang yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Sa’id al-Hudri)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh

Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan seorang Muslim yang jujur dan amanah dalam berdagang. Ketika nanti dikumpulkan di akhirat, orang seperti ini akan berkumpul bersama para Nabi, Shiddiqin dan Syuhada. Sebagai penghargaan atas dirinya dari Allah.

Salah satu keutamaan itu harusnya menjadikan motivasi bagi seorang Muslim. Bahwa dirinya mempunyai potensi besar untuk menggapai pahala spesial tersebut.

Prinsip Dagang Abdurrahman bin ‘Auf

Di antara para sahabat Nabi yang terkenal karena  kebaikan dari kekayaannya adalah sahabat mulia, Abdurrahman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘Anhu.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam

Ia adalah salah satu di antara para sahabat yang dijamin masuk surga melalui lisan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Profesi beliau adalah seorang pedagang. Namun meskipun berprofesi demikian, ia adalah salah satu dari sahabat Nabi yang taat dan terdepan dalam barisan perjuangan menegakkan kalimat tauhid, Laa ilaaha Illallaah.

Kisah perjuangan beliau begitu panjang dan sudah terlihat ketika berada di Makkah bersama Nabi.

Hingga ia memenuhi panggilan hijrah ke Madinah. Ia pun tanpa ragu dengan penuh keimanan, menjawab seruan itu untuk meninggalkan semua harta yang dimilikinya di Mekkah. Beliau lebih memilih panggilan Allah dan Rasul-Nya daripada kemegahan dunia beserta isinya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah telah mempersaudarakan Abdurrahman dengan Sa’ad bin al-Rabi’ al-Anshari tatkala tiba di Madinah. Sa’ad termasuk salah satu orang kaya di sana.

Karena tahu bahwa Abdurrahman bin ‘Auf tidak mempunyai apa-apa di Madinah. Saudaranya itu menawarkan sebagian hartanya dan salah satu dari kedua isterinya yang hendak ia diceraikan. Tapi beliau menolaknya dengan baik dan malah meminta kepadanya agar ditunjukkan saja di mana letak pasar.

Ditunjukkanlah sebuah pasar tersebut, yaitu pasar milik Bani Qainuqo, milik Yahudi. Ia pun bisa memulai berdagang.

Dari sinilah ia merintis bisnis dagangnya dengan memulai berjualan keju dan minyak samin.

Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina

Dari usahanya itu, setelah mempunyai penghasilan yang cukup baik. Lalu ia pun memutuskan untuk menikah dengan Muslimah Madinah. Maka mereka di doakan oleh Nabi agar mendapatkan keberkahan dalam hidupnya.

Lalu ada satu peristiwa lagi yang menarik, karena merasa biaya sewa pasar milik Yahudi itu sangat mahal, sedangkan kondisi pasarnya yang kurang tertata rapih dan tidak nyaman. Maka ia meminta tolong kepada saudaranya untuk bekerjasama membeli tanah dan membuatkan pasar yang baru agar orang-orang bisa nyaman di sana.

Setelah tanah lokasi terbeli, ia pun membuat petak-petakan secara baik dan layak. Siapa pun boleh berjualan di tanah itu tanpa membayar sewa. Apabila dari pedagang itu ada keuntungan, ia menghimbau mereka untuk memberikan bagi hasil seikhlasnya.

Begitulah, keberkahan harta yang ia dapatkan. Seiring waktu, hartanya semakin bertambah dan bertambah berkah, dengan izin Allah Ta’ala.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat

Adapun prinsip-prinsip Abdurrahman bin ‘Auf yang sering dipakai dalam rutinitas bisnisnya adalah:

  1. Mengambil Keuntungan Sedikit

Pada umumnya, orang saat berdagang akan melakukan sebuah strategi untuk membeli modal dengan harga yang murah dan mengambil untung darinya dengan sebesar-besarnya. Dengan demikian, dirinya merasa akan cepat menggapai kesuksesan dalam berbisnis.

Tapi berbeda dengan Sahabat Nabi ini, ia lebih senang untuk mengambil keuntungan sedikit dari tiap perdagangannya. Dengan catatan, volume jumlahnya yang harus diperbesar. Sedikit keuntungan tapi jumlah barang yang terjual harus lebih banyak.

Cara ini patut ditiru atau dipraktikkan. Orientasinya bukan pada keuntungan besar sekaligus, tapi mengambilnya sedikit, sewajarnya saja. Namun fokusnya adalah pada jumlah kuantitas penjualannya yang banyak. Maka hasilnya pun lebih memuaskan dibanding dengan mahal tapi sedikit yang laku.

Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan

Dengan kata lain, harga boleh bersaing dengan kompetitor. Tapi dari segi jumlah kuantitas penjualan harus lebih besar. Maka dengan begitu, untung yang kecil bisa berlipat-lipat karena terbantu dengan barang yang terjual begitu banyak.

