Oleh Muhammad Sofia, Koresponden Quds Press
Damaskus, MINA – Selama enam tahun berturut-turut, pengungsi Palestina di Suriah, Ali Muhammad merindukan saat-saat hangat berkumpul bersama keluarga besarnya sepanjang bulan Ramadhan.
Ia merindukan ketika enam tahun lalu, ia ditemani istrinya dan anak-anaknya, meninggalkan kamp Handarat di Aleppo, tepat sebelum pasukan rezim menyerbu kamp, untuk menuju ke Sarmada di utara Suriah.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Sementara anggota keluarga lainnya ada yang pergi ke lingkungan baru di dekat Aleppo, yang tunduk pada pemerintah. Maka, sejak saat itulah ia tidak pernah melihat lagi orang tuanya.
Kepada media Quds Press, pada Jumat (1/5), ia mengisahkan kenangan Ramadhan sebelum keberangkatannya, dengan mengatakan: “Itu adalah Ramadhan terakhir keluarga besar kami saat santap sahur bersama di halaman rumah, yang dikelilingi oleh air mancur, memberikan suasana nyaman dan menyenangkan bagi semua orang. Sayangnya sekarang kami kehilangan suasana itu. ”
Israa, salah seorang wanita muda juga berbagi kepahitannya berpisah dengan keluarganya akibat perang memperebutkan kekuasaan di Suriah, yang telah melindas nilai-nilai kemanusiaan.
“Setiap tahun kami memiliki pohon di bulan Ramadhan. Anda dapat membayangkan perasaan saya ketika kakak lelaki saya mengundang ayah, saudara perempuan saya, pasangan mereka, dan anak-anak mereka untuk sahur bersama. Suara sendok dan piring masih terdengar. Masih terbayang bagaimana ayah saya bermain dengan cucu-cucunya yang memanjat di punggungnya. Kami semua dikumpulkan oleh perjalanan Ramadhan, kecuali sekarang,” ujarnya.
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka
“Pada saat-saat ini, aku merasa bahwa kami adalah anak yatim yang kehilangan kehangatan keluarga kami. Anak-anakku tidak mengalami hubungan dengan kakek atau nenek mereka atau paman-paman mereka. Mereka tidak tahu perasaan itu,” ujarnya mengungkapkan kesedihan mendalamnya.
Israa mencoba untuk keluar dari kesedihannya dan berbicara tentang kenangan indahnya, “Suami saya ketrika itu mengejutkan keluarga saya di kota Hama. Kami melakukan perjalanan ke pertemuan keluarga dan kami tiba sebelum waktu sahur. Di meja makan sudah penuh dengan makanan siap saji dan permen. Ternyata itu adalah momen terakhir yang indah dan tak terlupakan.”
Ia dan keluarganya kini sudah hampir enam tahun menetap di lingkungan Damar, di pedesaan Damaskus.
Suaminya, Abu Alaa berkata, “Kami keluar dari kamp Yarmouk sebelum pengepungan saat itu. Kini kami kehilangan mata pencaharian. Anak-anak saya pun berpencaran, mengembara ke luar negeri. Putra saya menetap di Swedia. Sementara saudara lelakinya tinggal di Jerman. Satu-satunya anak perempuan kami menikah dan menetap di Yordania.”
Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant
Dia menambahkan, “Hari ini saya dan istri tinggal bersama putra kami yang bungsu. Setiap bulan Ramadhan kami bertambah tua, sementara anak-anak kami bertambah jauh dari tahun ke tahun. Tidak tahu apakah saya akan bertemu mereka suatu hari nanti atau tidak.” Ia semakin memendam kesedihan mendalam, tapi selalu berusaha tegar menghadapinya.
“Jika bulan Ramadhan tiba, seperti tahun ini, kami kehilangan banyak kemiripan. Kami yang biasanya saling bertukar makanan dengan kerabat dan teman, terpaksa berhenti tahun ini, karena kondisi ekonomi yang sulit dan ditambah situasi pandemi Corona.”
Ia masih membayangkan, berapa putra-putrinya masing-masing dari mereka memiliki sesuatu yang istimewa. Putri kami sangat senang setiap kali ibunya memasak Molokhia. Itu adalah makanan favoritnya, dan dia memakannya dengan lahap dan dengan cara yang lucu.”
Quds Press mencoba berbicara lebih jauh dengan Ummu Alaa, tetapi air matanya menghalanginya.
Baca Juga: Iran: Veto AS di DK PBB “Izin” bagi Israel Lanjutkan Pembantaian
Dia tak dapat berkata apa-apa setelah dia mendengarkan suara putrinya di saluran telepon dalam percakapannya melalui perantaraan koresponden Quds Press di Yordania.
Luka Sosial
Keluarga-keluarga ini menggambarkan situasi luka sosial yang tersebar dari keluarga-keluarga pengungsi Palestina yang terlunta-lunta bermigrasi ke utara Suriah atau ke luar negeri.
Perang telah memisahkan dan membubarkan keluarga mereka. Belum lagi mereka yang meninggal tertembak, hilang entah ke mana dan ditahan di dalam penjara-penjara.
Baca Juga: IDF Akui Kekurangan Pasukan untuk Kendalikan Gaza
Menurut Kelompok Kerja untuk Palestina di Suriah, lebih dari 4.000 warga Palestina telah terbunuh sejak awal perang di Suriah. Sementara jumlah tahanan dan orang hilang telah mencapai lebih dari 2.100 warga Palestina.
Data lainnya, sekitar 200.000 keluarga Palestina telah meninggalkan Suriah sejak tahun 2011. (T/RS2/P1)
Mi’raj News Ageny (MINA)
Baca Juga: Hamas Tegaskan, Tak Ada Lagi Pertukaran Tawanan Israel Kecuali Perang di Gaza Berakhir