Oleh: Dudin Shobaruddin,MA., Ketua Shuffah Al-Quran Abdullah bin Mas’ud Online (SQABM), Biro MINA di Kuala Lumpur
Ramadan dikenal dengan bulan kemaafan. Ia amat sinonim bagi umat Islam di seluruh dunia untuk saling memaafkan satu sama lain. Maklum karena hidup manusia ini tiada yang sempurna. Di sana ada salah dan silap.
Perilaku manusia tidak selalu benar dan tidak juga selalu salah. Ibarat jalan raya tidak lurus tapi juga tidak selalu bengkok.
Itulah perjalanan manusia dalam pergaulan sehari-harinya pasti ada yang tidak kena. Kata orang, hal yang lumrah; bisa salah, bisa benar, bisa ingat bisa juga lupa. Itulah yang namanya manusia.
Baca Juga: Keutamaan Hidup Berjama’ah dalam Perspektif Al-Qur’an
Pepatah Arab mengatakan “Al Insan Mahallul khata wa nisyaan (manusia itu tempat salah dan lupa). Salah terus bukan syaithan, dan benar terus bukan malaikat.
Karenanya, kehadiran bulan suci Ramadan adalah kesempatan emas bagi umat Islam untuk saling memaafkan atas segala kesalahan satu sama lain, baik yang disengaja ataupun tidak, yang sifatnya besar ataupun kecil.
Dulu, ketika saya masih kecil yang namanya saling memaafkan apabila datangnya hari lebaran Idul fitri. Sudah menjadi tradisi ketika itu satu sama lain saling bersalaman dan berma’af-maafan.
Anak kepada orang tuanya, murid pada gurunya, adek sama kakaknya, teman sama temannya, tetangga baik yang dekat ataupun yang dengan tetangganya dan seterusnya.
Baca Juga: 10 Akhlak dalam Pernikahan, Pondasi Keharmonisan
Bermaaf-maafan ini terjadi terkadang ikut situasi masing-masing. Terkadang di rumah, di masjid, di jalan, di kantor-kantor, sekolah-sekolah dan lainnya. Tradisi ini masih terus berjalan sampai hari ini terutama di kampung-kampung.
Kemudian, setelah saya dewasa memperhatikan ada perubahan cara permohonan maaf, bukan saja setetelah Ramadan tapi justru sebelumnya, yaitu pada akhir Sya’ban.
Tradisi ini dilakukan oleh orang-orang yang syadid dengan sunnah, yaitu orang-orang yang ingin menghidupkan sunnah baginda Nabi ketika situasi dan kondisi banyak orang yang meninggalkannya.
Namun setelah saya pelajari (Wallahu A’lam) memang tiada spesifik dalil yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya mengadakan upacara khusus untuk saling memohon kemaafan menjelang datangnya bulan Ramadan atau pada akhir Sya’ban itu.
Baca Juga: 13 Peran Suami dalam Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga
Namun yang ada adalah para sahabat berkumpul untuk mendengarkan khutbah akhir Sya’ban dari baginda Nabi Shallallahu ’Alihi Wasallam.
Yang jelas tentu bahwa saling memaafkan sebenarnya tidak harus dilakukan menjelang Ramadhan atau sesudahnya. Ia harus dilakukan kapanpun dan di manapun.
Bahwa umat Islam harus menjadi manusia pemaaf seperti yang dilakukan oleh baginda Nabi, walaupun kepada orang yang senantiasa memusuhinya sekalipun.
Tuntunan Al-Quran
Baca Juga: Menjaga Ukhuwah Islamiyah dalam Kehidupan Berjama’ah
Kata ‘pemaaf’ dalam bahasa Qur’an disebut dengan al-‘afwa. Minimal diulang-ulang oleh Allah dalam Al-Quran sebanyak 36 kali.
Misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat ke 109, Allah berfirman:
فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ٌ
Artinya: “Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya”.
Dalam ayat yang lain, mema’afkan adalah sifat orang yang bertaqwa. Hal Ini, sinonim dengan tujuan puasa itu sendiri agar menjadi orang yang bertaqwa.
Baca Juga: Tiga Pilar Hijrah: Fondasi Perubahan Menuju Kehidupan Islami
Allah berfirman:
وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Artinya: “ Dan member maaf itu lebih dekat kepada taqwa..” (QS Al-Baqarah [2]: 237).
Kita pun dianjurkan untk menjadi orang yang pema’af. Allah berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Jadilah kamu pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf dan berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (QS Al-A’raf [7]: 199).
Baca Juga: 10 Hikmah Hidup Berjama’ah dari Qur’an dan Sunnah
Selain itu, mema’afkan kesalahan orang lain akan mendapatkan ganjaran dari Allah Ta’ala dengan ampunan dari-Nya. Firman Allah:
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Nur [24]: 22).
Meskipun kepada orang yang menzalimi kita dibenarkan untuk membalas atas kezalimannya, tapi sifat mema’afkan adalah lebih baik. Allah berfirman:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan balasan kejahatan adalah balasan yang serupa. Barang siapa yang mema’afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim”. (QS Asy-Syura: 40).
Baca Juga: 10 Akhlak Mulia yang Wajib Dimiliki oleh Muslim
Untuk itu, momen untuk saling memaafkan pada bulan suci Ramadhan ini merupakan peluang yang amat berharga. Karena pada dasarnya bulan Ramadhan merupakan bulan keampunan dari segala dosa dan noda.
Secara vertikal keampuan akan Allah berikan kepada hamba-Nya terhadap segala kesalahan yang bersangkutan dengan sang Pencipta. Kemudian secara horizontal adalah kesalahan sesama hamba.
Allah pun tidak akan mengampunkan dosa seorang hamba, sekiranya masih ada sangkut kesalahan dengan bani Adam.
Momentum bulan Ramadan sangat terbuka luas, karena seluruh umat Islam menghendaki diampuni segala dosanya. Karena itu, wajarlah kalau sebelum Ramadhan pun satu sama lain saling memaafkan.
Baca Juga: Tujuh Perkara Penyebab Rusaknya Hati
Namun tentu sikap ini tidak terpaku pada bulan Ramadhan saja, tapi untuk selamnya tanpa mengenal waktu dan tempat.
Semoga kita tergolong orang yang suka memberi maaf. Aamien. Wallahu’alam. (RS2/RS1)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Raih Surga Dengan Amalan Ringan Ini