Di sisi lain, pelanggan yang sering membeli barang pada kita pun takan merasa kapok atau dirugikan. Karena barang yang ditawarkan sesuai dengan harga yang wajar. Dari situ tercipta kepercayaan dan akan menjadi mitra bisnis dalam jangka yang panjang.

Dengan itu, Insya Allah penjualan semakin stabil dan pelanggan dari waktu ke waktu menjadi bertambah banyak dan semakin luas. Tentu itu semua atas izin Allah Ta’ala.

  1. Pembayaran Tunai atau Kontan

Prinsip lain yang sering dilakukan sahabat Nabi ini, ialah lebih senang menerima pembayaran tunai atau cash dari tiap transaksi penjualannya.

Baca Juga: Pemberantasan Miras, Tanggung Jawab Bersama

Pembayaran tunai ini, berarti tidak mentolelir segala bentuk praktik transaksi penundaan bayaran atau hutangan. Dalam artian, bisnis dengan pembayarannya yang tunai akan membantu proses sirkulasi uang dan barang menjadi lebih sehat dan terkontrol.

Sedang menunda-nunda pembayaran sama dengan menghambat laju pergerakan sistem bisnis yang sudah tercipta. Biasanya salah satu penyebab para pedagang gulung tikar dari usahanya adalah karena masalah penundaan pembayaran ini alias hutang.

Oleh karena itu, prinsip menerima pembayaran tunai, baik langsung secara fisik atau via transfer  langsung adalah hal yang baik dan positif. Kebiasaan yang akan mempengaruhi nasib bisnisnya kelak.

Abdurrahman bin ‘Auf mengajarkan kita bahwa pembayaran tunai adalah hal yang baik dan sehat. Kalau ingin berbisnis seperti beliau, pastikan buat lingkungan bisnis yang mampu mewujudkan itu. Salah satunya mengkondisikan selalu memakai pembayaran tunai atau langsung.

Baca Juga: Lima Karakter Orang Jahil

Sedangkan kebiasaan buruk berhutang adalah hal yang harus disikapi bijak oleh kaum Muslimin utamanya. Berhutang sah-sah saja, asalkan memenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh syariat. Misalnya, saat berhutang atau meminjam harus ditulis di atas kertas yang jelas, ada saksinya, ada batas atau tempo hutangan akan dibayar, serta ada jaminan tatkala hutang itu tak mampu dibayar tepat pada waktunya.

Meskipun boleh saja si pemberi hutangan merelakan dan menganggapnya lunas, karena berniat membantu dan meringankan beban saudara seimannya karena Allah. Tapi bagi seorang Muslim yang baik, saat dia berhutang, maka wajib bagi dirinya untuk selalu berusaha menepati janjinya itu.

Jadi, pembayaran tunai adalah pondasi penting dalam bisnis berdagang. Di samping mengambil untung yang sedikit, pembayaran tunai pun harus dilakukan, sehingga tercipta kombinasi yang serasi dalam rangka menjemput rezeki yang berkah.

  1. Tidak Menahan Barang Saat Ditawar

Ada dua poin penting dalam hal ini. Prinsip ini juga tidak kalah penting daripada yang di atas. Yaitu, tidak menahan barang dan tidak membandingkan nilai keuntungan.

Baca Juga: Ternyata Aku Kuat

Sahabat Abdurrahman bin auf, dia adalah orang yang senang memudahkan segala urusannya, terutama terkait dengan kemudahan bagi orang lain. Termasuk juga saat proses adu tawar-menawar dalam berdagang.

Beliau tidak senang menahan barang dagangannya. Saat ada yang menawar dan harganya cocok, masih ada untungnya, maka ia melepasnya atau menjualnya. Ditambah lagi ia tak ambil pusing dengan untung yang didapatkan, apakah itu sedikit atau banyak.

Tentu ada hikmah yang bisa kita ambil dari kasus itu. Di mana kita tidak harus berlama-lama menahan barang yang diminati pembeli, selama masih ada keuntungannya, meski bisa dibilang keuntungannya tidaklah begitu banyak. Tapi ada keberkahan di sana, karena ada niat baik didalamnya, niat untuk saling memudahkan urusan orang, terutama sesama kaum Muslimin.

Tak banyak orang yang sampai berpikir ke sana. Berpikir bahwa berdagang juga mempunyai nilai ibadah. Berdagang bukan sebatas mencari keuntungan banyak, menjadi kaya raya, hidup tenang dan banyak waktu untuk bersenang-senang. Tapi berdagang adalah jalan untuk mencari ridha Allah. Yaitu menjadikan potensi kebaikan dari setiap apa saja yang ada di dalam unsur berdagang itu sendiri.

  1. Menjaga Kualitas Barang

Menjaga kualitas barang dagangan, berarti sama dengan menjual barang-barang yang bagus dan memuaskan para pelanggan. Dengan kata lain, ini berbicara tentang kejujuran si penjual.

