Jakarta, MINA – Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Rabu (10/11/2021), menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh, yaitu Usmar Ismail, Raden Aria Wangsakara, Tombolotutu, dan Sultan Aji Muhammad Idris.
Berikut profil singkat keempat tokoh tersebut, dari sumber Sekretariat Kabinet RI:
- Usmar Ismail, dari DKI Jakarta
Usmar Ismail lahir di Bukittinggi tanggal 20 Maret 1921. Usmar merupakan salah satu pelopor di kancah perfilman nasional dan internasional yang menunjukkan sumbangan terbesarnya tentang kepiawaian membuat industri perfilman di Indonesia menjadi maju.
Kepeloporannya dalam membangun perfilman nasional yang diakui oleh dunia internasional merupakan kepeloporan dan prestasi yang patut dicatat dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Pada tahun 1944, Usmar mendirikan kelompok sandiwara Maya yang juga turut menyebarluaskan berita proklamasi di masa kemerdekaan.
Kemudian tahun 1950, mendirikan perusahaan film pribumi bernama N.V. Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) yang kemudian membuat film Darah dan Doa (the long march of Siliwangi).
Film ini dianggap sebagai film Indonesia pertama dan kemudian hari pertama pengambilan gambarnya ditetapkan sebagai Hari Film Indonesia.
Tahun 1962, Usmar Ismail aktif mendirikan organisasi Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) di bawah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai wadah kegiatan kebudayaan, pendidikan, dan penanaman nilai-nilai nasionalisme kepada masyarakat.
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
Film-film buatan Umar Ismail mengajak dan menawarkan nilai-nilai nasionalisme seperti Darah dan Doa (1950), Enam Jam di Jogja (1961), Kafedo (1953), Lewat Djam Malam (1954), Pedjuang (1960), dan masih banyak lainnya.
Selain itu film Tamu Agung (1956) mendapatkan penghargaan film komedi terbaik di Festival Film Asia Pasifik di Hongkong tahun 1956.
Usmar Ismail wafat pada tanggal 2 Januari 1971 dan dimakamkan di Pekuburan Karet, Jakarta.
- Raden Aria Wangsakara, dari Banten Raden
Aria Wangsakara lahir di Sumedang tahun 1615. Wangsakara bukan hanya tokoh keagamaan dalam Kesultanan Banten pada masanya, tetapi juga tokoh politik dan pemimpin militer yang terus berjuang dalam semangat untuk mengusir penjajah.
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
Melalui latar belakang perjuangannya semasa Kesultanan Banten era Sultan Abul Mufakhir dan Sultan Ageng Tirtayasa, Wangsakara menegaskan perannya sebagai sosok yang turut memainkan peranan penting dalam melawan penjajah (VOC).
Pada 1636, Wangsakara diutus Sultan naik haji. Di Mekah, Wangsakara berhasil memperoleh surat pengakuan Banten oleh Syarif Mekah sebagai kepanjangan tangan dari otoritas Turki Utsmani (Ottoman).
Sekembalinya ke Banten, Wangsakara diberi gelar Kiai Mas Haji Wasangraja.
Tahun 1654 ketika terjadi peperangan di Batavia antara Kesultanan Banten dengan VOC, Raden Aria Wangsakara mewakili Kesultanan Banten sebagai juru runding yang membuahkan kesepakatan penghentian perang. Daerah yang dikuasai masing-masing tetap dipertahankan.
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
Tahun 1658-1659 ketika terjadi peperangan, Raden Aria Wangsakara mendapat mandat dari Sultan Ageng Tirtayasa untuk memimpin perang melawan VOC yang berujung pada perjanjian damai pada tanggal 5 Juli 1659.
Pascaperang, Wangsakara mengubah strategi pertahanan dengan membuat permukiman dan kanal sehingga menjangkau daerah Tangerang pedalaman.
Wangsakara wafat pada tanggal 15 Agustus 1681 dan dimakamkan di Lengkong, Pagedangan, Tangerang atau Taman Makam Pahlawan Kabupaten Tangerang.
- Tombolotutu, dari Sulawesi Tengah
Tombolotutu lahir di Moutong, Sulawesi Tengah, pada tahun 1857. Tombolotutu adalah tokoh yang sedari awal menentang penindasan Belanda di Moutong.
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
Tombolotutu memimpin dan memperjuangkan hak-hak rakyat Moutong yang dirampas sehingga terjadi pertempuran yang tidak hanya banyak memakan korban, tapi juga kerugian materiil.
Tombolotutu konsisten menentang penjajahan Belanda. la menolak menandatangani “Lang Contract” sebuah perjanjian yang diajukan Belanda karena dinilai merugikan masyarakat.
Tombolotutu wafat pada 17 Februari 1901 dan dimakamkan di Desa Padang Kecamatan Toribulu, Moutong. Sulawesi Tengah.
- Sultan Aji Muhammad Idris, dari Kalimantan Timur
Sultan Aji Muhammad Idris lahir di Jembayan, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, 1667. Sultan Aji adalah tokoh pemersatu yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi bangsa Indonesia.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Melalui perubahan sistem pemerintahan menjadi kesultanan, Ia berusaha menjalin hubungan dan menyatukan kekuatan dengan berbagai kesultanan dalam menentang kolonialisme.
Ketika VOC mulai menguasai kerajaan Kutai Kartanegara dan Kerajaan Pasir, Sultan Aji Muhammad Idris sebagai pangeran Kutai terus melakukan perlawanan.
Sultan Aji Muhammad Idris konsisten mewujudkan visi mengusir kekuatan VOC dari Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Indonesia secara keseluruhan.
Sultan Aji berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan di wilayah Sulawesi Selatan terutama kerajaan-kerajaan Bugis seperti Wajo, Bone, dan Soppeng.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Sultan Aji wafat pada tahun 1739 dan dimakamkan di pemakaman keluarga Raja Wajo, Sulawesi Selatan. (T/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia