Psikologi Salam (Oleh: M. Waliyulloh)

Oleh: M Waliyulloh, Ketua Pemuda Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Lampung

Abdullah bin Salam, salah satu tokoh Yahudi Yatsrib terkesan dengan ajaran yang didengarnya tentang Afsus salam, washilul arham, wa ath imit thaam, wa shallu fillaili wannaasu niyaam.

Kekagumannya terhadap ajaran itu membuatnya serta merta tanpa berfikir panjang untuk masuk Islam. Risikonya ia akan berhadapan dengan cibiran, kebencian dan permusuhan kaumnya. Hilang kehormatan yang dimiliki di tengah kaumnya, sirna kekaguman. Seketika itu, tidak ada lagi yang memandangnya dengan kemuliaan bahkan dianggap sebagai pengkhianat dan pendusta.

Risiko kemuliaan dan penghormatan manusa tidak lagi diperolehnya, bahkan permusuhan yang menyertainya bukan tanpa terprediksi. Abdullah bin Salam adalah seorang Yahudi yang cerdas. Kecerdasannya itulah yang membuatnya mantap dan terhipnotis dengan hakikat ajaran Islam.

Ia sanggup memaknai bahwa keseimbangan hubungan makhluk dengan penciptanya sejalan dan setara dengan hubungan makhluk dengan sesama. Dua duanya harus terjaga, dua duanya harus sama kualitasnya.

Afsussalam adalah pembuka. Bagaikan titah yang sudah lengkap dan sempurna sehingga mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, kesetaraan, keharmonisan dan falsafah saling menghargai dan mendoakan.

Afsussalaam memang tidak sepatutnya dimaknai sempit dengan sekedar berucap salam ‘Assalamu alaikum’. Tetapi sikap dan perilaku yang muncul dan dimunculkan dari hati yang penuh, joyfull, kegembiraan, kenyamanan, ketulusan, kasih sayang dan cinta dengan sesama makhluk.

Oleh karenanya ucapan ‘Assalamu alaikum’ sebagai bagian kecil dari refleksi hati yang penuh kedamaian sudah selayaknya menjadi pengamalan yang refleksif terucap tanpa terpikir, terencana, tanpa pilih pilih dan tanpa pandang bulu. Kaya, miskin, rupawan, buruk rupa, cacat, pejabat atau rakyat jelata punya kewajiban yang sama mendoakan dengan salam, dan membalas nya pula dengan salam.

Rupanya, meskipun sederhana tapi sulit terlaksana. Dalam kultur hari hari kita, ucapan salam dengan sesama muslim seperti asing dan aneh. Salam kepada tukang ojek yang kita ketahui muslim juga akan membuatnya sedikit bengong dan gagap. Salam dengan emak emak di jalan bisa membuat matanya melirik penuh selidik, salam dengan gadis berjilbab yang kebetulan bertemu bisa dianggap godaan nakal dan pelecehan.

Kenapa salam jadi sedemikian kompleks? Lupakah kita dengan hakikat ajaran Islam, lupakah kita dengan sunnah nabiyyina, lupakah kita bahwa kita punya saudara seiman. Ya mungkin kita lupa bahwa kita adalah makluk yang fitrah dalam hatinya penuh kedamaian, ketulusan dan kasih sayang.

Kita terkadang tidak tahu dan tidak menyadari bahwa hati kita adalah sumber solusi sekaligus sumber masalah. Tapi fitrahnya hati kita adalah hati yang akan merasa bahagia dalam melihat, mendengar, merasa, mempersepsi, menyikapi dan merespon kebaikan.

Kita akan senang jika ada orang lain yang menawarkan kebaikan, kita akan sopan jika menerima keramahan, kita akan sumringah jika melihat orang lain tersenyum, kita akan bahagia bila ada orang lain tertawa. Maka salam adalah kunci kedamaian dan kedamaian kunci kebahagiaan.

Kompleksnya merealisasikan salam kepada sesama ikhwan atau saudara seiman, dapat disebabkan karena selain pemahaman dan penghayatan yang minim, juga karena kehidupan kita yang tidak terpimpin.

Alhamdulillah kehidupan kita sudah dalam kehidupan Islam yang terpimpin. Dimulai dari satu tiga ikhwan, satu dua keluarga sampai pada lingkup masyarakat yang bersifat lokal. Pertanyaannya kemudian bagaimana kita mengupayakan agar hak dan kewajiban salam bisa terlaksana dan lestari.

Sayangnya, kesadaran itu mulai surut dan luntur. Salam menjadi sesuatu yang sulit. Salam menjadi beban, salam hanya untuk orang orang pilihan, salam tak lagi tulus, salam menjadi tak bermakna dan tidak merekatkan. Bahkan seiring perubahan zaman, salam bisa bereformulasi menjadi bentuk bunyi lain. Pelecehan terhadap salam sering tanpa sadar kita lakukan dan kita jumpai.

Ada salam yang berganti bunyi menjadi ‘tin’ saat berjumpa dalam keadaan berkendara, ada bunyi ‘kuuum’ karena sedang tergesa, atau berubah jadi ‘semlekum’. Terucap spontan begitu saja tanpa aura, tanpa rasa, tanpa jiwa. Seperti suara rekaman recorder rusak.

Fenomena lain juga ada dan kita jumpai bertemu tanpa menatap, berjumpa tanpa berucap, bersua tanpa suara, lewat seperti angin wuss. Apalagi mengucapkan salam.

Kalau sudah seperti ini patut kita bertanya kemana hati kita, kemana kepedulian kita, Islam apa yang sedang kita jalani?.

Hati adalah refleksi jiwa. Ikhwan, akhwat, masakin, aghniya, thawalib, asatidz, makmum, amir, kyai, pak haji sekalipun yang tidak berupaya melestarikan sunnah salam ini, berarti ia berhenti dari upaya membaluri hatinya dengan kedamaian dan persaudaraan .

Membiasakan diri mengucapkan ‘Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh’ saat bertemu dengan saudaranya adalah kesadaran menunaikan haknya terhadap muslim lainnya.

Membiasakan diri mengucapkan ‘Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh’ saat bertemu dengan saudaranya adalah refleksi kesehatan psikologis seseorang yang paripurna. (A/wly/B03/P1)

Mi’raj News Agency (MINA).