Abdurrahman bin ‘Auf senang dengan menjual barang dagangannya yang bagus dan terbaik. Kalau ada yang cacat pada barang tersebut, ia akan menjelaskannya kepada para pembelinya.

Hal itu sama persis seperti yang dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ketika beliau berdagang, lalu ada yang cacat pada barang dagangannya itu, maka beliau akan jujur kepada para pembelinya. Begitu juga sama seperti yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman bin ‘Auf.

Menjaga barang dengan kualitas baik, tentu sangat berpengaruh pada berbagai aspek, yang semua itu saling menguatkan kepada hal yang lainnya. Bisa kepada kepercayaan terhadap orangnya (penjual), integritas pribadinya. Bisa pada tempat jualannya (toko) dan pada keberlangsungan masa depan bisnisnya.

Di samping itu, menjual kualitas barang yang bagus akan mengundang banyak keberkahan. Banyak kasus terjadi, saat sebuah toko terkenal dengan barang dagangannya yang berkualitas bagus, ditambah lagi dengan penjualnya yang jujur dan amanah. Maka seberapa jauh pun posisi tempat toko itu berada, maka akan banyak orang yang mencarinya. Menggambarkan betapa hal seperti itu sangatlah langka, menemukan penjual yang seperti itu.

Adapun dengan pedagang yang asal menjual barang, tidak melihat kualitas barangnya, yang penting baginya modalnya murah dan bisa menjualnya kembali dengan harga yang mahal. Diperparah dengan penjualnya yang pandai berbohong. Pada saat ada kecacatan pada barang dagangannya lantas ia menyembunyikannya. Maka dapat dipastikan, usaha bisnisnya itu tidak akan berkah dan panjang.

Maka dari itu, sangatlah penting untuk menjaga kualitas barang dagangan kita. Pegang erat prinsip itu, karena hal itu sangatlah erat dengan kejujuran hati pedagang itu sendiri. Mungkin bisa saja tiap orang dibohonginya, tapi Allah tidaklah bisa kita bohongi, secerdas apapun kita berdalih.

  1. Orientasi Tinggi Kepada Akhirat

Bagian terakhir dari prinsip yang dimiliki sahabat Abdurrahman bin ‘Auf adalah ia tidak cinta terhadap kehidupan dunia. Baginya, kehidupan dunia ini sangatlah singkat, sedangkan kehidupan akhirat adalah abadi.

Semua keuntungan dari hasil bisnis perdagangannya tidak ia nikmati sendiri. Melainkan ia gunakan untuk kepentingan orang banyak, termasuk untuk keluarganya dan kaum Muslimin.

Sampai suatu waktu beliau tanpa ragu mensedekahkan seluruh hartanya di jalan Allah.

Kisah itu diceritakan di dalam hadits riwayat Imam Ahmad, yang juga dicatat oleh Muhibbuddin Ath-Thabari dalam Ar-Riyadhun Nadhrah fi Manaqibil ‘Asyrah.

Dikisahkan, sekali waktu saat Siti ‘Aisyah sedang di rumah (Madinah), tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara gemuruh. “Suara apa ini?” tanyanya.

Orang-orang menjawab, “Itu adalah kawanan unta milik Abdurrahman bin ‘Auf yang baru saja pulang dari Syam ,membawa macam-macam komoditas dagangan. Jumlahnya sebanyak 700 unta. Itu yang menimbulkan suara gemuruh tadi.”

Aisyah kemudian berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam bersabda : ‘Aku melihat Abdurrahman masuk ke surga dalam keadaan merangkak (karena kekayaan yang dimilikinya).’”

Setelah ucapan ‘Aisyah itu terdengar oleh Abdurrahman, ia pun berucap : “Jika bisa, aku akan tetap masuk ke surga dengan berdiri.” Ia pun menyedekahkan semua gandum dan pelana unta miliknya untuk disedekahkan ke jalan Allah.

Demikianlah, gambaran nyata bahwa beliau sangat serius memprioritaskan segala ikhtiarnya di dunia ini untuk nasibnya di akhirat kelak.

Demikianlah gambaran tentang prinsip-prinsip yang dimiliki sahabat nabi, Abdurrahman bin ‘Auf.

Sebagai penutup, bersyukurlah tatkala kita disibukan dengan ma’isyah (bekerja) sebagai pedagang. Sejatinya hal itu adalah anugerah dari agar kita senantiasa dalam keberkahan. Bahwa mencari nafkah dari hasil ikhtiar sendiri atau usaha sendiri adalah merupakan makanan yang terbaik.

Hal itu selaras dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Artinya : “Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud as memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR Bukhari).

Semoga kita dapat mengambil hikmahnya dan mempraktikannya dalam kehidupan berdagang. Wallahu A’lam Bishawab. (A/hku/RS2).

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Tausiyah
Tausiyah
Tausiyah
Tausiyah
Tausiyah
Tausiyah